Kumpulan Puisi Muhammad Yamin



Kumpulan Puisi Muhammad Yamin - Assalamu’alaikum… selamat malam, selamat berjumpa lagi dengan blog MJ Brigaseli. Pada kesempatan di malam ini saya akan mencoba berbagi tentang kumpulan puisi Muhammad Yamin. Langsung saja ya….

Muhammad Yamin lahir 23Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera Barat, meningal 26 Oktober 1962 di Jakarta. Dia menulis puisi dan lakon yang berlatar belakang sejarah serta menerjemahkan sejumlah karya asing.

Dua buku puisnya masing-masing terdiri dari satu judul, Tanah Air (9 Desember 1922, berupa manuskrip di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin) terdiri dari 30 bait dan tiap bait terdiri 9 baris; Indonesia, Tumpah Darahku (26 Oktober 1928) terdiri dari 88 bait dan tiap bait terdiri dari 7 baris.

Muhammad Yamin (dan Rustam Effendi) terkenal sebagai pembawa puisi berpola soneta dari Belanda – asli Italia itu – ke Indonesia. Antara tahun 1920-1922, dia banyak menulis lirik. Yamin sendiri banyak menulis soneta, tapi belum dibukukan.

Lakonnya, Ken Angrok dan Ken Dedes (1934), Kalau Dewi Tara Sudah Berkata… (1932), Gajah Mada (1946), Pangeran Dipanegara (1950). Terjemahannya antara lain: Julius Caesar (1952) karya William Shakespeare, 1564-1616; Menantikan Surat dari Raja dan Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga karya Rabindranath Tagore (1861-1941).

Sejumlah puisinya ada dalam antologi Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963) susunan H.B. Jassin.

Oleh beberapa pengamat dan peninjau sastra, Muhammad Yamin dianggap sebagai pemula penyair dalam khasanah sastra Indonesia modern. Setelah dewasa dan matang, dia terjun ke gelanggan politik dan tidak mencipta karya sastra lagi.




BUKIT BARISAN

Hijau tampaknya Bukit Barisan
Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang
Putuslah nyawa hilanglah badan
Lamun hati terkenal pulang
Gunung tinggi diliputi awan
Berteduh langit malam dan siang
Terdengar kampung memanggil taulan
Rasakan hancur tulang belulang
Habislah tahun berganti jaman
Badan merantau sakit dan senang
Membawakan diri untung dan malang
Di tengah malam terjaga badan
Terkenang bapak sudah berpulang
Berteduh selasih kemboja sebatang





GEMBALA 

Perasaan siapa tidak kan nyata
Melihatkan anak berlagu dendang
Seorang sahaja di tengah dendang
Tiada berbaju buka kepala
Beginilah nasib anak gembala
Berteduh di bawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah di senja kala
Jauh sedikit sesayup sampai
Terdengar olehku bunyi serunai
Melagukan alam nan elok permai
Wahai gembala di segara hijau
Mendengar puputmu menurutkan kerbau
Maulah aku menurutkan dikau





GAMELAN 

Tersimbah hati melihat bulan,
Diiringi awan kanan dan kiri;
Bagaikan benda berseri baiduri,
Sedangkan bintang timbul-timbulan.
Di waktu purnama berjalan-jalan
Seorang sahaja sayang sendiri;
Digundah lagi di malam hari,
Turun naik bunyi gamelan.
Lamalah sudah, padam suara,
Dibawa angin ke mana tujunya.
Kemudian hilang dalam udara.
Entah di mana sekarang duduknya,
Tetapi hatiku tiada terkira;
Siang dan malam dimabuknya.





GUBAHAN 

Beta bertanam bunga cempaka
Di tengah halaman tanah pusaka,
Supaya selamanya, segenap ketika
Harum berbau, semerbak belaka.
Beta berahu bersuka raya
Sekiranya bunga puspa mulia
Dipetik handaiku, muda usia
Dijadikan karangan, nan permai kaya
Semenjak kuntuman, kecil semula
Beta berniat membuat pahala,
Menjadikan perhiasan, atas kepala.
O Cempaka, wangi baunya
Mari kupetik seberapa adanya
Biar kugubah waktu la’i muda.





