Kumpulan Puisi Gus tf Sakai



Kumpulan Puisi Gus tf Sakai - Assalamu’alaikum… selamat pagi, selamat berjumpa lagi dengan blog MJ Brigaseli. Pada kesempatan di pagi ini saya akan mencoba berbagi tentang kumpulan puisi Gus tf Sakai. Langsung saja ya….

Gustafrizal Busra atau lebih dikenal Gus tf Sakai, (lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Agustus 1965) adalah seorang penulis Indonesia. Nama Gus tf Sakai digunakan kalau ia menulis prosa, sedangkan Gus tf digunakan jika ia menulis puisi. Hingga kini, ia menetap di Payakumbuh, Sumatera Barat.

Gus tf Sakai menamatkan SD, SMP, dan SMA di Payakumbuh. Kemudian ia melanjutkan ke Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang (selesai 1994). Gustaf orang padang, suku minangkabau.

Proses kreatifnya berkembang sejak kanak-kanak, seiring dengan kegemaran berolahraga (di antaranya sepak bola dan bela diri), yang dimulai dari menggambar, lalu menulis puisi dan esai di buku harian. Publikasi pertamanya berupa cerita pendek yang memenangi Hadiah I sebuah sayembara ketika ia duduk di bangku kelas 6 SD tahun 1979. Sejak kemenangan itu dan ia tahu bahwa menulis dapat mendatangkan uang (yang amat membantu bagi kebutuhan sekolahnya), ia tidak lagi dapat berhenti menulis dan sering mengikuti sayembara menulis puisi, cerpen, novelet, novel, dan esai. Seingatnya, sampai tahun 2003, ada sekitar 50 sayembara menulis yang ia menangkan, tetapi yang terdokumentasi dan dapat dicatat hanya 36. Namun, angka 36 itu pun mungkin sudah merupakan rekor yang mencengangkan.

Setelah mempublikasikan karya dengan berbagai nama samaran sampai tamat SMA tahun 1985, ia pindah ke Padang dan mengambil putusan yang bagi banyak orang mungkin tidak terbayangkan: hidup dari menulis. Sejak itu pulalah, ia menggunakan dua nama: Gus tf dan Gus tf Sakai. Namun, kini terbukti keputusannya tidak keliru. Walaupun tidak dapat dikatakan berkecukupan, ia tampak sangat menikmati profesinya. Ia pun tumbuh sebagai sastrawan Indonesia yang menonjol di generasinya.

Tahun 1996 Gus tf Sakai kembali ke Payakumbuh. Bersama istrinya, Zurniati, ia memutuskan untuk hidup dan menetap di kampungnya bersama tiga anaknya: Abyad Barokah Bodi (L), Khanza Jamalina Bodi (P), dan Kuntum Faiha Bodi (P). Walaupun menetap di kota kecil yang dikepung oleh tiga gunung, kemajuan teknologi membuat ia dapat melintas (fisik dan nonfisik) ke mana-mana.

Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Kumpulan cerpennya, Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta yang memenangi Lontar Literary Award 2001 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Yayasan Lontar dengan judul The Barber and Other Short Stories. Kumpulan cerpen tersebut diterjemahkan oleh Justine FitzGerald, Anna Nettheim, dan Linda Owens.




MANUSIA CACING

Mencari tapal tuahku. tanya, tanya, tanya
Kehilangan tahun, musim bertarung dengan cuaca
Ambar di jalan, kesturi di halaman, dupa di taman
Jadi debu di tangan. “Permainan?” tanyamu. Aku orang
Tak berlabuh, buat apa tahun jika kita tak saat. Hanya
Sari hidup (batas) cinta dengan akhirat
Tahun keluar dari orbit
Perjalanan yang luas, keluhmu. Satu titik. Tanya,
Tanya. Siapa menyambung apa, memburu perburuan apa
Dagingku (beraga) di atas sukma berjiwa. Makna,
Kuliti aspal jalan raya. O traffic light
Hendak ke mana
Tahun keluar dari manusia
Tanya, tanya, tanya. Cacing saja





KITA PERNAH

Kita pernah berkenalan. Musim hujan, air
Memanjat selokan. Sebut aku kepasrahan,
Katamu, timbul-tenggelam dalam genangan
Dalam genangan, api menjilat rumah-rumah jamban
Wajahmu pucat, dan ketakutan. Sebut aku ketabahan
Katamu. Kayu dan arang mengerut dan mengerang. Engkau
Kemanakah bakal pulang? Berhari-hari berbulan-bulan
Kutunggu kau di koran-koran
Di koran-koran, seperti biasa, kau tidak ada. Gedung
Gedung didirikan dengan ketenangan. Demikian indah
Begitu megah deras pembangunan. Kota-kota tumbuh
Dari kegaiban. Tapi kita
Tapi kita pernah berkenalan. Berulangkali





HAL TAK PENTING

Kami tidur setiap malam seperti kami bangun setiap pagi.
Apa yang bisa kami makan hari ini?
Kentang, tomat, daging, kiriman roti dari Bakery.
Semur, opor, sup, sangat cocok dengan nasi.
Ada juga keripik ikan pari, cemilan kami setiap kali duduk di depan televisi.

