Kumpulan Puisi Joko Pinurbo - Assalamu’alaikum…
selamat pagi, selamat berjumpa lagi dengan blog MJ Brigaseli. Pada kesempatan
di pagi ini saya akan mencoba berbagi tentang kumpulan puisi Joko Pinurbo.
Langsung saja ya….
Joko Pinurbo lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei
1962, adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Karya-karya puisinya merupakan
perpaduan antara naratif, ironi refleksi diri, dan kadang mengandung unsur
“kenakalan” Tahun 2005, dia menerima anugerah dari Khatulistiwa Literary Awards kategori puisi melalui bukunya, Kekasihku. Ia lulus dari jurusan Pendidikan
bahasa dan sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Joko Pinurbo pernah
menjadi redaktur Basis, Gatra dan Sadhar terbitan IKIP Sanata Dharma, juga mengajar di almamaternya,
dan terakhir bekerja di PT. Grasindo cabang Yogyakarta.
Joko Pinurbo mulai menulis puisi pada usia 20-an walaupun ia telah
membaca puisi-puisi Indonesia sejak remaja. Dalam menulis puisi, ia kerap
mencampur antara realitas dengan impian, hikmat dengan unsur-unsur komik, si
angkuh dan si pejalan kaki, yang semua itu dapat ditemukan dalam satu baris dan
diucapkan dalam satu hembusan napas. Citra reliji dapat tampil berdampingan
dengan komentar-komentar berbau sosial politik pun percakapan yang intim.
Beberapa karya puisi Joko Pinurbo tampaknya merupakan parodi dari tradisi
puisi Indonesia. Selain itu ia juga gemar menggunakan pencitraan yang
kelihatannya klise yang jarang ditemukan dalam puisi Indonesia, misalnya
pengacuannya pada objek-objek yang biasa ditemukan sehari-hari seperti sarung,
telepon genggam, kamar mandi, celana panjang, merupakan ciri khas dari
karya-karya Joko Pinurbo.
Selain puisi, Joko Pinurbo juga menulis esai. Karya-karyanya
dipublikasikan di berbagai majalah dan surat kabar antara lain Horison, Basis,
Kalam, Citra Yogya, Jurnal Puisi, Mutiara, Suara Pembaruan, Media Indonesia,
Republika, Kompas, dan Bernas.
DARI
RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM
untuk
Linus Suryadi AG
Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam mulai merambat ke leher,
encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang.
Dan angin pantai Jepara yang kering
berjingkat pelan di alis yang tenang;
di pelupuknya anak-anak kesunyian
ingin lelap berbaring, ingin teduh dan tenteram.
“Terimalah salam damaiku
lewat angin laut yang kencang, dinda.
Resah tengah kucoba.
Sepi kuasah dengan pena.
Kaudengarkah suara gamelan
tak putus-putusnya dilantunkan
di pendapa agung yang dijaga
tiang-tiang perkasa
hanya untuk mengalunkan
tembang-tembang lara?
Kaudengarkah juga
derap kereta di jauhan
datang melaju ke arah jantungku.”
Kereta api hitam berderap membelah malam,
melintasi hamparan kelabu perkebunan tebu.
Kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,
di belakangnya perempuan-perempuan pemberani
berduyun-duyun mengusung matahari.
“Perahu-perahu kembara, dinda,
telah kulepas dari pantai Jepara.
Berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku
ke gugusan hijau pulau-pulau Nusantara.
Berlayarlah ke negeri-negeri jauh,
ke Nederland sana.
Seperti kukatakan pada Ny. Abendanon
dan Stella: ingin rasanya aku
menembus gerbang cakrawala.”
Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Tangan masih menyurat di atas kertas.
Hati melemas pada berkas-berkas cemas.
Angin merambat lewat kain dan kebaya.
Dingin merayap hingga sanggulnya.
Dan anak-anak kesunyian bergelayutan
pada bulu matanya yang sayup,
yang mengungkai cahaya redup.
“Sering kubayangkan, dinda,
perempuan-perempuan perkasa
berbondong-bondong menyunggi matahari,
menggendong bukit-bukit tandus
di gugusan pegunungan seribu
menuju hingar-bingar pasar palawija
di keheningan langit Jogja.
Kubayangkan pula
ladang-ladang karang
dirambah, disiangi
kaki-kaki telanjang
dengan darah sepanjang zaman.”
Kereta api hitam berderap membelah malam,
membangunkan si lelap dari tidur panjang.
Jari masih menulis bersama gerimis,
bersama angin dan kenangan.
Di telapak tangannya perahu-perahu dilayarkan
ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh
tak terjangkau.
“Badai, dinda,
badai menyerbu ke atas ranjang.
Kaudengarkah kini biduk mimpiku
sebentar lagi karam
di laut Rembang?”
Raden Ajeng Kartini terkantuk-kantuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam membara, encok meruyak pula.
Dan sepasang alap-alap melesat
dari ujung pena yang luka.
(1997)
Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam mulai merambat ke leher,
encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang.
Dan angin pantai Jepara yang kering
berjingkat pelan di alis yang tenang;
di pelupuknya anak-anak kesunyian
ingin lelap berbaring, ingin teduh dan tenteram.
“Terimalah salam damaiku
lewat angin laut yang kencang, dinda.
Resah tengah kucoba.
Sepi kuasah dengan pena.
Kaudengarkah suara gamelan
tak putus-putusnya dilantunkan
di pendapa agung yang dijaga
tiang-tiang perkasa
hanya untuk mengalunkan
tembang-tembang lara?
Kaudengarkah juga
derap kereta di jauhan
datang melaju ke arah jantungku.”
Kereta api hitam berderap membelah malam,
melintasi hamparan kelabu perkebunan tebu.
Kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,
di belakangnya perempuan-perempuan pemberani
berduyun-duyun mengusung matahari.
“Perahu-perahu kembara, dinda,
telah kulepas dari pantai Jepara.
Berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku
ke gugusan hijau pulau-pulau Nusantara.
Berlayarlah ke negeri-negeri jauh,
ke Nederland sana.
Seperti kukatakan pada Ny. Abendanon
dan Stella: ingin rasanya aku
menembus gerbang cakrawala.”
Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Tangan masih menyurat di atas kertas.
Hati melemas pada berkas-berkas cemas.
Angin merambat lewat kain dan kebaya.
Dingin merayap hingga sanggulnya.
Dan anak-anak kesunyian bergelayutan
pada bulu matanya yang sayup,
yang mengungkai cahaya redup.
“Sering kubayangkan, dinda,
perempuan-perempuan perkasa
berbondong-bondong menyunggi matahari,
menggendong bukit-bukit tandus
di gugusan pegunungan seribu
menuju hingar-bingar pasar palawija
di keheningan langit Jogja.
Kubayangkan pula
ladang-ladang karang
dirambah, disiangi
kaki-kaki telanjang
dengan darah sepanjang zaman.”
Kereta api hitam berderap membelah malam,
membangunkan si lelap dari tidur panjang.
Jari masih menulis bersama gerimis,
bersama angin dan kenangan.
Di telapak tangannya perahu-perahu dilayarkan
ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh
tak terjangkau.
“Badai, dinda,
badai menyerbu ke atas ranjang.
Kaudengarkah kini biduk mimpiku
sebentar lagi karam
di laut Rembang?”
Raden Ajeng Kartini terkantuk-kantuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam membara, encok meruyak pula.
Dan sepasang alap-alap melesat
dari ujung pena yang luka.
(1997)
TUHAN
DATANG MALAM INI
untuk GM
Tuhan datang malam ini
di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus
dan celoteh sepi.
Ia datang dengan sebuah headline yang megah:
“Telah kubredel ketakutan dan kegemetaranmu.
