Analisis Novel Kering karya Iwan Simatupang



TUGAS
KAJIAN NOVEL KERING KARYA IWAN SIMATUPANG
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi, semester 3
 tahun akademik 2014/2015

yang diampu oleh: Drs. Rustam Effendi
, M. Pd.

Disusun oleh:
Karniti                                   : 882010113034
Luthfiani Kuntari                    : 882030113037
Muhammad Jammal Baligh    : 882010113043




PROGRAM  STUDI  PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2014






KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala limpahan rahmat-Nya kami dapat menyusun tugas ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam kami limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya dan seluruh umatnya sampai akhir zaman.
            Tugas ini membahas tentang analisis novel Kering karya Iwan Simatupang. Dalam penyusunan tugas ini, kami banyak mendapatkan bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas yang kami buat. Terutama ucapan terima kasih ditujukan kepada dosen mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi, Drs. Rustam Effendi, M.Pd.
            Adapun isi dari tugas ini jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan kami, baik kemampuan mengolah konsepsi ataupun kemampuan apersepsi. Sehingga harap dimaklumi apabila isi tugas kami banyak kekurangan, itu sebabnya kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan tugas ini.
            Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca, dan menjadi tambahan bagi khazanah ilmiah kita semua.

Indramayu, 31 Desember 2014








BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi seorang pengarang terhadap gejala-gejala sosial di lingkungan sekitarnya. Karya sastra diciptakan pengarangnya untuk menyampaikan sesuatu kepada penikmat karyanya. Sesuatu yang ingin disampaikan pengarang adalah perasaan yang dirasakan saat bersentuhan dengan kehidupan sekitarnya.
Salah satu bentuk karya sastra yang membicarakan manusia dengan segala perilaku dan kepribadiannya dalam kehidupan adalah novel. Membaca karya fiksi berupa novel berarti kita menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasaan batin, memberikan kesadaran mengenai gambaran kehidupan dan belajar untuk menghadapi masalah yang mungkin  akan kita  alami.
Sebagai karya, novel merupakan hasil ungkapan, ide-ide, gagasan, dan  pengalaman pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan di sekitarnya. Sebagai karya imajiner, novel menawarkan berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan dan kemudian diungkapkan kembali melalui sarana sastra dengan pandangannya.

1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang bisa dikemukakan pada makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian dari novel?
2.      Apa pengertian dari novel serius dan novel populer serta perbedaannya?
3.      Bagaimana menganalisis novel Kering karya Iwan Simatupang?
4.      Bagaimana menganalisis unsur intrinsik novel Kering karya Iwan Simatupang?
5.      Bagaimana menganalisis unsur ekstrinsik novel Kering karya Iwan Simatupang?
6.      Bagaimana menganalisis kajian dekonstruksi novel Kering karya Iwan Simatupang?
7.      Bagaimana menganalisis kajian feminis novel Kering karya Iwan Simatupang?


1.3  Pembatasan masalah
Untuk mencegah adanya kekaburan masalah dan untuk mengarahkan analisis ini agar lebih intensif dan efisien dengan tujuan yang ingin dicapai, diperlukan pembatasan masalah. Analisis ini dibatasi pada masalah kajian novel Kering karya Iwan Simatupang berdasarkan kajian Struktural, Dekonstruksi, dan Feminis.

1.4  Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.      Ingin mengetahui pengertian dari novel
2.      Ingin mengetahui pengertian dari novel serius dan novel populer serta perbedaannya
3.      Ingin mengetahui analisis novel Kering karya Iwan Simatupang
4.      Ingin mengetahui analisis unsur intrinsik novel Kering karya Iwan Simatupang
5.      Ingin mengetahui analisis unsur ekstrinsik novel Kering karya Iwan Simatupang
6.      Ingin mengetahui analisis kajian dekonstruksi novel Kering karya Iwan Simatupang
7.      Ingin mengetahui kajian feminis novel Kering karya Iwan Simatupang




  
 

 

  
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Novel
Novel merupakan karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas juga berlaku untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa inggris, dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman : novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams, 1981:119).
Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang secara harfiah berarti, sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005:9). Dalam bahasa Latin kata novel berasal novellus yang diturunkan pula dari kata noveis yang berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis lain, novel ini baru muncul kemudian (Tarigan, 1995:164).
Pendapat Tarigan diperkuat dengan pendapat Semi (1993:32) bahwa novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang diartikan sebagai memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas, dengan roman yang diartikan rancangannya lebih luas mengandung sejarah perkembangan yang biasanya terdiri dari beberapa fragmen dan patut ditinjau kembali.
Sudjiman (1998:53) mengatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa serta latar secara tersusun. Novel sebagai karya imajinatif mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam dan menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai-nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan pada pembaca tentang budi pekerti yang luhur.
Saad (dalam Badudu J.S, 1984:51) menyatakan nama cerita rekaan untuk cerita-cerita dalam bentuk prosa seperti: roman, novel, dan cerpen. Ketiganya dibedakan bukan pada panjang pendeknya cerita, yaitu dalam arti jumlah halaman karangan, melainkan yang paling utama ialah digresi, yaitu sebuah peristiwa-peristiwa yang secara tidak langsung berhubungan dengan cerita peristiwa yang secara tidak langsung berhubungan dengan cerita yang dimasukkan ke dalam cerita ini. Makin banyak digresi, makin menjadi luas ceritanya.
Novel biasanya memungkinkan adanya penyajian secara meluas (expands) tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat selalu menjadi topik utama (Sayuti, 2000:6-7). Masyarakat tentunya berkaitan dengan dimensi ruang atau tempat, sedangkan tokoh dalam masyarakat berkembang dalam dimensi waktu semua itu membutuhkan deskripsi yang mendetail supaya diperoleh suatu keutuhan yang berkesinambungan. Perkembangan dan perjalanan tokoh untuk menemukan karakternya, akan membutuhkan waktu yang lama, apalagi jika penulis menceritakan tokoh mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Novel memungkinkan untuk menampung keseluruhan detail untuk perkembangkan tokoh dan pendeskripsian ruang.
Novel oleh Sayuti (2000:7) dikategorikan dalam bentuk karya fiksi yang bersifat formal. Bagi pembaca umum, pengategorian ini dapat menyadarkan bahwa sebuah fiksi apapun bentuknya diciptakan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian, pembaca dalam mengapresiasi sastra akan lebih baik. Pengategorian ini berarti juga bahwa novel yang kita anggap sulit dipahami, tidak berarti bahwa novel tersebut memang sulit. Pembaca tidak mungkin meminta penulis untuk menulis novel dengan gaya yang menurut anggapan pembaca luwes dan dapat dicerna dengan mudah, karena setiap novel yang diciptakan dengan suatu cara tertentu mempunyai tujuan tertentu  pula.
Penciptaan karya sastra memerlukan daya imajinasi yang tinggi. Menurut Junus (1989:91), mendefinisikan novel adalah meniru ”dunia kemungkinan”. Semua yang diuraikan di dalamnya bukanlah dunia sesungguhnya, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang secara imajinasi dapat diperkirakan bisa diwujudkan. Tidak semua hasil karya sastra harus ada dalam dunia nyata, namun harus dapat juga diterima oleh nalar. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.
Sebagian besar orang membaca sebuah novel hanya ingin menikmati cerita yang disajikan oleh pengarang. Pembaca hanya akan mendapatkan kesan secara umum dan bagian cerita tertentu yang menarik. Membaca sebuah novel yang terlalu panjang yang dapat diselesaikan setelah berulang kali membaca dan setiap kali membaca hanya dapat menyelesaikan beberapa episode akan memaksa pembaca untuk mengingat kembali cerita yang telah dibaca sebelumnya. Hal ini menyebabkan pemahaman keseluruhan cerita dari episode ke episode berikutnya akan terputus.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah cerita fiktif yang berusaha menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan semata, tetapi sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang adalah realitas atau fenomena yang dilihat dan dirasakan.

2.2 Novel Serius dan Novel Populer
2.2.1 Novel Serius
Dalam dunia kesastraan sering ada usaha untuk mencobabedakan antara novel serius dengan novel populer. Usaha itu, dibandingkan dengan pembedaan antara novel dengan cerpen, atau antara novel dengan roman sungguh tidak mudah dilakukan dan lebih dari itu bersifat riskan. Perbedaan itu, di samping dipengaruhi pesan subjektif, kesan dari luar juga menentukan. Misalnya, karena sebuah novel diterbitkan oleh penerbit yang telah dikenal sebagai penerbit buku-buku kesastraan, belum membaca isinya pun mungkin sekali orang telah menilai bahwa novel itu bernilai sastra yang tinggi.
Ciri-ciri yang ditemukan pada novel serius yang biasanya dipertentangkan dengan novel popular sering juga ditemukan pada novel-novel popular, atau sebaliknya apalagi jika pencirian yang dilakukan itu bersifat umum, digeneralisasikan pada semua karya serius ataupun popular. Tak jarang novel yang dikategorikan sebagai popular memiliki kualitas literer yang tinggi dan dapat juga terjadi sebaliknya.
Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan sebuah dunia baru lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus. Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca. Dan memang pembaca novel jenis ini tidak mungkin banyak namun sebenarnya ada juga novel yang tergolong serius dan sekaligus laris sehingga dapat diduga banyak yang membacanya.