Kami duduk di depan televisi seperti kami duduk di depan kerabat.
Lihat.
Leher koyak, kepala somplak, di kaki meja tergeletak sepotong kapak.
Adakah ia kapak yang kemarin kami pinjam dari tetangga?
Darah mengalir, menetes ke cangkir, memadat mengental
seperti agar-agar.
Lihat. Ia mengiris, dan mencowelnya, seperti kami mengiris dan mencowel mentega.
Ia menjilat, dan mengulumnya, seperti kami menjilat dan mengulum gula-gula.
Adakah ia memang rasakan betapa legitnya?
Adakah ia memang kerabat --bagian dari kami juga?
Kami tertawa-tawa.
Tergeli-geli seperti bukan dengan televisi.

Tapi selalu, setiap senja, seorang lelaki turun dari taman kota.
Dari pintu pagar, ia berteriak, ''Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?''

Sungguh tak penting.
Ia manusia.
Si gila.
Berita sore yang kami nanti: Seberapa banyak saham kami naik hari ini?

Payakumbuh, 1997





DAGING

Angkasa luas inilah yang menggelembungkan balon di kepalaku.
Bongkahan planet melayang, seperti gumpalan dada yang mengerang.
''Siapa Anda? Punyakah Anda secebis kisah tentang dunia? Tolong.''

Tidak.
Tak ada kisah tentang dunia.
Kecuali dongeng, semacam konon, yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya.
''Ini bulan, kuserpih dari seratku yang malam.
Ini matahari, kubeset dari kulitku yang siang.
Pada keduanya ada gerhana, tempat kau berpikir tentang tiada.''

Tentang tiada?

''Aku manusia! Diriku lahir karena ada. Siapa Anda?
Takkan aku bertanya kalau di mataku Anda tiada.
Takkan aku berkata kalau gugus galaksi gelap saja.
Takkan aku berpikir kalau semuanya sia-sia.
Siapa Anda?''

''Sudah mereka katakan aku cuma dongeng.
Sudah mereka katakan aku cuma konon.
Tapi aku daging. Daging, yang setiap hari engkau telan engkau muntahkan...''

Payakumbuh, 1997





ADAKAH

''Adakah engkau memiliki ibu?''
Sungguh ia sangat malu dengan pertanyaan itu.
Kata orang, ia muncul dari malam, dalam kelam, dari mitos penuh hantu.

''Adakah engkau memiliki anak?''
Sungguh ia sangat takut dengan pertanyaan itu.
Kata orang, ia punya anak tapi si anak tak pernah memiliki bapak.
Ia memiliki Putri, memiliki Putra, tapi tak pernah mendapat apa pun dari mereka.
Setiap malam, sebelum tidur, tak henti ia berdusta.
''Bu, dari mana kita? Mengapa kita ada?''
''Entah. Dari tanah. Tidurlah!''
Si Putra seperti tidur.
Si Putri Bagai mendengkur.
Si Putra mimpi jadi hujan.
Si Putri mimpi jadi genangan.
Tidakkah kita dari air?
Lihatlah. Cacing dan katak selalu muncul pada tempat yang baru digenangi hujan.

''Dari air!'' Si Putri tersentak dan berteriak.
Tapi si Putra, setiap pagi, tetap merasa bahwa mereka muncul dari televisi.

''Adakah engkau memiliki ibu?''
''Adakah engkau memiliki anak?''

: Ah, alangkah kacau pertanyaan itu.

Payakumbuh, 1997





MITOLOGI

Saat kanak-kanak, ia gemar melihat dirinya dalam cermin di kamar Ibu.
''Itulah kamu,'' kata si Ibu seraya menerbangkan seekor burung ke dalamnya.
Burung itu cantik, pupilnya terang, paruhnya merah muda.
''Sebagai teman, tentu, bila Ibu tak ada.''

Saat ia mulai remaja, cermin itu dipindahkan Ibu ke kamarnya.
Setiap ia berkaca, burung itu berkicau berputar-putar di atas kepala.
Apakah yang dikatakannya?

Atau adakah yang diinginkannya?
Bila dirinya tak ada, kadang ia merasa burung itu kesepian;
dan tentu menderita.

Saat dewasa, sebab entah sibuk bekerja, ia mulai jarang berkaca.
Burung itu, entah memang karena ia lupa, jarang pula tampak olehnya.
Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, mereka bagai bukan bagian dari bersama.
Tapi suatu ketika, dalam usia separo baya, ia melihatnya.
Burung jelek, kusam, tak ubahnya kelebat suram dalam hidupnya.
Betulkah itu dia?

Kini ia telah tua.
Di depan cermin, pedih, ia sering merindukannya.
Burung itu -- burung itu, memang, sebenarnya tak pernah ada.