Kini bisa kaurayakan kesepian dan kesendirianmu
dengan lebih meriah.”
Dengar, Tuhan melangkah lewat dengan sangat gemulai
di atas halaman-halaman yang hilang
dan rubrik-rubrik terbengkelai.
Malam menebar debar.
Di sebuah kolom yang rindang, kolom yang teduh
ia kumpulkan huruf-huruf yang cerai-berai
dan merangkainya menjadi sebuah komposisi kedamaian.
Namun masih juga ia cabar:
“Kenapa ya aku masih kesepian.
Seakan tak bisa damai tanpa suara-suara riuh
dan kata-kata gaduh.”
“Mungkin karena kau terlampau terikat
pada makna yang berkelebat sesaat,”
demikian seperti telah ia temukan jawaban.
Begitulah, ia hikmati malam yang cerau
dan mencoba menghalau galau dan risau.
Dibetulkannya rambut ranggas yang menjuntai
di atas dahi nan pasai.
Dibelainya kumis kusut dan cambang capai
yang menjalar di selingkar sangsai.
Sementara di luar hujan dan angin berkejaran
menggelar konvoi kemurungan.
Lalu diambilnya pena, dicelupkannya pada luka
dan ditulisnya:
Saya ini apalah Tuhan.
Saya ini cuma jejak-jejak kaki musafir
pada serial catatan pinggir;
sisa aroma pada seonggok beha;
dan bau kecut pada sisa cinta.
Saya ini cuma cuwilan cemas kok Tuhan.
Saya ini cuma seratus hektar halaman suratkabar
yang habis terbakar;
sekeping puisi yang terpental
dilabrak batalion iklan.
Dan Tuhan datang malam ini
di gudang gelap, di bawah tanah, yang cuma dihuni
cericit tikus dan celoteh sepi.
Ia datang bersama empat ribu pasukan,
lengkap dengan borgol dan senapan.
Dengar, mereka menggedor-gedor pintu dan berseru:
“Jangan halangi kami. Jangan lari dan sembunyi.
Kami cuma orang-orang kesepian.
Kami ingin bergabung bersama Anda
di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang.
Kami akan kumpulkan senjata
dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan.
Sesudah itu perkenankan kami sita dan kami bawa
semua yang Anda punya, sungguhpun cuma
berkas-berkas tua dan halaman-halaman kosong semata.”
Tuhan, mereka sangat ketakutan.
Antarkan mereka ke sebuah rubrik yang tenang.
(1997)
Tuhan datang malam ini
di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus
dan celoteh sepi.
Ia datang dengan sebuah headline yang megah:
“Telah kubredel ketakutan dan kegemetaranmu.
Kini bisa kaurayakan kesepian dan kesendirianmu
dengan lebih meriah.”
Dengar, Tuhan melangkah lewat dengan sangat gemulai
di atas halaman-halaman yang hilang
dan rubrik-rubrik terbengkelai.
Malam menebar debar.
Di sebuah kolom yang rindang, kolom yang teduh
ia kumpulkan huruf-huruf yang cerai-berai
dan merangkainya menjadi sebuah komposisi kedamaian.
Namun masih juga ia cabar:
“Kenapa ya aku masih kesepian.
Seakan tak bisa damai tanpa suara-suara riuh
dan kata-kata gaduh.”
“Mungkin karena kau terlampau terikat
pada makna yang berkelebat sesaat,”
demikian seperti telah ia temukan jawaban.
Begitulah, ia hikmati malam yang cerau
dan mencoba menghalau galau dan risau.
Dibetulkannya rambut ranggas yang menjuntai
di atas dahi nan pasai.
Dibelainya kumis kusut dan cambang capai
yang menjalar di selingkar sangsai.
Sementara di luar hujan dan angin berkejaran
menggelar konvoi kemurungan.
Lalu diambilnya pena, dicelupkannya pada luka
dan ditulisnya:
Saya ini apalah Tuhan.
Saya ini cuma jejak-jejak kaki musafir
pada serial catatan pinggir;
sisa aroma pada seonggok beha;
dan bau kecut pada sisa cinta.
Saya ini cuma cuwilan cemas kok Tuhan.
Saya ini cuma seratus hektar halaman suratkabar
yang habis terbakar;
sekeping puisi yang terpental
dilabrak batalion iklan.
Dan Tuhan datang malam ini
di gudang gelap, di bawah tanah, yang cuma dihuni
cericit tikus dan celoteh sepi.
Ia datang bersama empat ribu pasukan,
lengkap dengan borgol dan senapan.
Dengar, mereka menggedor-gedor pintu dan berseru:
“Jangan halangi kami. Jangan lari dan sembunyi.
Kami cuma orang-orang kesepian.
Kami ingin bergabung bersama Anda
di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang.
Kami akan kumpulkan senjata
dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan.
Sesudah itu perkenankan kami sita dan kami bawa
semua yang Anda punya, sungguhpun cuma
berkas-berkas tua dan halaman-halaman kosong semata.”
Tuhan, mereka sangat ketakutan.
Antarkan mereka ke sebuah rubrik yang tenang.
(1997)
DI SEBUAH
ENTAH
untuk ND
Sudah sekian tahun mayatku hilang.
Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang.
“Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan,
nonton komedi manusia di kebun binatang.”
Begitu ia dulu pamitan.
Pernah kutanyakan pada petugas jawatan penculikan:
“Di manakah mayat saya disimpan?”
Jawabnya: “Mayatmu masih kami sekap
dalam sebuah dokumen rahasia negara.”
“Bolehkah saya bicara dengannya sebentar?”
“Tidak bisa. Dia tak akan kami lepas sebelum melengkapi
berkas-berkas identitas: surat, kartu, dan asal-usul yang jelas.”
Ada juga yang bilang: “Lho, ‘kan mayatmu sedang jalan-jalan.
Mondar-mandir mencari jejakmu. Mengapa kau selalu
menghindar dan menjauh dari kenangan?”
Demikianlah, ceritanya, kami saling kehilangan.
Selalu bersilang langkah, berselisih jalan
di simpang ingatan di sebuah entah
yang senisbi waktu dan selindap ruang.
Sampai suatu malam seseorang datang dalam kuyup hujan,
membuka pintu, menyibak bayang.
“Mayatmu kutemukan di sudut halaman koran yang teronggok
di bak sampah di depan kantor departemen pembredelan.”
“Siapakah engkau, perempuan?” aku bertanya.
“Aku seseorang atau sesuatu dari masa silam.”
Setelah menyerahkan mayatku ke dalam pelukan,
ia pun menghilang ke balik halusi.
Tapak-tapak kakinya, jejak-jejak darahnya
seakan adalah sakramen: perjalanan panjang sonyaruri
ke sebuah getsemani.
“Coba ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi.
Siapa sesungguhnya perempuan yang mengantarmu ke sini?”
“Jangan. Jangan sekarang. Aku masih dalam intaian mata-mata
yang bersembunyi di sini, di bekas luka ini.”
Kudekap ia, kubaringkan dalam album keluarga.
“Jangan nakal. Tidurlah dengan sopan
sampai tiba saatnya nanti kaukisahkan semua ini.”
(1997)
Sudah sekian tahun mayatku hilang.
Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang.
“Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan,
nonton komedi manusia di kebun binatang.”
Begitu ia dulu pamitan.
Pernah kutanyakan pada petugas jawatan penculikan:
“Di manakah mayat saya disimpan?”
Jawabnya: “Mayatmu masih kami sekap
dalam sebuah dokumen rahasia negara.”
“Bolehkah saya bicara dengannya sebentar?”
“Tidak bisa. Dia tak akan kami lepas sebelum melengkapi
berkas-berkas identitas: surat, kartu, dan asal-usul yang jelas.”