2.2.2 Novel Populer
Sebutan novel populer atau novel pop mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70-an. Sesudah itu setiap novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut sebagai novel pop. Kata pop erat diasosiasikan dengan kata populer, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis untuk selera populer yang kemudian dijajakan sebagai suatu barang dagangan popular dan kemudian dikenal sebagai bacaan populer.
Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita (Stanton, 1965:2). Berhubung novel populer lebih mengejar selera pembaca dan komersial, ia tak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab hal itu dapat akan berkurangnya penggemarnya. Oleh karena itu agar cerita mudah dipahami, plot sengaja dibuat lancar dan sederhana. Perwatakan tokoh tidak berkembang, tunduk begitu saja pada kemauan.

2.2.3 Perbedaan Novel Serius dan Novel Populer
Perbedaan Novel Populer dan Novel Serius 
Novel Populer (pop), muncul pada tahun 70an, contoh: novel Karmila, novel Cintaku di Kampus Biru. Setelah itu novel hiburan disebut novel pop.

Ciri-ciri novel populer: 
1.      Populer pada zamannya dan digemari para remaja
2.      Tidak menampilkan masalah kehidupan yang lebih intens.
3.      Tidak meresapi hakikat kehidupan.
4.      Bersifat artificial atau sementara, ini berkaitan dengan percintaan remaja, tidak logis dalam alur ceritanya karena bersifat sementara.
5.      Mudah dibaca dan mudah dipahami.
6.      Masalah yang dikemukakan singkat, tapi aktual. Contoh: masalah cinta, masalah persahabatan.
7.      Mengejar selera pembaca, selera pembaca yaitu keinginan yang natural dari seorang pembaca.
8.      Plot sengaja dibuat lancar dan sederhana. Alur/jalan cerita jarang dibuat flashback, cerita tidak dibuat sulit agar mudah dipahami.
9.      Perwatakan tokoh tidak berkembang (menuntut pengarang yang bertujuan memuaskan pembaca). Contoh: pemarah, baik, sederhana, jujur, tokoh mengalami perubahan watak.
10.  Plot, tema, karakter, latar biasanya bersifat setereotif (itu-itu saja) tidak mengutamakan unsur kebenaran.
11.  Bersifat menghibur, tujuannya menghibur, akhir cerita sebagian besarnya bersifat happyending.

Novel Serius adalah novel yang perlu keseriusan membacanya, pembaca dituntut mengoperasikan daya intelektualnya. 
Ciri-ciri novel serius: 
1.      Masalah percintaan banyak diangkat, tapi bukan masalah utama. Contoh: novel Siti Nurbaya, dan Novel Salah Asuhan.
2.      Masalah kehidupan sangat kompleks (hubungan sosial, maut, ketuhanan, takut, cemas, dll.)
3.      Mengungkap sesuatu yang baru dengan cara yang baru pula.
4.      Tidak mengabdi pada selera pembaca.
5.      Mengambil realitas kehidupan yang bersifat universal sebagai model.
6.      Tujuan menghibur, memberikan pengalaman yang berharga bagi pembaca (kontenplatif) > perenungan.
7.      Tetap betahan sepanjang zaman. Contoh: Romeo and Juliet.

2.3 Unsur Intrinsik Novel
2.3.1 Pengertian Unsur Instrinsik
Yaitu unsur yang membangun sebuah karya sastra dari dalam.

  
2.3.2 Macam-macan Unsur Instrinsik
2.3.2.1 Tema
Tema adalah ide yang mendasari sebuah cerita. Untuk mencari tema sebuah novel, pembaca harus membaca secara seksama cerita dengan cara membaca dari awal sampai akhir. Setelah itu, temukan masalah yang paling dominan dalam cerita tersebut, contohnya tema persahabatan, rumah tangga, dan lain-lain.

2.3.2.2 Cerita
Membaca sebuah karya fiksi, novel atau pun cerpen, pada umumnya yang pertama-tama menarik perhatian orang adalah ceritanya. Faktor cerita inilah terutama yang mempengaruhi sikap dan selera orang terhadap buku yang akan, sedang, atau sudah dibacanya. Berdasarkan keadaan cerita itu pulalah biasanya orang memandang (mungkin juga : menilai) bahwa buku tersebut misalnya menarik, menyenangkan, mengesankan, atau sebaliknya bertele-tele dan membosankan, dan berbagai reaksi emotif yang lain.
Aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu yang amat esensial yang memiliki peranan sentral. Dari awal hingga akhir karya itu yang ditemui adalah cerita. Cerita dengan demikian erat berkaitan dengan berbagai unsur pembangun fiksi yang lain. Kelancaran cerita akan ditopang oleh kekompakan dan kepaduan berbagai unsur pembangun itu. Sebaliknya, tujuan kelancaran cerita bersifat mengikat kebebasan unsur-unsur yang lain. Forster (1970:33-4) jauh-jauh telah menegaskan bahwa cerita merupakan hal yang fundamental dalam karya fiksi. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi tak mungkin terwujud. Sebab cerita merupakan inti sebuah karya fiksi sendiri yang biasa disebut cerita rekaan.

2.3.2.3 Plot
Plot atau Alur adalah rangkaian peristiwa yang membentuk jalannya cerita atau saling berhubungan di dalam sebuah cerita..
Alur dalam novel dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
1.      Alur maju (progresif) yaitu apabila peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita.
2.      Alur mundur (flashback progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung atau alur yang bercerita dari masa kini ke masa lampau.
3.      Alur campuran adalah alur yang bercerita dari masa lampau ke masa kini, lalu disisipi cerita dari masa kini ke masa lampau (flashback), begitupun sebaliknya.

2.3.2.4 Penokohan
Penokohan adalah pemberian watak atau karakter pada masing-masing pelaku dalam sebuah cerita. Pelaku bisa diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, dan lingkungan tempat tinggal. Selain itu Tokoh adalah pelaku yang dikisahkan pemain dalam cerita. Tokoh dalam sebuah novel bisa berupa tokoh jahat atau tokoh baik. Sedangkan penokohan adalah sifat, watak atau karakter yang dimiliki oleh para tokoh di dalam cerita. Penggambaran penokohan dapat berupa uraian langsung dan tidak langsung. Contoh : baik, sombong, jujur, dan lain-lain.

2.3.2.5 Latar
Latar atau setting adalah penggambaran terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita meliputi tempat, waktu, sosial budaya, dan keadaan lingkungan.
a.       Latar tempat adalah gambaran yang menunjukkan tempat dalam suatu cerita atau peristiwa. Contoh: rumah, taman, sekolah, dan sebagainya.
b.      Latar waktu adalah gambaran yang menunjukkan waktu dalam suatu cerita atau peristiwa . Contoh: pagi, siang, sore, malam, dan sebagainya.
c.       Latar suasana adalah gambaran yang menunjukkan suasana yang disajikan dalam suatu cerita atau peristiwa .Contoh : sunyi, sepi, bising, dan sebagainya.

2.3.2.6 Sudut Pandang
Menurut Harry Show (1972:293), sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu :
o   Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.
o   Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.
o   Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh.

2.3.2.7 Bahasa
Bahasa dalam seni santra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung nilai lebih daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra, di pihak lain sastra lebih dari sekedar bahasa, deretan kata, namun kelebihannya itu pun hanya dapat diungkap dan ditafsikan melalui bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya : fungsi komunikatif (nurgiyantoro, 1993:1).
Beberapa ciri bahasa sastra sebagai bahasa emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa non sastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Namun untuk pencirian itu kiranya masih memerlukan penjelasan (Wellek & Warren, 1956:22-3).


2.3.2.8 Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah alat utama pengarang untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika.

Macam-macam gaya bahasa:
o   Personifikasi: gaya bahasa ini mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara memberikan sifat-sifat seperti manusia.
o   Simile (perumpamaan): gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan pengibaratan.
o   Hiperbola: gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan cara berlebihan dengan maksud memberikan efek berlebihan.
o   Metafora: gaya bahasa ini semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.
o   Sinekdoke: semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte)
o   Antonomasia: merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.
o   Metonimia: suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
o   Ironi: suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya.
o   Sinisme: ironi yang lebih kasar sifatnya.
o   Sarkasme: suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme.

2.3.2.9 Moral
Secara umum moral menyarankan pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan sikap kewajiban, dan sebagainya ; akhlak, budi pekerti, susila (KKBI, 1994). Istilah bermoral, misalnya : tokoh bermoral tinggi, berarti mempunyai pertimbangan baik dan buruk. Namun, tidak jarang pengertian baik buruk itu sendiri dalam hal-hal tertentu bersifat relatif. Artinya, suatu hal yang dipandang baik oleh orang yang satu atau bangsa pada umumnya, belum sama bagi orang yang lain, atau bangsa yang lain.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam cerita, menurut Kenny (1966:89), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (yang ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, sopan, dan santun pergaulan.

2.4 Unsur Ekstrinsik
2.4.1 Pengertian Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik karya sastra adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik karya sastra bisa kita ibaratkan dengan pembangunan suatu rumah. Unsur ekstrinsik bukanlah bahan-bahan untuk membangun rumah seperti batu bata atau yang lainnya. Unsur ekstrinsik lebih mengarah pada kondisi sosial dan budaya pembangun rumah sehingga mempengaruhi model sebuah rumah. Jadi dapat ditegaskan bahwa unsur ekstrinsik karya sastra lebih mengarah pada kondisi sosial dan budaya dari pengarang sehingga mempengaruhi penciptaan sebuah karya sastra.

