Kumpulan Puisi Sutardji Calzoum Bachri



Kumpulan Puisi Sutardji Calzoum Bachri - Sutardji Calzoum Bachri adalah pujangga Indonesia terkemuka, ia dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan 1966 s.d. 1970-an.

Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada 24 Juni 1941. Ia adalah anak kelima dari sepuluh orang bersaudara. Pada tahun 1982, ia  menikah dengan seorang gadis pilihannya bernama Maryam Linda.

Sutardji memulai pendidikan dasarnya di SD, SMP, SMA, dan kemudian melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik (Sospol), Jurusan Administrasi Negara, Universitas  Padjadjaran Bandung, namun tidak selesai. Selain menempuh jalur pendidikan  formal, Sutardji juga telah mengikuti berbagai program pendidikan non-formal  seperti: peserta Poetry Reading International di Rotterdam (tahun 1974) dan mengikuti International  Writing Program di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun (tahun 1975).  Ia juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun  1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dalam 10 terbaik.

Sutardji  mulai menulis di media cetak sejak berumur 25 tahun. Pada tahun 1971, sajaknya berjudul “O” yang merupakan kumpulan puisinya yang pertama, muncul di majalah  sastra. Pada tahun berikutnya, di majalah yang sama, karyanya  berjudul “Amuk” kembali dimuat.

Sutardji Calzoum Bachri pernah bekerja sebagai  redaktur di majalah sastra Horison dan majalah mingguan Fokus. Bahkan, sejumlah sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters  in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend  jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (tahun 1979).

Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.

Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.

Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.

Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.

O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.




ANA BUNGA
Terjemahan bebas (Adaptasi) dari puisi Kurt Schwittters, Anne Blumme

Oh kau Sayangku duapuluh tujuh indera
Kucinta kau
Aku ke kau ke kau aku
Akulah kauku kaulah ku ke kau
Kita ?
Biarlah antara kita saja
Siapa kau, perempuan tak terbilang
Kau
Kau ? – orang bilang kau – biarkan orang bilang
Orang tak tahu menara gereja menjulang
Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan
dengan kedua
tanganmu
Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat
Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku
cinta kau
Merahcintaku Ana Bunga, merahcintaku pada kau
Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku
kau yang padaku
Kita?
Dalam dingin api mari kita bicara
Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa?
Sayembara :
Ana Bunga buahku
Merah Ana Bunga
Warna apa aku?
Biru warna rambut kuningmu
Merah warna dalam buah hijaumu
Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari
Kau hewan hijau manis, aku cinta kau
Kau padakau  yang milik
kau yang kau aku
yang milikkau
kau yang ku
Kita ?
Biarkan antara kita saja
pada api perdiangan
Ana Bunga, Ana, A-n-a, akun teteskan namamu
Namamu menetes bagai lembut lilin
Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu?
Orang dapat membaca kau dari belakang
Dan kau yang paling agung dari segala
Kau yang dari belakang, yang dari depan
A-N-A
Tetes lilin mengusapusap punggungku
Ana Bunga
Oh hewan meleleh
Aku cinta yang padakau!
1999

Catatan: Terjemahan Anna Blume dikerjakan untuk panitia peringatan Kurt Schwitters, Niedersachen, Jerman.




AYO

Adakah yang lebih tobat
dibanding air mata
adakah yang lebih mengucap
dibanding airmata
adakah yang lebih nyata
adakah yang lebih hakekat
dibanding airmata
adakah yang lebih lembut
adakah yang lebih dahsyat
dibanding airmata
para pemuda yang
melimpah di jalan jalan
itulah airmata
samudera puluhan tahun derita
yang dierami ayahbunda mereka
dan diemban ratusan juta
mulut luka yang terpaksa
mengatup diam
kini airmata
lantang menderam
meski muka kalian
takkan dapat selamat
di hadapan arwah sejarah
ayo
masih ada sedikit saat
untuk membasuh
pada dalam dan luas
airmata ini
ayo
jangan bandel
jangan nekat pada hakekat
jangan kalian simbahkan
gas airmata pada lautan airmata
malah tambah merebak
jangan letupkan peluru
logam akan menangis
dan tenggelam
dikedalaman airmata
jangan gunakan pentungan
mana ada hikmah
mampat
karena pentungan
para muda yang raib nyawa
karena tembakan
yang pecah kepala
sebab pentungan
memang tak lagi mungkin
jadi sarjana atau apa saia
namun
mereka telah
nyempurnakan
bakat gemilang
sebagai airmata
yang kini dan kelak
selalu dibilang
bagi perjalanan bangsa





BAYANGKAN
untuk Salim Said

direguknya
wiski
direguk
direguknya
bayangkan kalau tak ada wiski di bumi
sungai tak mengalir dalam aortaku katanya
di luar wiski
di halaman
anak-anak bermain
bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi
aku kan lupa bagaimana menangis katanya
direguk
direguk
direguknya wiski
sambil mereguk tangis
lalu diambilnya pistol dari laci
bayangkan kalau aku tak mati mati katanya
dan ditembaknya kepala sendiri
bayangkan
1977




JEMBATAN

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu !
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita ?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air