Ada juga yang bilang: “Lho, ‘kan mayatmu sedang jalan-jalan.
Mondar-mandir mencari jejakmu. Mengapa kau selalu
menghindar dan menjauh dari kenangan?”
Demikianlah, ceritanya, kami saling kehilangan.
Selalu bersilang langkah, berselisih jalan
di simpang ingatan di sebuah entah
yang senisbi waktu dan selindap ruang.
Sampai suatu malam seseorang datang dalam kuyup hujan,
membuka pintu, menyibak bayang.
“Mayatmu kutemukan di sudut halaman koran yang teronggok
di bak sampah di depan kantor departemen pembredelan.”
“Siapakah engkau, perempuan?” aku bertanya.
“Aku seseorang atau sesuatu dari masa silam.”
Setelah menyerahkan mayatku ke dalam pelukan,
ia pun menghilang ke balik halusi.
Tapak-tapak kakinya, jejak-jejak darahnya
seakan adalah sakramen: perjalanan panjang sonyaruri
ke sebuah getsemani.
“Coba ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi.
Siapa sesungguhnya perempuan yang mengantarmu ke sini?”
“Jangan. Jangan sekarang. Aku masih dalam intaian mata-mata
yang bersembunyi di sini, di bekas luka ini.”
Kudekap ia, kubaringkan dalam album keluarga.
“Jangan nakal. Tidurlah dengan sopan
sampai tiba saatnya nanti kaukisahkan semua ini.”
(1997)
MALAM ITU KITA KONDANGAN
Malam itu
kita pergi kondangan.
Naik andong kehujanan,
kudanya lari kencang:
kling klong kling klong.
Malam sudah sangat larut.
Sudah sangat panas pestanya.
Di dalam rumah banyak tamu asing
lagi asyik main kuda lumping.
Pengantin mengenakan topeng monyet,
duduk mengangkang di pelaminan.
“Selamat kawin, saudara kembar,”
kita ucapkan salam.
“Selamat datang, calon jerangkong,”
sambutnya riang.
Kau terkekeh dan lalu terkenang
melihat potretmu di dinding ruang
lagi meringis dalam gendongan.
“Dia si anak hilang,” pengantin
menjelaskan.
Malam itu kita kondangan.
Naik andong kehujanan,
kudanya lari kencang:
kling klong kling klong.
Kita melaju, melenggang
dalam sengkarut ingatan.
(1997)
Naik andong kehujanan,
kudanya lari kencang:
kling klong kling klong.
Malam sudah sangat larut.
Sudah sangat panas pestanya.
Di dalam rumah banyak tamu asing
lagi asyik main kuda lumping.
Pengantin mengenakan topeng monyet,
duduk mengangkang di pelaminan.
“Selamat kawin, saudara kembar,”
kita ucapkan salam.
“Selamat datang, calon jerangkong,”
sambutnya riang.
Kau terkekeh dan lalu terkenang
melihat potretmu di dinding ruang
lagi meringis dalam gendongan.
“Dia si anak hilang,” pengantin
menjelaskan.
Malam itu kita kondangan.
Naik andong kehujanan,
kudanya lari kencang:
kling klong kling klong.
Kita melaju, melenggang
dalam sengkarut ingatan.
(1997)
PEREMPUAN
PULANG PAGI
untuk
kartu pos S
Rumah yang ditinggalkan semalaman masih menyala
terang benderang, sebab ia ingin setiap orang
yang lewat di depannya bilang: “Lihat, perempuan kita
masih mencangkung di depan jendela, menghadap langit,
menghadap waktu, menghadap usia.
Ia pulang dinihari sehabis hujan dan angin pergi.
Ia tendang pintu yang pura-pura membisu.
Dan kepada cermin yang bergoyang di pojok ruangan
ia bicara: “Tadi selusin lelaki mau menciumku,
tapi kuterkam saja dengan geramku,
semuanya lari tunggang langgang.”
Ia pulang dinihari ketika bulan belum mau pergi.
Ia menyanyi, ia menari, dan sambil berlenggok
masuk ke kamar, gemetar melihat seseoerang
sedang mendengkur dengan gempar.
“Bukankah kau yang semalam kucumbu di kuburan?
Sialan. Ternyata kau mendahuluiku terkapar
di ranjang yang tak lama lagi akan terbakar.”
Lantas ia berhias dan bergegas ke sebuah cemas.
“Kau istirahat dulu ya, mayat. Santai-santai saja di sini.
Aku ada dinas sebentar ke rumah sakit jiwa. Kalau nanti
terbangun dan takut sendirian, teleponlah aku secepatnya.”
(1997)
Rumah yang ditinggalkan semalaman masih menyala
terang benderang, sebab ia ingin setiap orang
yang lewat di depannya bilang: “Lihat, perempuan kita
masih mencangkung di depan jendela, menghadap langit,
menghadap waktu, menghadap usia.
Ia pulang dinihari sehabis hujan dan angin pergi.
Ia tendang pintu yang pura-pura membisu.
Dan kepada cermin yang bergoyang di pojok ruangan
ia bicara: “Tadi selusin lelaki mau menciumku,
tapi kuterkam saja dengan geramku,
semuanya lari tunggang langgang.”
Ia pulang dinihari ketika bulan belum mau pergi.
Ia menyanyi, ia menari, dan sambil berlenggok
masuk ke kamar, gemetar melihat seseoerang
sedang mendengkur dengan gempar.
“Bukankah kau yang semalam kucumbu di kuburan?
Sialan. Ternyata kau mendahuluiku terkapar
di ranjang yang tak lama lagi akan terbakar.”
Lantas ia berhias dan bergegas ke sebuah cemas.
“Kau istirahat dulu ya, mayat. Santai-santai saja di sini.
Aku ada dinas sebentar ke rumah sakit jiwa. Kalau nanti
terbangun dan takut sendirian, teleponlah aku secepatnya.”
(1997)
POSTER
SETENGAH TELANJANG
untuk AM
Si kecil yang suka makan es krim itu sudah besar
dan perawan, sudah tidak pemalu dan ingusan.
Ia gemar melucu dan pintar juga menggodamu.
“Kau penyair ya? Kutahu itu dari kepalamu
yang botak dan licin seperti semangka.”
Kau tergoda dan ingin lebih lama terpana
ketika matanya mengerjap dan bulan muncrat
di atas rambutnya yang hitam pekat.
Malam heboh sekali.
Orang-orang mulai resah menunggu kereta.
“Perempuan, kau mau ikut?”
“Emoh ah,” katanya.
Kereta sudah siap.
Para pelayat berjejal di dalam gerbong
sambil melambai-lambaikan bendera.
“Perempuan, ikutlah bersama kami.
Kita akan pergi menyambut revolusi.”
“Ah, revolusi. Revolusi telah kulipat
dan kuselipkan ke dalam beha.”
“Lancang benar ia. Berani menantang kita
dengan senyumnya yang sangat subversif.
Ia sungguh berbahaya.”
Lonceng terakhir telah selesai menyanyikan
“Sepasang Mata Bola”. Tinggallah malam
yang redam, langit yang diam.
Tinggallah airmata yang menetes pelan
ke dalam segelas bir yang menempel pada dada
yang setengah terbuka, setengah merdeka.
(1997)
Si kecil yang suka makan es krim itu sudah besar
dan perawan, sudah tidak pemalu dan ingusan.
Ia gemar melucu dan pintar juga menggodamu.
“Kau penyair ya? Kutahu itu dari kepalamu
yang botak dan licin seperti semangka.”
Kau tergoda dan ingin lebih lama terpana
ketika matanya mengerjap dan bulan muncrat
di atas rambutnya yang hitam pekat.