2.4.2 Macam-macam Unsur Ekstrinsik
2.4.2.1 Biografi Pengarang
Biografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu bios yang berarti hidup, dan graphien yang berarti tulis. Dengan kata lain biografi merupakan tulisan tentang kehidupan seseorang. Biografi, secara sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah kisah riwayat hidup seseorang. Biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa lebih dari satu buku.
Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta-fakta dari kehidupan seseorang dan peran pentingnya sementara biografi yang panjang meliputi, tentunya, informasi-informasi penting namun dikisahkan dengan lebih mendetail dan tentunya dituliskan dengan gaya bercerita yang baik.
Biografi menganalisa dan menerangkan kejadian-kejadian dalam hidup seseorang. Lewat biografi, akan ditemukan hubungan, keterangan arti dari tindakan tertentu atau misteri yang melingkupi hidup seseorang, serta penjelasan mengenai tindakan dan perilaku hidupnya. Biografi biasanya dapat bercerita tentang kehidupan seorang tokoh terkenal atau tidak terkenal, namun demikian, biografi tentang orang biasa akan menceritakan mengenai satu atau lebih tempat atau masa tertentu. Biografi seringkali bercerita mengenai seorang tokoh sejarah, namun tak jarang juga tentang orang yang masih hidup. Banyak biografi ditulis secara kronologis. Beberapa periode waktu tersebut dapat dikelompokkan berdasar tema-tema utama tertentu (misalnya "masa-masa awal yang susah" atau "ambisi dan pencapaian"). Walau begitu, beberapa yang lain berfokus pada topik-topik atau pencapaian tertentu.
Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, atau kliping koran. Sedangkan bahan-bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memaparkan peranan subyek biografi itu.
Biografi adalah suatu kisah atau keterangan tentang kehidupan seseorang yang bersumber pada subjek rekaan (non-fiction/kisah nyata). Sebuah biografi lebih kompleks daripada sekadar daftar tanggal lahir atau meninggal dan data-data pekerjaan seseorang, tetapi juga menceritakan tentang perasaan yang terlibat dalam mengalami kejadian-kejadian tersebut yang menonjolkan perbedaan perwatakan termasuk pengalaman pribadi.

2.4.2.2 Psikologi
Pengertian Psikologi Menurut Beberapa Ahli
Ada banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang  pengertian psikologi, diantaranya:
1.      Pengertian Psikologi menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13 (1990), Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan binatang baik yang dapat dilihat  secara langsung maupun yang tidak dapat dilihat secara langsung.
2.      Pengertian Psikologi menurut Dakir (1993), psikologi membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya.
3.      Pengertian Psikologi menurut Muhibbin Syah (2001), psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor yang meliputi perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain sebgainya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan lain sebagainya.
4.      Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak disadari

2.4.2.2.1 Psikologi Pengarang
Secara teori, terdapat hubungan antara karya dengan psikologi pengarang. Bagaimana keaadaan emosional seorang penulis akan berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkan. Keadaan yang bahagia tentunya dapat mengispirasi berbagai karya yang dihasilkan. Begitu pula sebaliknya. Kedua, setiap penulis memiliki doktrin dan kepercayaan sendiri-sendiri, maka seorang penulis yang idialisme akan memunculkan sastra dengan terkadung nilai doktrin yang kuat. Ketiga, melalui jenjang pendidikan. Karena pendidikan bertujuan mencetak karakter maka penulis banyak menemukan karya sastra yang mengangkat masalah-masalah pendidikan yang berangkat dari masalah pendidikan penulis sendiri.

2.4.2.2.2 Psikologi Pembaca
Begitupun pembaca, dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Dengan berbagai latar belakang kehidupan pembaca, akan sangat mempengaruhi mereka dari penilaian yang beragam dalam sebuah karya satra.

2.4.2.3 Keadaan Lingkungan Pengarang
Kondisi suatu tempat atau wilayah seorang penulis akan banyak mempengaruhi tema-tema yang diangkat dalam tulisanya. Bisa jadi ide atau gagasan sebuah tulisan muncul dari rasa keperdulian pengarang terhadap kondisi sosial Budaya yang ada dalam lingkungan penulis.

2.4.2.3.1 Lingkungan Ekonomi
Nurgiyantoro berpendapat bahwa keadaan lingkungan di sekitar pengarang seperti ekonomi, sosial, dan politik dapat saja menjadi unsur ekstrinsik yang mendasari penulisan suatu karya sastra (2000:24).
Saraswati (2003:28) mengemukakan bahwa teori mengenai faktor ekonomi sebagai unsur ekstrinsik yang menjadi penentu  keberadaan karya sastra antara lain pernah dikemukakan oleh Hippolyte Taine.
Lingkungan ekonomi adalah kondisi ekonomi di Negara tempat organisasi internasional beroperasi. Kondisi ekonomi memiliki dampak yang kuat terhadap kinerja dari setiap bisnis karena dapat mempengaruhi pendapatan atau beban dari bisnis tersebut.

2.4.2.3.2 Lingkungan Politik
Sedangkan teori tentang faktor politik sebagai unsur ekstrinsik yang menjadi penentu keberadaan karya sastra menurut Saraswati juga pernah dikemukakan antara lain oleh Sapardi Djoko Darmono (1978) dan Ariel Heryanto (1985:120).
Keadaan politik yang terjadi di lingkungan pengarang ketika novel itu dibuat turut mempengaruhi isi dari sebuah karya sastra.

2.4.2.3.3 Lingkungan Sosial
Teori tentang faktor sosial sebagai unsur ekstrinsik yang menjadi penentu  keberadaan karya sastra menurut Saraswati (2003:29) antara lain pernah dikemukakan oleh Madame de Stael.
Lingkungan sosial adalah tempat dimana masyarakat saling berinteraksi dan melakukan sesuatu secara bersama-sama antar sesama maupun dengan lingkungannya. Lingkungan sosial terdiri dari beberapa tingkat, seperti keluarga, sekolah, perkuliahan, pekerjaan, dan masyarakat.

2.5 Kajian Dekonstruksi
Dekonstruksi termasuk pendekatan sastra yang relatif baru, baik di Eropa maupun di Amerika. Pelopornya ialah Jacques Derrida (ahli filsafat) dan Paul de Man (ahli sastra). Keduanya berangkat dari objek yang berbeda, yaitu filsafat dan sastra, tetapi mereka mempunyai kesimpulan yang hampir sama. Kesimpulannya, bahasa merupakan unsur yang mendasar dalam kehidupan manusia dan lebih substansial daripada bidang-bidang kehidupan lainnya.
Dekonstruksi berkembang pesat di Amerika. Dari Yale University lahir beberapa tokoh dekonstruksi, antara lain: Harold Bloom, Hillis Miller, Barbara Johnson, dan Geoffrey Hartman. Mereka kemudian dikenal sebagai Aliran Yale, tetapi setiap tokoh mencoba mengembangkan dekonstruksi menurut konsepnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan konsep dasar dekonstruksi yang secara terus-menerus mengganti pembacaan atau penginterpretasian sebelumnya.
Memahami dekonstruksi bukan sesuatu yang mudah. Ini terkait pengertian yang sering keliru. Banyak orang mengartikan dekonstruksi sebagai pembongkaran sesuatu yang sudah mapan. Ini memang tidak dapat dikatakan salah sepenuhnya. Tetapi, ini juga tidak dapat dikatakan benar. Strategi dekonstruksi dalam membongkar suatu teks bukan hanya menciptakan makna baru. Bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam teks yang selama ini sudah mapan.
Dekonstruksi sering menjadi subjek kontroversi. Hal itu disebabkan ketidaktepatan dalam memberikan pengertian terhadap istilah dekonstruksi. Penghancuran, pembongkaran, dan penolakan merupakan pemberian pengertian leksikal sehingga menimbulkan ketidaktepatan dalam mengartikan dekonstruksi (Susanto, 2010:25). Dekonstruksi tidak hanya sekadar membongkar, tetapi juga merekonstruksi penafsiran yang telah diakui kebenarannya secara absolut. Dalam hal ini, penafsiran yang sudah dianggap stabil mampu dijungkirbalikkan. Namun, penafsiran tersebut tetap pada makna yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Sim (2002:27), dekonstruksi dianggap sebagai bentuk skeptisme filosofis yang benar-benar menyeluruh, yang mempertanyakan asumsi-asumsi yang tak pernah dipersoalkan dan selanjutnya menunjukkan kesenjangan-kesenjangan yang menyebabkan keputusan-keputusan nilai yang lebih dari sekadar terdakwa.
Hal tersebut menyatakan bahwa dekonstruksi pada dasarnya tidak menganggap klaim-klaim yang ada sebagai kebenaran tunggal. Dekonstruksi justru meragukan kebenaran yang telah diakui kebenarannya. Dekonstruksi memberikan penafsiran ulang, menata kembali teks yang diakui kebenarannya.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan, yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa kuncinya selalu berubah. Karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, hal itu menyebabkan titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain, dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu”.
Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat.
Untuk mendeskripsikan dekonstruksi, Derrida (dalam Al-Fayyadl, 2005:174-176) meringkasnya dalam tiga prinsip, yaitu sans savoir, sans voir, dan sans avoir. Sans savoir (tidak mengetahui) yaitu menggambarkan bahwa teks tidak selalu dapat ditangkap kebenarannya oleh penafsir secara total. Penafsir dalam menginterpretasikan sebuah teks harus mengakui bahwa teks terdapat perbedaan. Sans voir (tidak melihat) menggambarkan keterbatasan indra dan penglihatan kita terhadap kebenaran. Ada sikap yang ingin menghargai sebuah perbedaan atau respek akan adanya makna terntunda. Sans avoir (tidak memiliki) menyatakan bahwa kebenaran tidak menetap pada satu penafsir, tetapi bergerak menyebar ke penafsir-penafsir berbeda.
Norris (2003) menjelaskan bahwa tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks.