KUCING

ngiau!  Kucing dalam  darah dia menderas
lewat  dia  mengalir  ngilu  ngiau  dia  ber
gegas  lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia  besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan  hiena  bukan leopar  dia
macam kucing bukan kucing  tapi   kucing
ngiau dia lapar dia  merambah  rimba  af
rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung  dia mengerang jangan beri
daging dia tak  mau daging Jesus jangan
beri  roti  dia  tak   mau   roti   ngiau   ku
cing   meronta  dalam  darahku  meraung
merambah  barah  darahku  dia lapar 0 a
langkah  lapar   ngiau   berapa  juta  hari
dia  tak  makan  berapa  ribu  waktu  dia
tak  kenyang  berapa juta lapar lapar ku
cingku  berapa  abad  dia mencari menca
kar  menunggu  tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang  dia  meraung
mencariMu  dia   lapar   jangan   beri  da
ging   jangan   beri  nasi  tuhan  mencipta
nya  tanpa  setahuku  dan  kini  dia  minta
tuhan  sejemput  saja  untuk tenang seha
ri  untuk  kenyang  sewaktu untuk tenang




LA NOCHE DE LAS PALABRAS
(EL DIARIO DE MEDELLIN)

Di cafe jalanan Noventa Y Sieta, Medellin, Columbia
kami mengepung bulan
dan mereka yang mendengarkan puisi kami
mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka
berkomplot dengan anggur daun cerbeza
bersekongkol dengan gadisgadis
memancing bulan dengan keluasan dada
Musim panas
Menjulang di Medelin
menampilkan sutera
di keharibaan malam cuaca
ratusan para lilin
menyandar di pundak malam
mengucap
menyebutnyebut cahaya
sambil mencoba
memahami takdir di wajah-wajah usia
kami para penyair
meneruskan zikir kami
-palabras palabras palabras palabras
-
–kata kata kata kata –
semakin kental mengucap
cahaya pun memadat
sampai kami bisa buat
sesuka kami atas padat cahaya
lantas bulan kesurupan
kesadaran kami meninggi
bulan turun pada kami
dan kami mengatasi bulan
sampailah kami pada kerajaan kata-kata
jika kami membilang ayah
ia juga ayah kata-kata
jika kami menyebut hari
juga harinya kata-kata
jika kami mengucap diri
pastilah juga diri kata kata
Di cafe jalanan Medellin
purnama jatuh
kata-kata menjadi kami
kami menjadi kata kata




LUKA

ha ha




MANTERA

lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku




NGIAU

Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa
panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar
tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan.
Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang
yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal
Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tagu jentara
aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan
menanamkan gigi-gigi sepi mereka akan ragu menetapkan yang
mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana
makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang
mana surga.




O

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O…




TANAH AIR MATA

Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
(1991)




TAPI

aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah !




BATU

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu janun
batu bisu
kaukah itu
                teka
                        teki
yang
tak menepati janji ?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh.  Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
sedang lambai tak sampai.  Kau tahu
 
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
                        teka
                teki
                yang
tak menepati
                janji ?




JEMBATAN
 
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu !
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita ?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.




GAJAH DAN SEMUT

tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut
tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh
perjalanan
kalbu
1976-1979




IDUL FITRI

Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia-sia
Telah kulaksanakan puasa ramdhanku,
      telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nunu Ka'bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku
Aku bilang: Tardji rindu yang kau wudhukan setiap malam Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang Namun si
bandel Tardji ini sekali merindu Takkan pernah melupa Takkan kulupa janjiNya Bagi yang merindu insya-Allah kan
ada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesiasiaan pada usia lama yang lalai
        berlupa
O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut di jalan lurus Jangan kau depakkan lagi aku ke trotoir tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kau biarkan aku menenggak marak cahayaMu di ujung usia
O usia lalai yang berkepanjangan
yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus Tuhan jangan Kau depakkan lagi aku di trotoir tempat dulu aku
menenggak arak di warung dunia
Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illallah aku pakai sepatu siratal mustaqiem akupun lurus menuju lapangan tempat shlat ied
Aku bawa masjid dalam diriku Kuhamparkan di lapangan Kutegakkan shalat dan kurayakan kelahiran kembali di sana




PARA PEMINUM

di lereng lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
--kami takkan karam
dalam lautan bulan--
mereka nyanyi nyai
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereke berhasil memetik bulan
mereka mneyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan




WALAU

walau penyair besar
takkan sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
1979





SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
1973




  TRAGEDI WINKA & SIHKA
 Oleh: Sutardji Calzoum Bachri


 kawin
         kawin
                  kawin
                          kawin
                                        kawin
                                  ka
                              win
                           ka
                      win
                  ka
              win
          ka
    win
ka
    winka
            winka
                    winka
                            sihka
                                    sihka
                                            sihka
                                                    sih
                                                ka
                                            sih
                                        ka
                                    sih
                                ka
                            sih
                        ka
                    sih
                ka
                    sih
                        sih
                            sih
                                sih
                                    sih
                                        sih
                                            ka
                                                Ku 

Dari berbagai sumber.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kumpulan Puisi Sutardji Calzoum Bachri"

Posting Komentar