Malam heboh sekali.
Orang-orang mulai resah menunggu kereta.
“Perempuan, kau mau ikut?”
“Emoh ah,” katanya.
Kereta sudah siap.
Para pelayat berjejal di dalam gerbong
sambil melambai-lambaikan bendera.
“Perempuan, ikutlah bersama kami.
Kita akan pergi menyambut revolusi.”
“Ah, revolusi. Revolusi telah kulipat
dan kuselipkan ke dalam beha.”
“Lancang benar ia. Berani menantang kita
dengan senyumnya yang sangat subversif.
Ia sungguh berbahaya.”
Lonceng terakhir telah selesai menyanyikan
“Sepasang Mata Bola”. Tinggallah malam
yang redam, langit yang diam.
Tinggallah airmata yang menetes pelan
ke dalam segelas bir yang menempel pada dada
yang setengah terbuka, setengah merdeka.
(1997)
ZIARAH
Masih ada
sebuah rumah di sana
yang tak pernah mengharap seseorang
datang mengunjunginya.
Masih ada dinding-dinding kusam,
ruang bersih terang, jendela-jendela putih
tempat senja berpendaran
dengan rambutnya yang keemasan.
Masih ada si kecil lagi asyik menggambar
pada tembok penuh coretan.
“Semalam hujan singgah sebentar,
dan setelah meninggalkan riciknya di kulkas itu
ia pun berangkat ke sebuah kota yang jauh.”
Ingin kupeluk dan kucium parasnya yang lucu,
tapi tak ingin dunia kecilnya kusintuh.
“Lihat, aku sedang melukis laut, gerimis
dan perahu oleng yang dikayuh nelayan kecil
menuju pantai yang teduh.”
Masih. Masih ada seseorang sedang duduk
membungkuk di bawah redup cahaya,
khusyuk membaca berkas-berkas tua.
“Semalam si mayat datang dengan baju baru.
Ia titipkan salam manisnya untukmu.”
Ingin kutrima batuknya dalam paru-paruku
tapi tak ingin kusintuh kantuknya, rindunya
sebab hatinya lebih tegar dari waktu.
“Maaf, aku sedang membaca surat-surat
yang telah lama kutulis, tapi tak pernah
kukirim karena tak kutahu alamatmu.”
(1997)
yang tak pernah mengharap seseorang
datang mengunjunginya.
Masih ada dinding-dinding kusam,
ruang bersih terang, jendela-jendela putih
tempat senja berpendaran
dengan rambutnya yang keemasan.
Masih ada si kecil lagi asyik menggambar
pada tembok penuh coretan.
“Semalam hujan singgah sebentar,
dan setelah meninggalkan riciknya di kulkas itu
ia pun berangkat ke sebuah kota yang jauh.”
Ingin kupeluk dan kucium parasnya yang lucu,
tapi tak ingin dunia kecilnya kusintuh.
“Lihat, aku sedang melukis laut, gerimis
dan perahu oleng yang dikayuh nelayan kecil
menuju pantai yang teduh.”
Masih. Masih ada seseorang sedang duduk
membungkuk di bawah redup cahaya,
khusyuk membaca berkas-berkas tua.
“Semalam si mayat datang dengan baju baru.
Ia titipkan salam manisnya untukmu.”
Ingin kutrima batuknya dalam paru-paruku
tapi tak ingin kusintuh kantuknya, rindunya
sebab hatinya lebih tegar dari waktu.
“Maaf, aku sedang membaca surat-surat
yang telah lama kutulis, tapi tak pernah
kukirim karena tak kutahu alamatmu.”
(1997)
JANUARI
untuk NAF
Januari yang lusuh datang padaku
dengan wajah putih kelabu.
“Beri aku tempat perlindungan.
Musim begitu rusuh.
Bahaya mengancam dari segala jurusan.”
Hujan yang basah kuyup tubuhnya
kuungsikan ke dalam botol bersama kilat,
guruh dan ledakan-ledakan petirnya.
Angin yang menggigil kedinginan
kusembunyikan ke dalam gelas
bersama desah, desau dan desirnya.
Semoga sekalian kata dan makna
yang kuziarahi bertahun-tahun lamanya
ikhlas menerima cobaan yang tiada putusnya
sebab memang begitu jauh
jarak perjalanan di antara mereka.
Semoga sekalian luka dan sembilu
yang tak henti-henti meruyaknya
tidak saling sayat dan sakit hati
justru karena demikian dalam percintaan
di antara keduanya.
Januari yang lusuh datang padaku
seperti doa yang rela bersekutu
dengan sekalian kata dan ucapan
yang sering gagap dan gagu.
(1997)
Januari yang lusuh datang padaku
dengan wajah putih kelabu.
“Beri aku tempat perlindungan.
Musim begitu rusuh.
Bahaya mengancam dari segala jurusan.”
Hujan yang basah kuyup tubuhnya
kuungsikan ke dalam botol bersama kilat,
guruh dan ledakan-ledakan petirnya.
Angin yang menggigil kedinginan
kusembunyikan ke dalam gelas
bersama desah, desau dan desirnya.
Semoga sekalian kata dan makna
yang kuziarahi bertahun-tahun lamanya
ikhlas menerima cobaan yang tiada putusnya
sebab memang begitu jauh
jarak perjalanan di antara mereka.
Semoga sekalian luka dan sembilu
yang tak henti-henti meruyaknya
tidak saling sayat dan sakit hati
justru karena demikian dalam percintaan
di antara keduanya.
Januari yang lusuh datang padaku
seperti doa yang rela bersekutu
dengan sekalian kata dan ucapan
yang sering gagap dan gagu.
(1997)
TERKENANG CELANA PAK GURU
Masih pagi
sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas.
Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk,
kemudian terkulai di atas meja.
Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk
sambil mengucapkan: “Selamat pagi, Bapak Guru.”
Bapak Guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya
seakan mau mengatakan: “Bapak sangat lelah.”
Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak Guru telah berjanji
menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang
di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya.
Kami baca di papan tulis: “Baca halaman 10 dan seterusnya.
Hafalkan semua nama dan peristiwa.”
Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman.
Hanya rits celananya yang setengah terbuka
seakan mau mengatakan: “Bapak habis lembur semalam.”
Ada yang cekikikan. Ada yang terharu dan mengusap matanya
yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai
gundulnya sambil berkata: “Kasihan kepala
yang suka ikut penataran ini.”
Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi
seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam
di bekas lahan sekolah kami. Kami lihat seorang lelaki tua
terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kuburan.
“Silakan,” katanya.
“Dia Pak Guru kita itu!” temanku berseru.
“Kau ingat rits celananya yang setengah terbuka?”
“Tenang. Jangan mengusik ketenteramannya,”
aku memperingatkan.
“Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih
dan tenang,” kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya.
“Kelak aku juga ingin dikubur di sini,” sambungnya.
“Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan,” timpalku.
Sementara si penjaga kuburan yang celananya congklang
dan rambutnya sudah memutih semua diam-diam
mengawasi kami dari balik pohon kamboja.
(1997)
Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk,
kemudian terkulai di atas meja.
Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk
sambil mengucapkan: “Selamat pagi, Bapak Guru.”
Bapak Guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya
seakan mau mengatakan: “Bapak sangat lelah.”
Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak Guru telah berjanji
menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang
di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya.
Kami baca di papan tulis: “Baca halaman 10 dan seterusnya.
Hafalkan semua nama dan peristiwa.”
Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman.
Hanya rits celananya yang setengah terbuka
seakan mau mengatakan: “Bapak habis lembur semalam.”
Ada yang cekikikan. Ada yang terharu dan mengusap matanya
yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai
gundulnya sambil berkata: “Kasihan kepala
yang suka ikut penataran ini.”
Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi
seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam
di bekas lahan sekolah kami. Kami lihat seorang lelaki tua
terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kuburan.
“Silakan,” katanya.
“Dia Pak Guru kita itu!” temanku berseru.
“Kau ingat rits celananya yang setengah terbuka?”
“Tenang. Jangan mengusik ketenteramannya,”
aku memperingatkan.
“Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih
dan tenang,” kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya.
“Kelak aku juga ingin dikubur di sini,” sambungnya.
“Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan,” timpalku.
Sementara si penjaga kuburan yang celananya congklang
dan rambutnya sudah memutih semua diam-diam
mengawasi kami dari balik pohon kamboja.
(1997)
BONEKA DALAM CELANA
Kau pusing
seharian keluar-masuk toko mainan
hanya untuk mendapatkan boneka lucu
yang akan kaugantung di atas ranjang.
Padahal di dalam celana
ada boneka paling jenaka
: boneka kecil yang sering tiba-tiba
menjelma raksasa.
Kau bilang
boneka mungilmu suka keluyuran
ke kebun binatang, ke suaka margasatwa,
ke hutan yang banyak hewan liarnya,
katanya untuk bermain dengan teman-temannya.
Kau sudah memanjakannya
dengan berbagai model celana
yang mahal harganya
tapi ia selalu lolos dan tak pernah
krasan tinggal di dalamnya.
“Sumpek dan penuh aturan,” katanya.
Konon raksasa kecil itu
telah menjadi seorang tiran.
Telah diproklamasikannya sebuah republik
dan kau sendiri rela dinobatkan
sebagai pengawalnya.
“Siapkan pasukan!” kata sang tiran.
“Akan kuserbu musuh-musuh
yang merongrong kekuasaan.”
“Siap Paduka,” timpal pengawal.
“Akan hamba tumpas para perusuh
yang mengancam kedaulatan.”
Di republik celana
tiran yang sangat kejam dan pendendam itu
sekarang telah menjadi raja telanjang
yang tua-renta dan sakit-sakitan.
Sehari-hari ia cuma duduk terkantuk-kantuk
di kursi goyang
sambil mulutnya komat-kamit
dan kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri
tapi batuknya masih dianggap sakti.
Pengawal: “Kalau Paduka sudah lelah
dan hendak istirah, silakan.
Hamba bersedia menggantikan Paduka
duduk di tampuk kekuasaan.”
Di sebuah toko mainan
kaudapatkan juga boneka lucu
yang kauinginkan; kaugantungkan di atas ranjang
sehingga kau tidak lagi kesepian.
Dan boneka jenaka di dalam celanamu cemburu
karena merasa telah mendapatkan saingan.
(1997)
seharian keluar-masuk toko mainan
hanya untuk mendapatkan boneka lucu
yang akan kaugantung di atas ranjang.
Padahal di dalam celana
ada boneka paling jenaka
: boneka kecil yang sering tiba-tiba
menjelma raksasa.
Kau bilang
boneka mungilmu suka keluyuran
ke kebun binatang, ke suaka margasatwa,
ke hutan yang banyak hewan liarnya,
katanya untuk bermain dengan teman-temannya.
Kau sudah memanjakannya
dengan berbagai model celana
yang mahal harganya
tapi ia selalu lolos dan tak pernah
krasan tinggal di dalamnya.
“Sumpek dan penuh aturan,” katanya.
Konon raksasa kecil itu
telah menjadi seorang tiran.
Telah diproklamasikannya sebuah republik
dan kau sendiri rela dinobatkan
sebagai pengawalnya.
“Siapkan pasukan!” kata sang tiran.
“Akan kuserbu musuh-musuh
yang merongrong kekuasaan.”
“Siap Paduka,” timpal pengawal.
“Akan hamba tumpas para perusuh
yang mengancam kedaulatan.”
Di republik celana
tiran yang sangat kejam dan pendendam itu
sekarang telah menjadi raja telanjang
yang tua-renta dan sakit-sakitan.
Sehari-hari ia cuma duduk terkantuk-kantuk
di kursi goyang
sambil mulutnya komat-kamit
dan kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri
tapi batuknya masih dianggap sakti.
Pengawal: “Kalau Paduka sudah lelah
dan hendak istirah, silakan.
Hamba bersedia menggantikan Paduka
duduk di tampuk kekuasaan.”
Di sebuah toko mainan
kaudapatkan juga boneka lucu
yang kauinginkan; kaugantungkan di atas ranjang
sehingga kau tidak lagi kesepian.
Dan boneka jenaka di dalam celanamu cemburu
karena merasa telah mendapatkan saingan.
(1997)
TIKUS
Banyak
orang begitu jijik dan benci pada tikus, tapi perempuan lajang yang tinggal
sendirian di rumahnya yang besar itu justru merasa tentram bersahabat dengan
tikus-tikus yang mencericit terus tiada hentinya. Entah berapa tikus berumah di
rumahnya. Dan setiap hari ada saja tikus mati, lalu dengan sedih ia buang ke
selokan.
Sebelum tidur, sambil mengantuk, ia sempatkan membaca buku Hidup Bahagia bersama Tikus sementara konser tikus berlangsung terus sampai jauh malam, juga ketika ia sudah nyenyak bermimpi bertemu kekasih yang selama ini ia sembunyikan dalam ingatan.
Malam itu ia tidur berselimutkan sarung cap tikus, dan ada tikus besar dari kuburan mondar-mandir di sekitar tubuhnya, mengendus-endus sakitnya. Saat bangun ia menjerit mendapatkan tikus-tikus mati berkaparan di ranjang. Sialan, kau dapat cericitnya, aku bangkainya!
(2002)
Sebelum tidur, sambil mengantuk, ia sempatkan membaca buku Hidup Bahagia bersama Tikus sementara konser tikus berlangsung terus sampai jauh malam, juga ketika ia sudah nyenyak bermimpi bertemu kekasih yang selama ini ia sembunyikan dalam ingatan.
Malam itu ia tidur berselimutkan sarung cap tikus, dan ada tikus besar dari kuburan mondar-mandir di sekitar tubuhnya, mengendus-endus sakitnya. Saat bangun ia menjerit mendapatkan tikus-tikus mati berkaparan di ranjang. Sialan, kau dapat cericitnya, aku bangkainya!
(2002)
RENDEZVOUS
Kau sudah
tak sabar menungguku di halaman rumah berdinding putih itu.
Di atas bangku di bawah pohon cemara duduk seorang wanita setengah baya
sedang suntuk membaca dan sesekali tertawa.
Nah, perempuan itu mengangkat kaki kirinya,
kemudian menumpangkannya ke yang kanan.
Pahanya tersingkap, clap, kau terkejap: kaususupkan
cerlap cahayamu ke celah-celah itu dan aku cemburu.
Maka aku pun segera berderai lembut di atas parasmu.
Aku berdebar ketika perempuan itu melonjak girang:
"Ah, gerimis senja telah datang."
Hanya agar perempuan kita bahagia, kau dan aku rela berebut bianglala
dan ingin segera melilitkannya ke tubuhnya.
Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan,
dan perempuan itu tidak mencintai keduanya: ia akan cepat-cepat
masuk ke rumahnya, membiarkan kita berdua menghapus jejaknya.
(2002)
Di atas bangku di bawah pohon cemara duduk seorang wanita setengah baya
sedang suntuk membaca dan sesekali tertawa.
Nah, perempuan itu mengangkat kaki kirinya,
kemudian menumpangkannya ke yang kanan.
Pahanya tersingkap, clap, kau terkejap: kaususupkan
cerlap cahayamu ke celah-celah itu dan aku cemburu.