2.6 Kajian Feminis
Dalam pengertian yang paling luas, feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Aspek dalam kaitanya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesastraan gender. Dalam kenyaataannya hanya seks, sebagai mele-female yang ditentukan secara kodrati, secara biologis. Sebaiknya, gender atau jenis kelamin, yaitu masculine-feminine ditentukan secara cultural, sebagai hasil pengaturan kembali intrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh karena itu, feminitas adalah pengertian psikologis cultural, seseorang tidak dilahirkan ‘sebagai’ perempuan, melainkan menjadi perempuan. Oleh karena itu pula, yang ditolak oleh kelompok feminis adalah anggapan bahwa perempuan merupakan konstruksi negatif, perempuan sebagai makhluk takluk, pertemuan yang terjerat ke dalam dikotomi sentral marginal, superior infertor.









BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Analisis Novel Kering Karya Iwan Simatupang
3.1.1 Sinopsis Novel
Matahari Lohor tak kenal ampun, teriknya melecut langit. Embun segumpal tak ada. udara bergetar, di sana-sini ia beruap. berkepul-kepul, dekat ke permukaan tanah. Dia sampai di mata air kecil, sedikit di balik bukit kecil, batas utara ladangnya. Kering! Mata air kecil ini pun akhirnya kering juga..." (Iwan Simatupang, 1985:5)
Begitulah, kekeringan yang amat panjang telah mengimpit perkampungan kecil para petani transmigran. Satu-satunya mata air yang selama ini menjadi tumpuan penghidupan mereka, kini kering sudah. Sementara permintaan bahan makananan kepada para pejabat pemerintah yang berwenang, tak kunjung datanng juga. mereka mulai dilanda ketakutan akan bahaya kelaparan yang berkepanjangan.
Kepala desa berusaha menenangkan penduduk. Namun, satu persatu warganya meninggalkan daerah itu. Tokoh Kita juga mencoba meyakinkan para penduduk agar tetap bertahan di tempat perkampungan itu sambil mencari upaya menanggulangi masalah yang sedang mereka hadapi, tetapi sia-sia. sampai akhirnya, hanya Tokoh Kita yang tinggal.
Dengan sisa-sisa makanan yang ditinggalkan penduduk, ia tetap bertahan. Hanya satu pekerjaan yang setiap hari ia lakukan, yaitu menggali sumur; mencoba mencari mata air. Dalam kesendiriannya itu, Tokoh Kita yang ternyata bekas mahasiswa yang jenius, terpaksa mencoba berkawan dengan benda-benda dan alam di sekitarnya. Pekerjaan menggali, masih tetap dilakukannya. sampai akhirnya persediaan bahan makanan habis, dan lelaki itu pingsan entah berapa lama.
Beruntung, ada petugas transmigran yang datang ke daerah tandus itu. Ia menemukan Tokoh Kita dalam keadaan pingsan. Petugas itu kemudian membawanya ke rumah sakit dan ia dirawat di sana untuk beberapa lamanya.
Merasa dirinya tidak sakit, Tokoh Kita tak mau lagi dirawat di sana. Dalam perjalanan yang entah kemana, Tokoh Kita bertemu dengan Si Gemuk Pendek, bekas transmigran yang kini sudah kaya raya. Penyelundupan dan uang uang palsu telah membawa Si Gemuk Pendek mempunyai segala-galanya. Tokoh Kita lalu dibawanya ke rumah mewahnya. Namun, hanya sebentar saja karena diluar dugaan sahabatnya, Tokoh Kita tidak mau beristirahat atau ikut menikmati kemewahannya. ia tetap bertekad untuk meneruskan perjalanannya yang entah ke mana itu.
Di sebuah perkampungan aneh, Tokoh Kita bertemu dengan orang tua aneh. Ternyata ia adalah bekas pejuang yang jadi gerombolan. Belakangan, setelah ia membunuh semua anak buahnya, lelaki tua itu pun menghentikan kegiatannya dan hidup menyendiri. kini, kedua manusia yang sama-sama aneh itupun hidup bersahabat.
Pada suatu hari, salah satu dari kedua mata air yang masih mengeluarkan air, kering". (Iwan Simatupang, 1985:81). Keduanya kini sadar bahwa tak ada lagi mata air di daerah itu. setelah terjadi serangkaian diskusi panjang, satu kesimpulan akhirnya mereka peroleh; keduanya bersepakat untuk meninggalkan daerah itu. "Pernah aku cerita padamu tentang kawanku si penyelundup, bukan? bagaimana, bila kita cari pondokan padanya saja?" Si Janggut setuju. Mereka ke sana. (Iwan Simatupang, 1985:93).
Sampai di rumah Si Gemuk Pendek, mereka disambut perempuan simpanannya yang disebut wanita VIP. Tokoh Kita dan Si Janggut diterima secara sangat istimewa. Bahkan pada malamnya, di kamar masing-masing sudah tersedia wanita cantik yang siap melayani mereka. Ternyata, apa yang dilakukan Tokoh Kita dan Si Janggut itu, diluar dugaan kedua wanita cantik itu. Mereka sama sekali tak disentuhnya, bahkan diberi berbagai wejangan dan nasihat. Bagi kedua wanita itu, ini merupakan penghinaan sekaligus penghormatan. Sebuah pengalaman yang selama karirnya sebagai wanita penghibur, baru pertama kali itu mereka rasakan. Hal itu membuat mereka merasakan jatuh cinta.
Hujan yang sudah lama ditunggu pun akhirnya turun juga. Namun, rupanya turunnya hujan telah membawa bencana pula. beberapa orang disambar petir. Penduduk ketakutan. mereka kemudian bermaksud mengungsi. Kota yang dibangun oleh Tokoh Kita dari harta pemberian Si Gemuk Pendek yang telah mati ditembak pun ikut hancur. pada saat iringan pengungsi itu mulai meninggalkan kota, Tokoh Kita segera mencegatnya."kita bangun kembali...," begitu ajakan Tokoh Kita. Dengan tekad itu, mereka tak jadi mengungsi. Kota yang sudah hancur akan segera dibangun kembali dengan semangat dan tekad baru. Sejak saat itu gairah baru telah merebut seluruh dirinya. (Iwan Simatupang, 1985:168) 

3.1.2 Analisis Unsur Intrinsik Novel Kering Karya Iwan Simatupang
3.1.2.1 Tema
Tema dalam novel Kering karya Iwan Simatupang yaitu mengangkat tema kehidupan sosial. 

3.1.2.2 Cerita
Pada novel Kering Karya Iwan Simatupang ini menceritakan tentang perjalanan seseorang yang mencoba bertahan hidup di tengah musim kemarau yang berkepanjangan. Dalam perjalanannya itu berbagai peristiwa dilaluinya dari mulai bertahan di kampung transmigran dan ditinggalkan penduduknya, membuat sumur sedalam-dalamnya sampai pingsan, bertemu kawan sesama transmigran yang sudah kaya, berteman dengan bekas pemimpin gerombolan penjahat, mendapatkan harta yang sangat banyak dari pemberian kawannya yang meninggal karena ditembak petugas, hingga membangun sebuah kota baru di suatu daerah bekas sarang gerombolan penjahat.

3.1.2.3 Plot
Plot dalam novel Kering karya Iwan Simatupang ini yaitu menggunakan plot atau alur campuran, sebagaimana dalam kutipan “tokoh kita pun berceritalah. Tentang sahamnya dalam revolusi bersenjata dulu. Tentang berakhirnya revolusi bersenjata itu. Tentang keadaan normal dan damai. Tentang gelisahnya di lingkungan yang serba normal dan serba damai itu”. (Iwan Simatupang, 1985:77)

            3.1.2.4  Penokohan
1.      Tokoh Kita: baik, tegas, pekerja keras, cerdas, dan kritis.
2.      Si Gemuk Pendek: baik, penjudi, dan penyelundup.
3.      Si Kacamata: berwibawa dan berwatak keras.
4.      Sang Dukun: pembohong.
5.      Seorang Haji: baik.
6.      Si Janggut: baik dan tegas.
7.      Si Botak Kacamata: sombong dan suka sinis.
8.      VIP: baik dan setia.