PERASAAN 

Hatiku rawan bercampur hibur
Mendengarkan riak desir-mendesir
Menuju ke pantai di tepi bergisir
Berlagu dendang sumber-menyumber.
Ombak bergulung hambur-menghambur
Mencari tepi tanah pesisir
Lalu terhempas di padang pasir
Buih berderai, putih bertabur.
Duduk begini di bulan terang
Mendengarkan gelombang memecah di karang
Rasakan putus jantungku gerang
Setelah selebu sedemikian menyerang
Terdengarlah suara merdu menderang:
‘Perasaan tinggi pemuda sekarang





TANAH AIR

Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;Tampaklah Hutan, rimba, dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula;
Langit yang hijau bertukar warna;
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku.
Sesayup mata, hutan semata;
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, disebelah situ,
Dipagari gunung, satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatera, namanya, yang kujunjungi.
Pada batasan, bukit barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudera Hindia,
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah kepasir lalu berderai,
Ia memekik berandai-randai :
“Wahai Andalas, Pulau Sumatera,
“Harumkan nama, selatan utara !”





DI LAUTAN HINDIA

Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku
Sebelah Timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku
Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mula bertabur
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi barissan sebuah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur





INDONESIA TUMPAH DARAHKU

Bersatu kita teguh
Bercerai kita runtuh
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejar bumi ayah dan ibu
Indonesia namanya. Tanah airku
Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air, malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang
Sejak malam diberi kelam
Sampai purnama terang-benderang
Di sanalah bangsaku gerangan menompang
Selama berteduh di alam nan lapang
Tumpah darah Nusa India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di Indonesia
Beta berniat membuat pahala,
Menjadikan perhiasan, atas kepala.
O Cempaka, wangi baunya
Mari kupetik seberapa adanya
Biar kugubah waktu la’i muda.





BAHASA, BANGSA

Selagi kecil berusia muda
Tidur si anak di pangkuan bunda,
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang;
Berbuai sayang malam dan siang
Buaian tergantung di tanah moyang.

Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu
Perasaan serikat menjadi berpadu,
Dalam bahasanya, permai merdu.

Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Bernafas kita pemanjangkan nyawa,
Dalam bahasa sambungan jiwa.
Di mana Sumatera, di situ bangsa,
Di mana Perca, di sana bahasa.

Andalasku sayang, jana-bejana,
Sejakkan kecil muda teruna,
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa, tiadakan pernah,
Ingat pemuda, Sumatera malang
Tiada bahasa, bangsa pun hilang.





BANDI MATARAM!