Maka aku pun segera berderai lembut di atas parasmu.
Aku berdebar ketika perempuan itu melonjak girang:
"Ah, gerimis senja telah datang."
Hanya agar perempuan kita bahagia, kau dan aku rela berebut bianglala
dan ingin segera melilitkannya ke tubuhnya.
Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan,
dan perempuan itu tidak mencintai keduanya: ia akan cepat-cepat
masuk ke rumahnya, membiarkan kita berdua menghapus jejaknya.
(2002)
ANAK SEORANG PEREMPUAN
Hingga
dewasa saya tak pernah tahu saya ini sebenarnya anak siapa. Sejak lahir saya
diasuh dan dibesarkan Ibu tanpa kehadiran seorang lelaki yang biasa disebut
ayah. Ibu pernah mengaku bahwa dulu ia memang suka kencan dengan banyak lelaki,
tapi tak bisa memastikan benih lelaki mana yang tercetak di rahimnya, kemudian
terbit menjadi saya.
Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang, dan bagi anak seperti saya yang mengalami kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh tidak penting-penting amat. Dan ketika seorang teman penyair iseng-iseng bertanya apakah saya ini buah cinta sejati atau cinta birahi, hasil hubungan terang atau hubungan gelap, saya menganggap dia bukanlah pernyair cerdas. Justru Ibu yang bukan penyair pernah bertanya, "Kau, penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?"
Sudah ada beberapa lelaki misterius yang mengaku-ngaku sebagai ayah saya. Masing-masing menyatakan perihal cintanya yang tulus kepada wanita yang kemudian melahirkan saya. Mereka juga merasa bangga terhadap saya. Sayang, saya tak membutuhkan pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya tetap menjadi milik rahasia.
Kini ibu saya yang cerdas terbaring sakit. Kondisi tubuhnya makin hari makin lemah. Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Entah mengapa, beberapa saat sebelum beliau wafat saya sempat lancang bertanya: saya ini sebenarnya anak siapa? Saya bayangkan ibu yang penyayang itu akan hancur hatinya. Tapi, sambil mengelus kepala saya, ia menjawab hangat: "Anak seorang perempuan!"
(2002)
Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang, dan bagi anak seperti saya yang mengalami kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh tidak penting-penting amat. Dan ketika seorang teman penyair iseng-iseng bertanya apakah saya ini buah cinta sejati atau cinta birahi, hasil hubungan terang atau hubungan gelap, saya menganggap dia bukanlah pernyair cerdas. Justru Ibu yang bukan penyair pernah bertanya, "Kau, penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?"
Sudah ada beberapa lelaki misterius yang mengaku-ngaku sebagai ayah saya. Masing-masing menyatakan perihal cintanya yang tulus kepada wanita yang kemudian melahirkan saya. Mereka juga merasa bangga terhadap saya. Sayang, saya tak membutuhkan pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya tetap menjadi milik rahasia.
Kini ibu saya yang cerdas terbaring sakit. Kondisi tubuhnya makin hari makin lemah. Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Entah mengapa, beberapa saat sebelum beliau wafat saya sempat lancang bertanya: saya ini sebenarnya anak siapa? Saya bayangkan ibu yang penyayang itu akan hancur hatinya. Tapi, sambil mengelus kepala saya, ia menjawab hangat: "Anak seorang perempuan!"
(2002)
MATA AIR
Di musim
kemarau semua sumber air di desa itu mengering.
Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah bebukitan.
Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing,
pecah di padang-padang gersang.
Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun sampai di mataair
yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai air membuncah-buncah,
menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang karang.
Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis kecil
yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat bahagia
tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim hujan tiba,
langit akan memandikan gadis kecil itu dengan airmatanya.
Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah bebukitan.
Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing,
pecah di padang-padang gersang.
Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun sampai di mataair
yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai air membuncah-buncah,
menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang karang.
Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis kecil
yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat bahagia
tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim hujan tiba,
langit akan memandikan gadis kecil itu dengan airmatanya.
(2002)
IBU YANG TABAH
Ibu itu
mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya dipinjam negara untuk dijadikan
kelinci dalam percobaan sistem keamanan. Sampai sekarang belum dikembalikan,
padahal suaminya itu sebenarnya cuma pemberani yang lugu dan kadang-kadang
nekat. Toh ibu itu tak pernah berhenti menunggu, meskipun menunggu adalah luka.
Dan ia memang perkasa. Menghadapi anak-anaknya yang nakal dan sering
menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran.
Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Malam hari diam-diam ia memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila mereka sakit.
Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang mudah menangis. Bila anak-anaknya bertanya, "Mengapa Ibu tidak pernah menangis?", jawabnya, "Biar kutabung airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.”
Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber- di sekolah partikelir yang hidup enggan mati tak mau. Sebagian besar muridnya bodoh dan berandal, tapi ya bagaimana lagi, mereka tetap harus dicintai. Ia rajin menasihati mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi menangis, menghadapi kegagalan. "Berlatih gagal itu penting," pesannya berulang-ulang.
Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah dan pekerjaan sehingga ia kurang hiburan. Satu-satunya hiburan adalah menonton televisi yang sudah agak pucat gambarnya. Dan ia penggemar televisi yang baik. Ia bisa sangat terharu menyaksikan kisah yang menyayat hati, misalnya kisah tentang pejuang yang digugurkan negara dan jenazahnya diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut trenyuh dan tersedu melihat ibu mereka diam-diam mengusap airmata. "Jangan menangis!" bentak ibu yang tabah itu tiba-tiba. “Aku menangis hanya untuk menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?”
(2002)
Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Malam hari diam-diam ia memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila mereka sakit.
Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang mudah menangis. Bila anak-anaknya bertanya, "Mengapa Ibu tidak pernah menangis?", jawabnya, "Biar kutabung airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.”
Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber- di sekolah partikelir yang hidup enggan mati tak mau. Sebagian besar muridnya bodoh dan berandal, tapi ya bagaimana lagi, mereka tetap harus dicintai. Ia rajin menasihati mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi menangis, menghadapi kegagalan. "Berlatih gagal itu penting," pesannya berulang-ulang.
Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah dan pekerjaan sehingga ia kurang hiburan. Satu-satunya hiburan adalah menonton televisi yang sudah agak pucat gambarnya. Dan ia penggemar televisi yang baik. Ia bisa sangat terharu menyaksikan kisah yang menyayat hati, misalnya kisah tentang pejuang yang digugurkan negara dan jenazahnya diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut trenyuh dan tersedu melihat ibu mereka diam-diam mengusap airmata. "Jangan menangis!" bentak ibu yang tabah itu tiba-tiba. “Aku menangis hanya untuk menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?”
(2002)
TELEPON GENGGAM
Di pesta
pernikahan temannya ia berkenalan dengan perempuan yang kebetulan
menghampirinya. Mata mengincar mata, merangkum ruang. Rasanya kita pernah
bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal waktu yang tembus pandang.
Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar, bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak.
Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.
Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya.
Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat disayang: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo jawabnya selalu Halo halo Bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.
Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati?
Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya.
Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya.
Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.
Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang ingin tetap tampak perkasa.
Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam cengkeramannya.
Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil pulang dari main layang-layang di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.
(2002)
Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar, bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak.
Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.
Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya.
Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat disayang: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo jawabnya selalu Halo halo Bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.
Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati?
Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya.
Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya.
Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.
Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang ingin tetap tampak perkasa.
Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam cengkeramannya.
Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil pulang dari main layang-layang di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.
(2002)
TANPA
CELANA AKU DATANG MENJEMPUTMU
untuk Wibi
Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau
di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau
di saat kau masih hijau.
Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!”
Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu
di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu.
Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu:
“Jemputlah aku malam Minggu,
bawakan aku celana baru.”