3.1.2.5 Latar
Latar Waktu
1.      Pagi: Esoknya, papi-pagi benar, mereka lari kesana, untuk menemuinya masih saja air. (Iwan Simatupang, 1985:5)
2.      Siang: Matahari lohor tak kenal ampun. (Iwan Simatupang, 1985:5)
3.      Petang: Hari sudah petang. (Iwan Simatupang, 1985:9)
4.      Sore: Menggali lagi sampai sore. (Iwan Simatupang, 1985:15)
5.      Malam: Dipermukaan bumi, hari telah larut malam. (Iwan Simatupang, 1985:41)
6.      Subuh: Bangun di kala masih subuh. (Iwan Simatupang, 1985:15)

Latar Suasana
1.      Gembira: Gembiralah mereka yang menang bertaruh. (Iwan Simatupang, 1985:5)
2.      Sedih dan Kecewa: Yang telah datang duluan ke mata air itu pagi tadi, menyatakan sedih kecewanya tanpa tedeng aling-aling. (Iwan Simatupang, 1985:5)
3.      Putus asa: Bercerita tentang tak percaya mereka, tentang putus asanya mereka. (Iwan Simatupang, 1985 :5)
4.      Takut: Dia lihat “takut, putus asa, bingung”. (Iwan Simatupang, 1985:7)
5.      Bingung: Dia lihat “takut, putus asa, bingung”. (Iwan Simatupang, 1985:7)
6.      Kesepian: Kesepian diperkampungan itu adalah kesepian dari neraka. (Iwan Simatupang, 1985:14)
7.      Lengang: Kelenganagan diperkampungan itu bagi perasaannyamalah jauh dari kekosongan. (Iwan Simatupang, 1985:15)
8.      Kesunyian: Kepada kesunyian yang mengikat seluruh pemandangan alam ini (Iwan Simatupang, 1985:16)
9.      Bahagia: Kepada secuwil rasa bahagia yang mampu dikerahkannya bagi dirinya sendiri pada saat itu.(Iwan Simatupang, 1985 : 16)
10.  Marah: “kata siapa saya setuju dengan penglihatan legalistis, maupun formalistis?” sentak sekertaris fakultas sengit. (Iwan Simatupang, 1985:35)
11.  Kesal: Dekan mulai kesal. (Iwan Simatupang, 1985:35)
12.  Menangis: Wanita yang 1 menangis lagi. (Iwan Simatupang, 1985:100)

Latar Tempat
1.      Ladang: Ladang-ladang telah jadi diantara tanah retak. (Iwan Simatupang, 1985 : 5)
2.      Mata air kecil: Dia sampai di mata air kecil, sedikit dibalik bukit kecil, batas utara ladangnya. (Iwan Simatupang, 1985 : 5)
3.      Bukit kecil: Dia sampai di mata air kecil, sedikit dibalik bukit kecil, batas utara ladangnya. (Iwan Simatupang, 1985 : 5)
4.      Perkampungan kecil: Perkampungan kecil tani-tani transmigran itu rebut. (Iwan Simatupang, 1985 : 6)
5.      Rumah sakit: Serba putih bersih berbau kreolin ini, hanya bisa dimengerti: dia ada di rumah sakit. (Iwan Simatupang, 1985 : 43)
6.      Simpang 7: Hal yang demikian ini jugalah yang telah mengantar dia sekarang ke persimpangan jalan ini simpang 7. (Iwan Simatupang, 1985 : 56)

3.1.2.6 Sudut Pandang
Sudut Pandang dalam novel Kering karya Iwan Simatupang ini yaitu menggunakan sudut pandang orang ke tiga.

3.1.2.7 Bahasa
Bahasa dalam novel Kering karya Iwan Simatupang banyak mengunakan bahasa ilmiah sehingga untuk pembaca awam sulit dalam memahaminya.