Pandangan jauh sekali
kepada zaman yang sudah hilang,
Ketika dewa hidup di bumi
serta bangsaku, bangsaku sayang
Berumah di hutan indah sekali,
atau di ranah lembah dan jurang,
O, Bangsaku, alangkah mujurmu di waktu itu
berjuang di padang ditumbuhi duka
Karena bergerak ada dituju
serta disinari cahaya Cinta
Atau meratap tersedu-sedu
karena kalbunya dipenuhi duka.
Walau demikian beratnya beban
hati nan sesak tiadalah sangka;
Ke langit nan hijau menadahkan tangan
meminta ke-Tuhan junjungan mulia
Supaya peruntungan tuan lupakan,
walau sengsara bukan kepalang
Tuan elakkan segala semuanya
biar terhempas terbawa ke karang,
Karena bangsaku nan sangat mulia
dengan begola, bintang gemilang
Serta bulan bersamaku surya
bertabur di langit gulita cemerlang,
Ia sehati, sekumpul senyawa,
Sebagai anak nan belum gedang
Kulihat tuan bergerak ke muka
dengan sengsara biar berperang,
Kadang berbantu haram tiada:
sungguh demikian Cahaya nurani
Nan bersinar-sinar di dalam dada
Bertambah besarnya bergandakan seri
Biar menentang bala dan baya
yang menceraikan orang, sehidup semati
Atau sepakat taulan saudara.
Dalam pandanganku tampaklah pula
Daripada bangsaku beberapa orang
berjalan berdandan ke padang mulia
Ke medan gerangan hendak berjuang
berbuat kurban meminta sejahtera
Isteri dan anak, sibiran tulang,
Baik bercabul rukun dan damai
bangsaku selalu besar dan tinggi:
Kadang ‘tu fajar hampir berderai
sedangkan embun belumlah pergi
Berjalan tuan alim dan lalai
menjelang sawah sedang menanti,
Beserta kerbau, anak dan bini
Tuan berjerih membuat puja
Kepada tanah yang subur sekali:
berkat pun turun dihadiahkan dewa,
Karena awan di gunung dan giri
turun ke bumi hujan terbawa
Alamat kesejahteraan sangat sejati!
Ditengah malam duduk bersama
Menghadapi seri cahaya pelita
timbullah sukur di hati mesra
Serta mendoa ke-Tuhan Mahakuasa
memulangkan santun, meminta cinta.
Jikalau pekan harilah balai
Alangkah sukanya kecil dan besar.
Segala yang kecil sorak semarai
menurut jalan berputar-putar
Serta sorakan bandar dan permai:
Ada menolong ibu dan bunda
Walaupun ketiding belum berisi!
Ada bermainan, cengkerik dan layang
Dan mengadu ayam, sesuka hati!
Berapalah suka alang kepalang
Bergurau dengan pinangan sendiri,
Si anak dara di hari nan datang!
Gadis perawan muka nan permai,
ketika hari bersuka raya,
Semua berjalan menuju balai:
kalau begini terkenang dik beta
Besarlah hati tiada ternilai,
karena disinari ingatan mulia.
Lihatlah perempuan hiasan di kampung
berpakaian adat bertekatkan emas
Berteduh di surga sebagai payung
menginjakkan kaki langkah yang tangkas
Atau mengidap sebagai ikan tunjung
menceriterakan rahasia, harap dan cemas,
Di belakang berjalan ninik dan mamak,
Ajuk-mengajuk bertukar bicara
Timbang menimbang kuranglah tidak
Ke balai terus gerangan jua
Dengan suara seberapa suka!
Tiada berhingga sehari-harinya.
Apabila hari sudah malam
Datanglah pula satu per satu
berundangan makan di hari kelam:
Demikian teguhnya gerangan bangsaku
Senyawa sebadan, sejahtera dan malam
Membuat kurban setiap sekalu,
kepada kawan handai dan taulan
Jika diserang gundah gulana
tuan sembahkan kedua tangan.
Dan berapalah pula berhati suka
Kalau disinari caya kenangan,
Alamat bagia yang sangat mulia.

Lihatlah gerangan, pandanglah pula
Di sana memutih cahaya mega
Menebarkan harapan di cakrawala.

Dengarkan sungai, air dan gangga
Mengeluarkan lagu merdua suara
Sebagai bunyian di dalam suarga.

Di hati bangsaku di pulau perca
Bersinar Cinta, bersuka riang
Menghadapi usia, gemilang cuaca.

Wahai bangsaku, remaja ‘lah lindang
Sebagai embun di hari pagi
Lenyaplah ke zaman yang sudah hilang

Kini bangsaku, insafkan diri
Berjalan ke muka, marilah mari
Menjelang padang ditumbuhi mujari
Dicayai Merdeka berseri-seri.




Demikian postingan pada malam ini, semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari kumpulan puisi Muhammad Yamin. Wassalamu’alaikum….

Dari berbagai sumber.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kumpulan Puisi Muhammad Yamin"

Posting Komentar