Di kamar mandi yang remang-remang itu
kau masih suntuk membaca buku.
Kaulepas kacamatamu dan kau terpana
melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu
dan seluruhnya kurelakan untukmu.
“Hore, aku punya celana baru!” kau berseru.
Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.
(2002)
Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau
di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau
di saat kau masih hijau.
Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!”
Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu
di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu.
Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu:
“Jemputlah aku malam Minggu,
bawakan aku celana baru.”
Di kamar mandi yang remang-remang itu
kau masih suntuk membaca buku.
Kaulepas kacamatamu dan kau terpana
melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu
dan seluruhnya kurelakan untukmu.
“Hore, aku punya celana baru!” kau berseru.
Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.
(2002)
BOLONG
Bahkan
celana memilih nasibnya sendiri:
ia pergi ke pasar loak justru ketika aku sedang giat
belajar bugil dan mandi.
“Selamat tinggal pantat. Selamat tinggal jagoan kecil
yang tampak pemalu tapi hebat.”
Entah berapa pantat telah ia tumpangi,
berapa kenangan telah ia singgahi,
sampai suatu hari aku menemukannya kembali
di sebuah kota, di sebuah kuburan.
“Pulang dan pakailah celana kesayanganmu ini,”
kata perempuan tua penjaga makam.
Sampai di rumah, kupakai kembali si celana hilang itu
dan aku terheran: “Kok celanaku makin kedodoran!”
Aku termenung melihat seorang bocah
di dalam cermin sedang sibuk mencoba celana
yang sudah bolong di bagian tengahnya.
(2002)
ia pergi ke pasar loak justru ketika aku sedang giat
belajar bugil dan mandi.
“Selamat tinggal pantat. Selamat tinggal jagoan kecil
yang tampak pemalu tapi hebat.”
Entah berapa pantat telah ia tumpangi,
berapa kenangan telah ia singgahi,
sampai suatu hari aku menemukannya kembali
di sebuah kota, di sebuah kuburan.
“Pulang dan pakailah celana kesayanganmu ini,”
kata perempuan tua penjaga makam.
Sampai di rumah, kupakai kembali si celana hilang itu
dan aku terheran: “Kok celanaku makin kedodoran!”
Aku termenung melihat seorang bocah
di dalam cermin sedang sibuk mencoba celana
yang sudah bolong di bagian tengahnya.
(2002)
PENJUAL CELANA
Konon ia
seorang veteran, bekas pejuang kemerdekaan,
sehari-hari bergiat sebagai pedagang celana di sebuah pasar
di dekat kuburan di pinggiran kota.
Orang-orang sangat suka membeli celana bikinannya
karena terjamin kwalitetnya, sangat enak dipakainya,
terkenal sejak 1945.
Mentang-mentang pakai celana serdadu, penjual celana itu
tiba-tiba menjadi sombong dan pura-pura lupa sama aku.
“Anda dari kampung ya?” ejeknya ketika aku sibuk
mencoba-coba berbagai celana dan tidak juga membelinya.
“Semua celana itu palsu. Yang asli cuma ini,” katanya
sembari menunjuk-nunjuk celananya sendiri.
Ia tertawa hebat ketika aku berniat membeli celana antik
yang dipakainya, berapa pun harganya.
Ia bertahan: “Jangan. Ini celana perjuangan.”
Ketika sekian tahun kemudian kami bertemu lagi
di sebuah rumah sakit jiwa di dekat kuburan di pinggiran kota,
bekas serdadu itu mengaku bahwa celana loreng
yang dibanggakannya itu sebenarnya palsu dan ia menyesal
mengapa dulu tidak menjualnya ke aku.
Celana itu sudah dibeli seorang kolektor kaya
yang gemar mengumpulkan berbagai macam benda pusaka.
(2002)
sehari-hari bergiat sebagai pedagang celana di sebuah pasar
di dekat kuburan di pinggiran kota.
Orang-orang sangat suka membeli celana bikinannya
karena terjamin kwalitetnya, sangat enak dipakainya,
terkenal sejak 1945.
Mentang-mentang pakai celana serdadu, penjual celana itu
tiba-tiba menjadi sombong dan pura-pura lupa sama aku.
“Anda dari kampung ya?” ejeknya ketika aku sibuk
mencoba-coba berbagai celana dan tidak juga membelinya.
“Semua celana itu palsu. Yang asli cuma ini,” katanya
sembari menunjuk-nunjuk celananya sendiri.
Ia tertawa hebat ketika aku berniat membeli celana antik
yang dipakainya, berapa pun harganya.
Ia bertahan: “Jangan. Ini celana perjuangan.”
Ketika sekian tahun kemudian kami bertemu lagi
di sebuah rumah sakit jiwa di dekat kuburan di pinggiran kota,
bekas serdadu itu mengaku bahwa celana loreng
yang dibanggakannya itu sebenarnya palsu dan ia menyesal
mengapa dulu tidak menjualnya ke aku.
Celana itu sudah dibeli seorang kolektor kaya
yang gemar mengumpulkan berbagai macam benda pusaka.
(2002)
PENYAIR
KECIL
untuk Nur
Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai-rangkai kata
dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi
sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya.
“Kita belum punya rumah kan, Bu. Nah, Ibu tidur saja
di dalam rumah buatanku. Aku akan berjaga di teras
semalaman dan semuanya akan aman-aman saja.”
Ketika kau bangun di subuh yang hening itu, kau tertawa
melihat penyair-kecilmu tertidur kedinginan
di teras rumahnya, ditunggui Donald dan Bobo,
pengawal-pengawalnya yang setia.
(2002)
Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai-rangkai kata
dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi
sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya.
“Kita belum punya rumah kan, Bu. Nah, Ibu tidur saja
di dalam rumah buatanku. Aku akan berjaga di teras
semalaman dan semuanya akan aman-aman saja.”
Ketika kau bangun di subuh yang hening itu, kau tertawa
melihat penyair-kecilmu tertidur kedinginan
di teras rumahnya, ditunggui Donald dan Bobo,
pengawal-pengawalnya yang setia.
(2002)
MAMPIR
Tadi aku
mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.
(2002)
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.
(2002)
BAYI MUNGIL DI KAMAR MANDI
Bayi
mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya menyusup jauh ke relung tidurku.
Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku.
Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku.
(2002)
Lengking suaranya menyusup jauh ke relung tidurku.
Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku.
Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku.
(2002)
LUKISAN
BERWARNA
untuk
Andreas dan Dorothea
Hujan beratus warna
tumpah di hamparan kanvas senja.
Pohon-pohon bersorak gembira
sebab dari ranting-rantingnya yang sakit
kuncup jua daun-daun beratus warna.
Burung-burung bernyanyi riang,
terbang riuh dari dahan ke dahan
dengan sayap beratus warna.
Dua malaikat kecil menganyam cahaya,
membentangkan bianglala
di bawah langit beratus warna.
Airmata beratus warna kautumpahkan
ke celah-celah sunyi
yang belum sempat tersentuh warna.
(2002)
Hujan beratus warna
tumpah di hamparan kanvas senja.
Pohon-pohon bersorak gembira
sebab dari ranting-rantingnya yang sakit
kuncup jua daun-daun beratus warna.
Burung-burung bernyanyi riang,
terbang riuh dari dahan ke dahan
dengan sayap beratus warna.
Dua malaikat kecil menganyam cahaya,
membentangkan bianglala
di bawah langit beratus warna.
Airmata beratus warna kautumpahkan
ke celah-celah sunyi
yang belum sempat tersentuh warna.
(2002)
PENUMPANG
TERAKHIR
untuk Joni
Ariadinata
Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan memintanya
mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka.