3.1.2.8     Gaya Bahasa
Pada novel Kering karya Iwan Simatupang ini banyak terdapat gaya bahasa, di antaranya:
1.            Bayang tubuhnya yang jangkung, menari-nari lebih jangkung lagi atas garis-garis retak itu. (Iwan Simatupang, 1985:5) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
2.            Matahari lohor tak kenal ampun. Teriknya melecut langit. (Iwan Simatupang, 1985:5) gaya basa yang digunakan adalah majas personifikasi.
3.            Udara bergetar. Disana sini ia beruap. (Iwan Simatupang, 1985:5) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
4.            Sebuah tongkat besar dari kayu, yang ditancapkan dalam lobang mata air itu, bercerita tentang usaha sia-sia mereka merongrong air dari situ. (Iwan Simatupang, 1985:5) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
5.            Langkah-langkahnya telah mengantarnya kembali diantara retak itu. (Iwan Simatupang, 1985:6) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
6.            Garis dari retak-retak tanah yang diinjaknya itu, rasanya seperti menari-nari dalam tempurung kepalanya. (Iwan Simatupang, 1985:6). Gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
7.            Mereka lihat kepala kampong terhormat mereka, lari seperti dikejar-kejar syaitan. (Iwan Simatupang, 1985:6) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
8.            Daerah ini, dengan keadaan yang begini kini, tidak berkenankan kita hidup. (Iwan Simatupang, 1985:8) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
9.            Keharusan tak pantas muncul di dataran retak tandus begini. (Iwan Simatupang, 1985:9) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
10.        Tubuh mereka seperti menancap disitu, menuding lurus-lurus kelangit kemarau. (Iwan Simatupang, 1985:9) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
11.        Akhirnya, tubuh kacamata yang dipotong-potong oleh garis-garis retak ditanah itu, hilang di jauhan. (Iwan Simatupang, 1985:9) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
12.        Ditelan oleh petang kemarau yang retak. (Iwan Simatupang, 1985:9) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
13.        Sidang menghadapi jalan buntu. (Iwan Simatupang, 1985:9) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
14.        Panas kemarau menggitik kerongkongannya. (Iwan Simatupang, 1985:10) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
15.        Berita tentang si kacamata yang sudah berangkat duluan, merangsang beberapa mereka untuk menabrak malam dan berangkat segera. (Iwan Simatupang, 1985:13) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
16.        Kesepiannya di perkampungan itu adalah kesepian dari neraka. (Iwan Simatupang, 1985:14) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
17.        Matahari dari kemarau berkepanjangan tak terluaskan. (Iwan Simatupang, 1985:14) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
18.        Dia akan menggali terus bila perlu, menembus bundaran bumi dan sampai misalnya di kulit bumi Mexico atau Texas. (Iwan Simatupang, 1985:15) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
19.        Otot-ototnya membaja. (Iwan Simatupang, 1985:15) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
20.        Demikianlah, pada suatu pagi, dia sehabis jalan-jalan berseru kepada matahari yang menyembul di langit timur. (Iwan Simatupang, 1985:16) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
21.        Matahari membalas ramah melalui burung-burung yang berkicau dan sinar-sinar pertama yang dipantulkan kembali oleh lembung lensa matanya. (Iwan Simatupang, 1985:16)  gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
22.        Kepada guci tua yang mencari warna bagi dirinya antara lumut dekil yang menebal di dindingnya sebelah dalam dan debu yang terlalu kelabu karena debunya menebal di dindingnya sebelah luar. (Iwan Simatupang, 1985:16) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
23.        Kepada kesunyian yang mengikat seluruh pemandangan ini menjadi suatu lukisan tentang salah satu kemungkinan hidup di bawah kolong langit. (Iwan Simatupang, 1985:16) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
24.        Kepada api yang menjilat biru di tungkunya tak lama kemudian.. (Iwan Simatupang, 1985:16) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
25.        Alangkah kagetnya dia, ketika suara batuknya menggaung bagaikan badai pusaran. (Iwan Simatupang, 1985:17) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
26.        Dia seperti mendengar 1000 raksasa dari dongeng batuk serempak. (Iwan Simatupang, 1985:17) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
27.        Anak telinganya serasa pecah. (Iwan Simatupang, 1985:18) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
28.        Suara-suara itu didengarnya terus, seperti ikut lompat keluar sumur, dan mengejarnya. (Iwan Simatupang, 1985:18) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
29.        Suara-suara itu mengejarnya. (Iwan Simatupang, 1985:18) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
30.        Kaki langit di jauhan menari-nari. (Iwan Simatupang, 1985:19) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
31.        Kemarau yang berkepanjangan, menyatakan dirinya dengan cara yang sangat tak kenal ampun. (Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
32.        Dahan-dahannya gundul, menuding patah-patah keatas…. (Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
33.        Dahan-dahannya gundul, menuding patah-patah keatas, seperti mau-mau mendakwah langit saja (Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
34.        Kemarau telah memberi selaput tertentu pada tiap benda. (Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
35.        Dan dalam neraka yang keburu datang ke perkampungan transmigran ini, hiduplah tokoh kita. (Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
36.        Hidupnya dengan sendirinya adalah hidup di neraka juga. (Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
37.        Teriak-teriak rintih kesakitan mereka gegap gempita, diselang-seling gemeretak bunyi api. (Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
38.        Seperti manusia dengan panas di neraka…. (Iwan Simatupang, 1985:29) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
39.        Kerangka hidup rutinnya hingga kin ditentukan oleh naluri dan fantasi liar yang sewaktu-waktu datang menyergapnya. (Iwan Simatupang, 1985:30) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
40.        Naluri menentukan arah dari arus bawah hidupnya. (Iwan Simatupang, 1985:30) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
41.        Fantasi liar menentukan arah arus atasnya. (Iwan Simatupang, 1985:30) gaya bahasa yang digunakan adalah personfikasi.
42.        Dari garis-garis yang dapat mencipta titik silang dengan hidup sendiri. (Iwan Simatupang, 1985:31) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
43.        Senyumya dari langit ke 7. (Iwan Simatupang, 1985:54) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
44.        Matahari senja bertengger atas bukit-bukit berpunggung jingga. (Iwan Simatupang, 1985:55) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
45.        Kaki langit masih saja manarikan kemarau. (Iwan Simatupang, 1985:56) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
46.        Sunyi kemarau sunggu berbeda. Dihisapnya segala hijau. (Iwan Simatupang, 1985:57) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
47.        Bukit-bukit gundul dijauhkan seperti ikut terbang. (Iwan Simatupang, 1985:60) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
48.        Seperti iring-iringan kereta api lain saja, yang lari di pasangan rel lain dijauhkan. (Iwan Simatupang, 1985:60) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
49.        Lengang yang dijumpainya selama menempuh jalan ini, membikin bimbangnya kini kembali, keras seperti baja. (Iwan Simatupang, 1985:63) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
50.        Dia seperti mendengar runtuhnya langit saja. (Iwan Simatupang, 1985:65) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
51.        Kali ini, teriaknya benar-benar menyayat. Menyayat gelap dan heningnya malam. (Iwan Simatupang, 1985:67) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
52.        Menyayat hati manusia, disebabkan pilunya nada-nadanya. (Iwan Simatupang, 1985:67) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
53.        Persis teriakan paling akhir seorang sebelum ditelan ombak atau jilatan api. (Iwan Simatupang, 1985:67) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
54.        Sunyi dan gelap malam pecah berantakan, diobrak-abrik ledakan-ledakan tawa 2 manusia. (Iwan Simatupang, 1985:68) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
55.        Fajar di ufuk memberi garis abu-abu putih pada sekeliling. (Iwan Simatupang, 1985:69) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
56.        Bagaikan halilintar di tengah kemarau berkepanjangan. (Iwan Simatupang, 1985:78) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
57.        Tawanya itu menikam hening berahasia di sekitar situ. (Iwan Simatupang, 1985:78) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
58.        Sorak mereka berdua menikam langit petang, dan menggema ke bukit-bukit gundul di jauhan. (Iwan Simatupang, 1985:80) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
59.        Rasanya, seperti dia baru saja mendarat di suatu planit asing, setelah sekian lama ia meluncur di luar angkasa. (Iwan Simatupang, 1985:95) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
60.        Langit mempersiapkan pagi. (Iwan Simatupang, 1985:100) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
61.        Akhirnya, bertenggerlah kuning mas pertama di langit timur. (Iwan Simatupang, 1985:100) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
62.        Sinar pertama matahari yang bertengger di batang hidungnya, membuat pria yang satu jaga dari lamunannya. (Iwan Simatupang, 1985:100) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
63.        Matahari menancap tinggi di langit. (Iwan Simatupang, 1985:102) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
64.        Segar pagi mengendap pergi. (Iwan Simatupang, 1985:102) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
65.        Masih ada sekian ketentuan lainnya, sebanyak bintang di langit. (Iwan Simatupang, 1985:108) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
66.        Si botak kacamata lari ke mobilnya, terbang kerumahnya, meyeret istrinya ke gunung, “bercuti jabatan” tiga bulan. (Iwan Simatupang, 1985:113) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
67.        Kau berlagak seperti Socrates kesasar yang terdampar kemari dan mencoba jauh tampang dengan percakapan-percakapan sok dalam. (Iwan Simatupang, 1985:114) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
68.        Dan sepotong langit kemarau yang dapat ditangkap oleh jendela mobil... (Iwan Simatupang, 1985:114) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
69.        Mobilnya lari, seperti setan. (Iwan Simatupang, 1985:115) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
70.        Kemarau telah masuk ke dalam sumsumnya. (Iwan Simatupang, 1985:118) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
71.        Atap-atap dengan tajamnya memotong langit. (Iwan Simatupang, 1985:118) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
72.        Aneh! Pikirnya, nasi rames sepiring bisa mengubah langit. (Iwan Simatupang, 1985:118) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
73.        Baru setelah dia hilang di balik senja yang menyergap bagian terakhir jalan itu, dia kembali ke Landrofernya. (Iwan Simatupang, 1985:122) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
74.        Beberapa gumpal awan hitam datang kejar-kejaran dari utara. (Iwan Simatupang, 1985:125) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
75.        Awan itu akhirnya menyibak dalam 2 kelompok. (Iwan Simatupang, 1985:125) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
76.        Ketika gerimis pertama turun, dunia serasa kiamat. (Iwan Simatupang, 1985:126) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
77.        Pelan-pelan, tapi dengan kekuatan 1000 raksasa sekaligus di langit, tubuh tokoh kita diangkatnya atas tubuhnya. (Iwan Simatupang, 1985:134) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
78.        Kelompok awan putih besibak. (Iwan Simatupang, 1985:1134) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
79.        Dia ditelan ibadah seluruhnya. (Iwan Simatupang, 1985:138) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
80.        Matahari menungging di langit barat. Jingga kemarau bertebaran. (Iwan Simatupang, 1985:140) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
81.        Lenggang kota bersepuh emas. (Iwan Simatupang, 1985:140) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
82.        Angin mendesah. Gersang. (Iwan Simatupang, 1985:140) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
83.        Pelan-pelan matahari turun. (Iwan Simatupang, 1985:140) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
84.        Oleh sebab perkawinan adalah lembaga formal dari naluri manusia yang bernama cinta,… (Iwan Simatupang, 1985:143) gaya bahasa yang digunakan adalah majas metafora.
85.        Sebab di langit utara raksasa-raksasa kelabu dilihatnya datang. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
86.        Sebab di langit utara raksasa-raksasa kelabu dilihatnya datang. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
87.        Angin menghembus (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
88.        Alam gelisah. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
89.        Pohon, kerikil, debu semua mulai bergerak. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
90.        Kemarau mulai bergerak. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
91.        Dia cakar tenggorokan kita dengan api dalam sekam…. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
92.        Keringat kita adalah keringat yang menguap di jangat kita. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas metafora.
93.        Keringat yang mengucur, tak nyaman. Dia bikin kita lekas sekali tersinggung. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
94.        Satu, dua dibanting-banting angin. Beberapa atap dikuak-kuak angin. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
95.        Raksasa-raksasa di langit bersatu. (Iwan Simatupang, 1985:148) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
96.        Raksasa-raksasa di langit bersatu. (Iwan Simatupang, 1985:148) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
97.        Raksasa-raksasa di langit bersibak, lari ke selatan. (Iwan Simatupang, 1985:148) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
98.        Matahari muncul lagi. (Iwan Simatupang, 1985:148) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
99.        Republik diteriakkan bagi bentuk negara yang lebih totaliter daripada monarki dan feodalisme.  (Iwan Simatupang, 1985:150) gaya bahasa yang digunakan adalah majas ironi.
100.    Demokrasi diteriakkan untuk jadi dalih bagi penindasan dan penghisapan tak kenal batas. (Iwan Simatupang, 1985:150) gaya bahasa yang digunakan adalah majas sinisme.
101.    Satu gairah baru, dan asing baginya selama ini, tiba-tiba merebut dirinya. (Iwan Simatupang, 1985:153) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
102.    Darahnya tersirap, kemudian membadai membuih ke seluruh bagian tubuhnya. (Iwan Simatupang, 1985:153) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
103.    Jantungnya bertam-tam perang Afrika. (Iwan Simatupang, 1985:153) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
104.    Kasih dan maaf adalah juga tiang-tiang kokoh atas mana dia mendirikan dirinya. (Iwan Simatupang, 1985:156) gaya bahasa yang digunakan adalah majas metafora.
105.    Canangnya yang paling efisien adalah perbuatan. (Iwan Simatupang, 1985:158) gaya bahasa yang digunakan adalah majas metafora.
106.    Kata VIP II, si gemuk pendek telah tertembak mati. (Iwan Simatupang, 1985:159) gaya bahasa yang digunakan adalah majas antonomasia.
107.    Seluruh tubuhnya seperti kena tusuk besi dingin. (Iwan Simatupang, 1985:159) gaya bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan.
108.    Bulu di kuduknya, di seluruh janggutnya, tegak menyorakkan: si gemuk pendek telah tak ada lagi! (Iwan Simatupang, 1985:159) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
109.    Matanya melihat molekul-molekul udara, menari-nari, berwarna-warni, meneriakan: Si gemuk pendek telah tak ada lagi! (Iwan Simatupang, 1985:160) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
110.    Seperti ular sanca yang menelan celeng saja. (Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa yang digunakan adalah majas perbandingan.
111.    Hidung sebuah truk tiba-tiba muncul di tikungan tajam. (Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
112.    Tokoh kita membanting setirnya. (Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
113.    Raksasa-raksasa hitam antri di langit. (Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
114.    Angin melengking terus. Langit menggelagak. (Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
115.    Masing-masing mencoba memperhatikan apa yang dapat diperhatikan dalam alam mengamuk begitu. (Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.


3.1.2.9 Moral
Moral dalam novel Kering karya Iwan Simatupang di antaranya seperti dalam kutipan :
“siapa dia? Tanya tokoh kita tak sabar. Nyonya rumah mencubit pipi tokoh kita dengan genitnya. Saya telah menyediakan dua kamar buat tuan-tuan. Sekarang jelas apa maksudnya wanita itu saya undang kemari malam ini? Tokoh kita bergidik. Oh! Jadi itu maksudmu?
Apa 2  buat 2 kalian tidak cukup? mau 4 ah? Nyonya rumah tertawa cekikikan” (Iwan Simatupang, 1985:98).
“malu, sangat malu. Belum pernah aku diperlakukan laki-laki begini. Aku tak disentuhnya sama sekali. “zus”, katanya hormat kepadaku, lalu dia tertawa hanya itu” (Iwan Simatupang, 1985:101).