Payakumbuh, 1997





KARENA BUKAN ENSIKLOPEDI

Suatu ketika --entah bila-- aku bukan bagian dari alam raya.
Tentang apakah manusia tentang apakah dunia, bagiku semua kosong saja.
Tak ada pikiran tentang hidup karena aku tak bakal berurusan dengan mati.
Tak ada apa pun kata dalam bunyi karena aku bukan bagian dari ensiklopedi.

Suatu ketika --entah bila-- aku bukan bagian dari alam raya.
Anda melihat bintang, aku belum ada dalam kerlipnya.
Anda melihat laut, aku belum ada dalam ombaknya.
Adakah Anda, seperti mereka, mendapatkan belum dalam tak ada?
Setiap waktu, setiap ketika, mereka mendengar diamku dalam suara.
Melengking, merintih, jauh menuju tiada.

Payakumbuh, 1997





Susi: Merah Padam

Telinga yang terang, antarlah Susi menyaksikan
tubuh tak berbayang. Jarak ini, alangkah mustahil
dicapai dengan mata. Bermilyar tahun cahaya: kau
dibungkus orbit terendah. Semua cakra melingkar
hanya mencecah, melayang di punggung tanah.
Tak cukup kata untuk rasa yang kau indera. Susi
menangis, merintih, tetapi tak sedih. Susi meraung,
memukul-mukul dada, namun tertawa. Apakah kata
untuk rasa semacam riang, namun pilu? Semacam
rindu, tetapi sendu? Susi bergetar, lampus prana.

Cahaya menyentuh apa pun rupa. Getar melepas
apa pun rasa. Jalan ke Sang Sumber, nikmat aduh
tak terkira. ”Susi, ah Susi, siapa terbakar—merah
padam, karena cinta?” Semua menanti, engkau
kembali: membawakan kami kabar gembira*.

Payakumbuh, 2009 * Dari QS 2:119.





Susi: Sengal Perahu

genting tampukmu, gelantung rawan kami meragu.
Gugurmu, Susi, ”Pucat gemerincing dalam seratku.”
anyir usiamu, geronggang musim yang tak kautahu.
Benihmu, Susi, ”Liar mendengking dalam sarafku.”
puting jantanmu, timpangan laku kami menggancu.
Sengalmu, Susi, ”Kerongkong gatal tersedak debu.”
ranum dagingmu, muara dan hulu di bandul waktu.
Kekalmu, Susi, ”Dayunglah dayung perahumu laju.”

Padang, 2009





Susi: Jerat Jantan

kenapa mesti dengan Susimu—untuk melihat
tiap sentimeter kubik dagingku. Biarkan saja dia,
Si Kehendak Bebas itu, beterbangan bagai debu:
liar gemerincing, dalam buluh-buluh daging.
kenapa harus dengan Susimu—untuk berlepas
dari jerat jantan Susiku. Biarkan saja dia, Si Kata
Pemisah, memilah, mencari sendiri dirinya: dari
kehendak bebas, dari kelamin yang dia suka.

kenapa mesti dengan Kata Pemisah, kenapa harus
dari Kehendak Bebas—kau mengikat Susi berlepas.
Lima milyar tahun, kau amuba Susi primata. Jerat
jantanku, DNA itu, kau membeku Susi meluber,
ah, sejak dari Sanskrit: ya Patr ya Pater ya Father.

Payakumbuh, 2009





Susi: Belaka Orbit

Engkau yang tidur dalam mimpi buruk Susi, masih juga
tak menyadari: akankah Kami lelah dengan ciptaan pertama?
Tidak! Tetapi mereka meragukan adanya ciptaan baru*. Yeah,
gunung-gunung menggembung, lempeng-lempeng bergeser.
Planet-planet meraung, sujud tafakur pada Sang Sumber.
Tidurkah kau dalam Susi, tidur purba mimpi buruk kami?
Empat ribu tahunmu, saat dikembalikan planet kesepuluh,
engkau melepuh. Mimpi buruk Susi: tanah-batu mengerang.
Kau pun ditandai dari dahi, dari ubun-ubun yang terang. Tak!
Tak materi, tidak pula anti-materi, yang kemudian diangkat.
Atom bergetar, melesat, panen jiwa-jiwa yang selamat**.
Tidurkah kau dalam kami, tidur purba mimpi buruk Susi?





Susi: Belaka Orbit

Engkau lepaskan diri, dari orbit, bintang quasar tepi galaksi.
Tak ada yang diangkat, katamu, di tempat materi hilang berat.
Mimpi buruk Susi: hanya orbit! Belaka orbit semesta ini. Yeah,
kesulitan itu, persoalan terbesar kami: menyelamatkan orang
yang tak tahu bahaya apa celaka apa yang mereka hadapi.

Payakumbuh, 2009

* Dari QS 50:15.
** Dari Matius 13:39


Demikian postingan pada pagi ini, semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari kumpulan puisi Gus tf Sakai. Wassalamu’alaikum….

Dari berbagai sumber.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kumpulan Puisi Gus tf Sakai"

Posting Komentar