Entah mengapa aku sangat suka tamasya dengan becaknya.
Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya.
Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan.
Aku akan menabur kembang di atas makam nenek moyang.
Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang becak
akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang tenang.
Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita
tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta
dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang.
Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali pulang.
Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah
karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang
buat ongkos pulang ke perantauan.
Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan,
batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang,
aduh kasihan. “Biar gantian saya yang menggenjot, Pak.
Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.”
Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan,
sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin
bermimpi, di dalam becaknya sendiri.
Sampai di kuburan aku berseru bangun dong pak,
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas tubuh
bang becak yang kesepian itu.
(2002)
Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan memintanya
mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka.
Entah mengapa aku sangat suka tamasya dengan becaknya.
Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya.
Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan.
Aku akan menabur kembang di atas makam nenek moyang.
Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang becak
akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang tenang.
Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita
tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta
dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang.
Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali pulang.
Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah
karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang
buat ongkos pulang ke perantauan.
Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan,
batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang,
aduh kasihan. “Biar gantian saya yang menggenjot, Pak.
Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.”
Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan,
sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin
bermimpi, di dalam becaknya sendiri.
Sampai di kuburan aku berseru bangun dong pak,
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas tubuh
bang becak yang kesepian itu.
(2002)
AKU TIDUR BERSELIMUTKAN UANG
Aku tidur
berselimutkan uang.
Ketika bangun, tahu-tahu tubuhku sudah telanjang.
(2002)
Ketika bangun, tahu-tahu tubuhku sudah telanjang.
(2002)
PENJAGA MALAM
Penjaga
malam itu masih setia menjaga rumah besar
yang tak pernah dihuni pemiliknya.
Ia sangat mencintai rumah kosong itu,
bahkan merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya.
Suatu malam ia berhasil menangkap seorang penjahat
yang berusaha masuk ke rumah itu tanpa seizinnya.
Ia tidak rela rumah itu diganggu karena, ya itu tadi,
ia merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya.
Keesokan harinya penjaga malam itu tak kelihatan lagi
batang hidungnya. Ia sudah ditangkap polisi
karena telah menghajar pemilik rumah yang dijaganya.
(2002)
yang tak pernah dihuni pemiliknya.
Ia sangat mencintai rumah kosong itu,
bahkan merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya.
Suatu malam ia berhasil menangkap seorang penjahat
yang berusaha masuk ke rumah itu tanpa seizinnya.
Ia tidak rela rumah itu diganggu karena, ya itu tadi,
ia merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya.
Keesokan harinya penjaga malam itu tak kelihatan lagi
batang hidungnya. Ia sudah ditangkap polisi
karena telah menghajar pemilik rumah yang dijaganya.
(2002)
GADIS ENAM PULUH TAHUN
Gadis enam
puluh tahun berdiri di ambang jendela,
berbincang-bincang dengan senja.
Senja menggerayangi wajahnya, dan ia merasa
sorot senja sangat menyilaukan matanya.
"Ngapain ngeliatin gue melulu? Ntar gue colong mata lu!"
Senja meredup, kemudian angslup ke pelupuknya.
Demikianlah, setiap berangkat bermain layang-layang
di kuburan, aku melihat gadis buta itu sedang berdiri
di ambang jendela, berpacaran dengan senja,
dan sorot senja memancar dari kelopak matanya.
(2002)
berbincang-bincang dengan senja.
Senja menggerayangi wajahnya, dan ia merasa
sorot senja sangat menyilaukan matanya.
"Ngapain ngeliatin gue melulu? Ntar gue colong mata lu!"
Senja meredup, kemudian angslup ke pelupuknya.
Demikianlah, setiap berangkat bermain layang-layang
di kuburan, aku melihat gadis buta itu sedang berdiri
di ambang jendela, berpacaran dengan senja,
dan sorot senja memancar dari kelopak matanya.
(2002)
DOA MEMPELAI
Malam ini
aku akan berangkat mengarungimu.
Perjalanan mungkin akan panjang berliku
dan nasib baik tidak selalu menghampiriku
tapi insyaallah suatu saat
bisa kutemukan sebuah kiblat
di ufuk barat tubuhmu.
(2002; kado buat Ade & Fajar)
Perjalanan mungkin akan panjang berliku
dan nasib baik tidak selalu menghampiriku
tapi insyaallah suatu saat
bisa kutemukan sebuah kiblat
di ufuk barat tubuhmu.
(2002; kado buat Ade & Fajar)
JURANG
Berputar-putar
di rimba ranjang, mencari jalan setapak
menuju tubuhmu yang terjal dan curam, sementara hari
mulai gelap dan hujan sebentar lagi datang, awas ada
penjahat siap menghadang, akhirnya aku tersesat
dan terperosok ke dalam jurang.
Tubuhmu terlindung jauh di luar ranjang.
(2002)
menuju tubuhmu yang terjal dan curam, sementara hari
mulai gelap dan hujan sebentar lagi datang, awas ada
penjahat siap menghadang, akhirnya aku tersesat
dan terperosok ke dalam jurang.
Tubuhmu terlindung jauh di luar ranjang.
(2002)
PERIAS JENAZAH
Untuk
terakhir kali perempuan cantik itu akan merias jenazah.
Setelah itu selesailah. Ia sangat lelah setelah sekian lama
mengurusi keberangkatan para arwah .
Kini ia harus merias jenazah seorang perempuan
yang ditemukan tewas di bawah jembatan, tidak jelas
asal-usulnya, serba gelap identitasnya, tidak ada yang sudi
mengurusnya, dan untuk gampangnya orang menyebutnya
gelandangan atau pelacur jalanan, toh petugas ketidakamanan
bilang ah paling ia mati dikerjain preman-preman.
Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah
yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya.
Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya
jenazah perempuan malang itu.
“Biar kurias parasmu dengan air mataku hingga sempurna ajalmu.”
Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggal dunia
dan tak ada yang meriasnya.
Jenazahnya tampak lembut dan cantik, dan arwah-arwah
yang pernah didandaninya pasti akan sangat menyayanginya.
Kadang perias jenazah itu diam-diam memasuki tidurku
dan merenungi wajahku. Seakan ia tahu bahwa aku
yatim piatu, tidak jelas asal-usulnya, serba gelap identitasnya.
Kulihat wajah cantiknya berkelebatan di atas ranjang kata-kataku.
Setelah itu selesailah. Ia sangat lelah setelah sekian lama
mengurusi keberangkatan para arwah .
Kini ia harus merias jenazah seorang perempuan
yang ditemukan tewas di bawah jembatan, tidak jelas
asal-usulnya, serba gelap identitasnya, tidak ada yang sudi
mengurusnya, dan untuk gampangnya orang menyebutnya
gelandangan atau pelacur jalanan, toh petugas ketidakamanan
bilang ah paling ia mati dikerjain preman-preman.
Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah
yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya.
Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya
jenazah perempuan malang itu.
“Biar kurias parasmu dengan air mataku hingga sempurna ajalmu.”
Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggal dunia
dan tak ada yang meriasnya.
Jenazahnya tampak lembut dan cantik, dan arwah-arwah
yang pernah didandaninya pasti akan sangat menyayanginya.
Kadang perias jenazah itu diam-diam memasuki tidurku
dan merenungi wajahku. Seakan ia tahu bahwa aku
yatim piatu, tidak jelas asal-usulnya, serba gelap identitasnya.
Kulihat wajah cantiknya berkelebatan di atas ranjang kata-kataku.
Demikian postingan pada pagi ini,
semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari kumpulan puisi Joko Pinurbo.
Wassalamu’alaikum….
0 Response to "Kumpulan Puisi Joko Pinurbo"
Posting Komentar