3.1.3 Analisis Unsur Ekstrinsik Novel Kering Karya Iwan Simatupang
3.1.3.1 Biografi Pengarang
Iwan Simatupang
Iwan Martua Dongan Simatupang, yang lebih umum dikenal sebagai "Iwan Simatupang" (lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 – meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970 pada umur 42 tahun) adalah seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia. Ia belajar di HBS Medan, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958. Ia pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP dan ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di Sumatera Utara (1949) setelah bebas, ia melanjutkan sekolahnya sehingga lulus SMA di Medan. Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970). Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.
Pada mulanya ia menulis sajak, tapi kemudian terutama menulis esai, cerita pendek, drama, dan roman. Sebagai pengarang prosa ia menampilkan gaya baru, baik dalam esainya, maupun dalam drama, cerita pendek dan terutama dalam romannya; dengan meninggalkan cara-cara konvensional dan alam pikiran lama. Jalan cerita dan penampilan watak dalam semua karangannya tidak lagi terikat oleh logika untuk sampai kepada nilai-nilai baru yang lebih mendasar.
Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. "Ziarah" merupakan novelnya yang pertama, ditulis dalam sebulan pada tahun 1960; diterbitkan di Indonesia pada 1969. Pada 1972, "Kering", novelnya yang ketiga diterbitkan. "Kooong" (1975) mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P Dan K 1975. Pada tahun 1963, ia mendapat hadiah kedua dari majalah Sastra untuk esainya "Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air". Menurut Benedict Richard O'Gorman Anderson, Iwan Simatupang dan Putu Wijaya merupakan dua orang penulis fiksi yang berpengaruh dari Indonesia sejak kemerdekaan dan keduanya memiliki kelekatan yang kuat dengan realisme gaib ("magical realism").

Daftar Karya
Berikut adalah karya-karya Iwan Simatupang:
·         Bulan Bujur Sangkar - drama (1960)
·         Petang di Taman - drama sebabak (1966, judul asli Taman, diubah penerbit menjadi Petang di Taman)
·         RT Nol /RW Nol - drama sebabak (1966)
·         Merahnja merah - novel (1968)
·         Ziarah - novel (1969)
    • The Pilgrim - terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1975)
·         Kering - novel (1972)
    • Drought - terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1978)
·         Kooong: kisah tentang seekor perkutut (1975)
·         Tegak lurus dengan langit: lima belas cerita pendek (1982, penyunting: Dami N. Toda)
·         Surat-surat politik Iwan Simatupang, 1964-1966 (1986, penyunting: Frans M. Parera)
·         Sejumlah Masalah Sastra - kumpulan esai (1982, penyunting: Satyagraha Hoerip)
·         Ziarah - novel (1983)
    • Ziarah - terjemahan bahasa Perancis (1989)
·         Poems - selections (1993)
·         Square moon, and three other short plays - terj. John H. McGlynn (1997)
·         Ziarah malam: sajak-sajak 1952-1967 - penyunting: Oyon Sofyan, S. Samsoerizal Dar, catatan penutup, Dami N. Toda (1993)
·         Kebebasan pengarang dan masalah tanah air: esai-esai Iwan Simatupang, editor, Oyon Sofyan, Frans M. Parera (2004)
·         Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, ed), Yayasan Arus, 1985

Studi
Studi terhadap karya-karya Iwan Simatupang dilakukan oleh:
·         Dami N. Toda dalam Novel Baru Iwan Simatupang - sajak (1980)
·         Korrie Layun Rampan dalam Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia - kumpulan esai (1985)
·         Okke K. S. Zaimar dalam Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang - sajak (1991)
·         Kurnia J. R. dalam Inspirasi? Nonsen! Novel-novel Iwan Simatupang - sajak 1999)


3.1.3.2 Psikologi
3.1.3.2.1 Psikologi Pengarang
Terdapat hubungan antara karya dengan psikologi pengarang. Bagaimana keaadaan emosional seorang Iwan Simatupang begitu berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkannya. Hal ini bisa dilihat pada novel Kering karya Iwan Simatupang. Pengarang melalui pengalaman kehidupan yang pernah dilaluinya kemudian mengaplikasikannya ke dalam sebuah novel kering. Bagaimana ia begitu lincahnya memakai bahasa-bahasa ilmiah di novelnya, karena dia pernah menempuh bangku kuliah. Ia juga sangat kritis terhadap kehidupan di lingkungannya.

3.1.3.2.2 Psikologi Pembaca
Setelah membaca novel Kering karya Iwan Simatupang, pembaca dapat merasakan efek dari novel tersebut di antaranya novel tersebut mengajarkan kepada kita untuk tidak putus asa dan tidak bergantung kepada orang lain. Dalam novel tersebut juga dijelaskan betapa tangguhnya tokoh kita dalam mengarungi kehidupan. Serta kita juga dituntut untuk saling tolong menolong terhadap sesama.

3.1.3.3 Keadaan Lingkungan Pengarang
3.1.3.3.1 Lingkungan Ekonomi
keadaan lingkungan di sekitar pengarang seperti ekonomi, dapat  menjadi unsur ekstrinsik yang mendasari penulisan suatu karya sastra. Dalam novel kering ini, pengarang mencoba memberikan gambaran tentang kehidupan ekonomi yang terjadi ketika musim kemarau yang berkepanjangan. Betapa sulitnya melalui kehidupan di tengah-tengah keadaan musim kemarau yang tak kunjung berakhir.

3.1.3.3.2 Lingkungan Politik
Keadaan politik yang terjadi di lingkungan pengarang ketika novel itu dibuat turut mempengaruhi isi dari sebuah karya sastra. Dalam novel Kering ini, pengarang mencoba menceritakan keadaan politik setelah Indonesia merdeka, dimana masih ada pemberontakan dari orang-orang yang tidak menyukai pemerintah. Bahkan pengarang pernah menjadi komandan TRIP dan ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di Sumatera Utara pada tahun 1949.

3.1.3.3.3 Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah tempat dimana masyarakat saling berinteraksi dan melakukan sesuatu secara bersama-sama antar sesama maupun dengan lingkungannya. Pada novel Kering ini, pengarang dengan kehidupan sosial yang pernah dilaluinya menggambarkan begitu detail tentang keadaan yang terjadi di negeri Indonesia ketika musim kemarau yang berkepanjangan tiba. Bagaimana kehidupan masyarakat yang begitu kesusahan dalam mencari sumber air akibat keringnya mata air. Bagaimana masyarakat nyaris tak bisa berbuat apa-apa karena efek yang ditimbulkan dari kemarau yang terlalu apa. Bagaimana kehidupan begitu mencekam dialami masyarakat yang harus mengalami keadaan kemarau. Bagaimana pemerintah bertindak dalam mengatasi masa-masa yang sulit ini. Semua itu ia tuangkan dalam novel Kering ini.

3.3 Kajian Dekonstruksi
Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan masyarakat. Gambaran kehidupan bisa berupa masalah sosial, seperti pandangan hidup yang kontroversial dengan zamannya.
Untuk melihat karya sastra secara totalitas, dibutuhkan kajian/pendekatan yang mendalam. Pendekatan dekontruksi adalah salah satu pendekatan untuk menganalisis dan untuk memahami sastra, khususnya novel. Novel yang kami analisis adalah novel Kering karya Iwan Simatupang yang berjudul Kering.  Analisis ini bertujuan mendeskripsikan proses perubahan tokoh dalam novel Kering karya Iwan Simatupang melalui Pendekatan Dekontruksi. Pendekatan Dekontrusi adalah penyangkalan atau pemutarbalikan teks.
Sehingga dalam novel ini, mengalami proses perubahan: tokoh protagonis menjadi tokoh antagonis, dan tokoh antagonis berubah menjadi tokoh protagonis.
Tokoh Kita, bila dilihat dari struktural itu tokoh yang baik, tegas, mempunyai wawasan yang luas, mandiri, dan pintar, serta menghargai orang lain. Namun, dilihat dari pendekatan dekonstruksi, Tokoh Kita dalam novel Kering ini kurang baik karena Tokoh Kita ini memberontak atas kehendak sendiri meninggalkan bangku kuliah. Ia tidak puas dengan sistem dan materi pendidikan yang diterimanya. Tokoh Kita juga pergi bertransmigrasi atas kemauannya sendiri.
Sebaliknya dengan tokoh Si Gemuk Pendek. Dari struktural Si Gemuk Pendek ini, ia adalah tokoh yang jahat, penyelundup barang-barang yang bukan miliknya. Namun, dilihat dari pendekatan dekonstruksi, tokoh Si Gemuk Pendek ini baik, peduli dengan orang lain. Seperti dalam kutipan ini,
“Jangan kau terlalu bangga dengan semboyanmua “terus!” itu. Aku kenal benar tabiatmu yang pantang mengemis itu. Tapi, cobalah saksikan dirimu sendiri. Kurus kering. Jerangkong hidup dalam piama lurik. Tidakah maksudku untuk memberimu sedekah, bila kini kutawarkan padamu beristirahatlah dahulu di sini sampai jasmanimu kuat dan sehat kembali.” (Iwan Simatupang, 1985:52)
Setelah Si Gemuk Pendek meninggal, ia juga mewariskan semua hartanya kepada tokoh Kita. Kemudian tokoh kita memanfaatkan harta yang ia dapatkan dari warisan Si Gemuk Pendek untuk membangun sebuah kota transmigrasi.

3.4 Kajian Feminis
Wanita VIP – gula-gula Si Gemuk Pendek – menyambut hangat sekali kedatangan mereka.
-          Nah, lu! Bisik Si Janggut, menyenggol Tokoh Kita.
Si Gemuk Pendek ternyata tak di rumah. Sedang berpergian. Tugas. Tapi, sebelum dia pergi, sempat dia instruksikan VIP untuk siap-siap menyambut kedatangan Tokoh Kita. (Iwan Simatupang, 1985:93)
Setelah segala tetek bengek yang lazim dilakukan setelah itu, mereka segera berbincang tentang acara berikutnya : tidur, dengan tangkasnya VIP mengingatkan kembali pesan tuannya- Si Gemuk Pendek- yang menekankan agar kepada Tokoh Kita, kawannya, diberi segala sesuatu yang menyenangkan dia. Dia tidak boleh kurang sesuatu! Demikianlah bunyi perintahnya. Oleh sebab itu dia –nyonya rumah- ingin melaksanakan perintah itu sebaik mungkin, demikianlah oceh VIP, dia sangat mengharapkan pula, agar segala suguhannya hendak jangan ada yang ditolak. Selesai pidato ringkas pengantar ini dengan cepat nyonya rumah memaklumkan susunan pasangan-pasangan: Si Janggut dengan wanita asing yang baru datang itu, sedangkan selebihnya….aah! apa masih belum jelas ?
Wanita pendatang baru itu –sudah dalam pakaian tidur yang transparan- menantinya sudah di ambang pintu kamar yang tersedia bagi mereka. Tanpa bu dan ba, Si Janggut kontan disekapnya dalam pelukannya. Persis seperti ikan gurita raksaksa, dia kemudian menyeret korbanya ke dalam kamar, yang daun pintunya disekapnya dengan sebelah kakinya yang…telanjang. (Iwan Simatupang, 1985:99)
Sinar pertama matahari yang bertengger di batang hidungnya, membuat pria yang satu jaga dari lamunannya. Dia melihat pria 1 lagi. Setelah sepakat saja, mereka masuk ke rumah. Mereka mandi. Sesudah itu mereka mengenakan kembali pakaian dengan mana mereka semula datang ke rumah itu. Sarapan yang dihidangkan pelayan, mereka makan. Selesai itu, mereka saling berpandangan.
Akhirnya bungkam sejak tadi itu pecah juga.
-          Malu. Sangat malu. Belum pernah aku diperlakukan laki-laki begini. Aku tak disentuhnya sama sekali. “Zus”, katanya hormat padaku, lalu dia tertawa. Hanya itu.
Isak yang dihempaskan oleh kata-kata putus ini, membuat wanita yang 1 lagi tertegun sebentar. Air yang menggerabak terus dari matanya, memaksanya untuk juga mengucapkan pengakuannya.
-          Dengan aku pun demikian….
-          Tapi aneh. Justru karena penghinaannya yang tak disengaja itulah kukira aku justru telah jatuh cinta padanya. Belum pernah aku bertemu laki-laki seperti dia.
Wanita yang 1 lagi takjub. Dihapusnya air matanya. Pelan-pelan, hampir berbisik, diapun mengaku.
-          Akupun demikian. Dia laki-laki yang benar-benar lain daripada yang lain. Kukira, akupun telah jatuh cinta padanya. Dan toh, dia telah sangat menghina aku. Tak kusangka, aku masih bisa mencintai laki-laki.
Wanita pertama takjub. Diapun lalu menghapus air matanya. Sangat terharu, dia berbisik :
-          Akupun tak menyangka, wanita seperti aku masih bisa jatuh cinta. Mencintai laki-laki. Padaku dia cerita panjang lebar tentang acara berat-berat, seperti: arti wanita, adat kita orang Timur, dsb. Tapi, aku sedikitpun tak disentuhnya. (Iwan Simatupang, 1985:102) 
Dalam kutipan diatas menyatakan bahwa wanita VIP itu melaksanakan amanat dari Si Gemuk Pendek dengan baik, akan tetapi amanat yang diberikan oleh Si Gemuk Pendek itu tidak baik karena menyuruh wanita VIP untuk menemani dan melayani nafsu syahwat dari Tokoh Kita dan Si Janggut, tetapi ketika wanita VIP memberikan kamar masing-masing dengan servis yang sangat bagus, kedua pria tersebut justru menolaknya. Akan tetapi wanita VIP memaksa kedua pria tersebut. Dan akhirnya kedua pria itu pun menurut saja. Kutipan di atas menceritakan kehidupan wanita VIP sebagai wanita pemuas nafsu laki-laki.
Ketika wanita VIP dan temannya itu akan menemani Tokoh Kita dan Si Janggut dalam semalam, Tokoh Kita dan Si Janggut tersebut tak pernah menjamahnya atau tak sedikit pun ia sentuh tubuh wanita-wanita tersebut. Karena mereka menganggap wanita itu mulia, sangat menghormati wanita-wanita tersebut dan wanita bukan untuk dipermainkan. Dengan sikap Tokoh Kita dan Si Janggut yang sangat menghormati wanita, kedua wanita tersebut sangat terharu dan baru merasakan ada laki-laki yang sangat menghormatinya. Rasa haru itu meluluhkan hati kedua wanita tersebut sehingga kedua wanita tersebut jatuh hati kepada Tokoh Kita dan Si Janggut.



BAB 4
SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan
Simpulan yang bisa diambil dari analisis novel Kering karya Iwan Simatupang ini di antaranya adalah:
4.1.1 Unsur Intrinsik
Tema dalam novel Kering karya Iwan Simatupang yaitu mengangkat tema kehidupan sosial,
Pada novel Kering Karya Iwan Simatupang ini menceritakan tentang perjalanan seseorang yang mencoba bertahan hidup di tengah musim kemarau yang berkepanjangan.
Plot dalam novel Kering karya Iwan Simatupang ini yaitu menggunakan plot atau alur campuran.
Tokoh yang digambarkan pada novel Kering karya Iwan Simatupang ini tidak menggunakan nama tokoh seperti lazimnya kebanyakan novel, tetapi menggunakan nama tokoh sebutan seperti Tokoh Kita, Si Gemuk Pendek, Si Janggut, Si Botak Kacamata, dan lain sebagainya dengan berbagai karakter penokohan di dalamnya.
Pada Novel Kering karya Iwan Simatupang ini terdapat latar waktu (subuh, pagi, siang, sore, dan malam), latar suasana (gembira, sedih dan kecewa, putus asa, takut, bingung, kesepian, lengang, kesunyian, bahagia, marah, kesal, dan menangis), dan latar tempat (ladang, mata air kecil, bukit kecil, perkampungan kecil, rumah sakit, dan simpang 7)
Sudut Pandang dalam novel Kering karya Iwan Simatupang ini yaitu menggunakan sudut pandang orang ke tiga.
Bahasa dalam novel Kering karya Iwan Simatupang ini banyak mengunakan bahasa ilmiah sehingga untuk pembaca awam sulit dalam memahaminya.
Pada novel Kering karya Iwan Simatupang ini banyak terdapat gaya bahasa, di antaranya majas personifikasi, majas hiperbola, majas metafora, majas perumpamaan, dan sebagainya.
Moral dalam novel Kering karya Iwan Simatupang ini di antaranya seperti 2 wanita yang mencoba memberikan pelayanan kepada 2 orang pria, namun kedua pria tersebut justru menolaknya dan bahkan tidak menyentuhnya sama sekali.

4.1.2 Unsur Ekstrinsik
Iwan Martua Dongan Simatupang, yang lebih umum dikenal sebagai "Iwan Simatupang" (lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 – meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970 pada umur 42 tahun) adalah seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia.
Terdapat hubungan antara karya dengan psikologi pengarang. Bagaimana keaadaan emosional seorang Iwan Simatupang begitu berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkannya.
Setelah membaca novel Kering karya Iwan Simatupang, pembaca dapat merasakan efek dari novel tersebut di antaranya novel tersebut mengajarkan kepada kita untuk tidak putus asa dan tidak bergantung kepada orang lain.
keadaan lingkungan di sekitar pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial dapat  menjadi unsur ekstrinsik yang mendasari dan berpengaruh terhadap penulisan suatu karya sastra.

4.1.3 Kajian Dekonstruksi
Tokoh Kita, bila dilihat dari struktural itu tokoh yang baik, tegas, mempunyai wawasan yang luas, mandiri, dan pintar, serta menghargai orang lain. Namun, dilihat dari pendekatan dekonstruksi, tokoh kita dalam novel Kering ini kurang baik karena Tokoh kita ini memberontak atas kehendak sendiri meninggalkan bangku kuliah. Ia tidak puas dengan sistem dan materi pendidikan yang diterimanya. Ia juga pergi bertransmigrasi atas kemauannya sendiri.
Sebaliknya dengan tokoh Si Gemuk Pendek. Dari struktural Si Gemuk Pendek ini, ia adalah tokoh yang jahat, penyelundup barang-barang yang bukan miliknya. Namun, dilihat dari pendekatan dekonstruksi tokoh Si Gemuk Pendek ini baik, peduli dengan orang lain.

4.1.4 Kajian Feminis
Tokoh Kita dan Si Janggut menganggap wanita itu mulia, sangat menghormati wanita-wanita tersebut dan wanita bukan untuk dipermainkan. Dengan sikap Tokoh Kita dan Si Janggut yang sangat menghormati wanita, kedua wanita tersebut sangat terharu dan baru merasakan ada laki-laki yang sangat menghormatinya. Rasa haru itu meluluhkan hati kedua wanita tersebut sehingga kedua wanita tersebut jatuh hati kepada Tokoh Kita dan Si Janggut.

4.2 Saran
Novel Kering karya Iwan Simatupang ini sangat menguras emosional pembaca. Masukan yang bisa diberikan untuk novel ini adalah bahwa novel ini terlalu banyak menggunakan kata-kata dan bahasa ilmiah yang sulit dipahami oleh pembaca awam yang belum banyak mengenyam pendidikan tinggi pada saat membaca novel ini.




DAFTAR PUSTAKA

Simatupang, Iwan. 1985. Kering. Jakarta: Gunung Agung.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Analisis Novel Kering karya Iwan Simatupang"

Posting Komentar