Kumpulan Puisi Taufik Wijaya



Kumpulan Puisi Taufik Wijaya - Taufik Wijaya lahir di Palembang pada 25 Desember 1970. Istri, Dian Maulina. Anak, Bachtiar Syahri Wijaya (1997) dan Abdurachman Che Wijaya (2002-2014). Selain berkesenian juga seorang jurnalis. Beberapa naskah teater yang ia kerjakan Ikan Asin 50 Tahun di Dalam Kaos Kaki (Studio Oncor Jakarta, 1995), Muria, Sandal Theklek Puncat di Dada (PMKRI Jakarta, 1997), Sepak bola Betapa Indahnya (Apek Palembang, 2002), dan tim dialog gagasan bersama Djohan Hanafiah dan B. Trisman atas Prasasti 13 Abad Kebangkitan Sriwijaya karya Erwan Suryanegara 2008). Salah satu penyair Indonesia yang mengikuti pertemuan Penyair International (DKJ-DKSS, 2006). Masuk menjadi salah satu penyair Indonesia sejak masa penyair Hamzah Fansuri hingga saat ini, dalam buku Antologi de Poeticas, kumpulan puisi penyair Portugal, Indonesia, dan Malaysia2009. Menerima anugerah Batanghari Sembilan 2010 dalam bidang sastra (DKSS). Menjadi peserta Pertemuan Penyair Nusantara V di Palembang (2011, Dewan Kesenian Sumatera Selatan), dan salah satu puisinya yang masuk dalam antologi "Akulah Musi", dijadikan teks dasar buat judul buku tersebut, yakni "Oi, Melayu, Akulah Sungai Musi".

Karya Tunggal
·         Krisis di Kamar Mandi (kumpulan sajak, 1995)
·         Dari Pesan Nyonya (kumpulan sajak, 1996)
·         Juaro (novel, 2005),
·         1001 Tukang Becak Mengejarku (kumpulan sajak, 2006)
·         Buntung (novel, 2007)
·         Aku Dimarahi Istri (kumpulan sajak digital, 2009, www.sajakdigital.blogspot.com)
·         Cagak (novel, 2012)


Karya Bersama
·         Mimbar Penyair Abad 21 (Dewan Kesenian Jakarta, 1995)
·         Cakrawala Sastra Indonesia 2005 (DKJ, 2006)
·         Kumpulan Puisi Penyair International (DKJ-DKSS, 2006)
·         Antologi de Poeticas (kumpulan puisi penyair Portugal, Indonesia, dan Malaysia, 2009)
·         Akulah Musi (kumpulan puisi penyair Nusantara, Dewan Kesenian Sumatra Selatan, 2011)



MENANAM DAUN RAMBUTAN

Saat lahir ada lima pohon rambutan, dua pohon cempedak, dua pohon kelapa dan satu pohon belimbing, di halaman belakang rumah. Pulang sekolah aku manjat pohon rambutan. Masih terasa getah, gigitan semut dan aromanya. Dan pagi tadi, aku menanam daun rambutan di halaman depan rumah. Bukan tumbuhnya, tapi berharap lahir seperti dulu.
2014 




KAU KUAT, BATMAN DAN SUPERMAN TIDAK SIA-SIA

Tidak sia-sia kau melukis Superman dan Batman. Kau kuat menjaga cinta Tuhan. Membunuh rasa sakit hingga ke sumsum tulang, tiap detik yang menghantam jantung kami. Lukislah terus Superman dan Batman, meskipun kini hanya di dinding pandanganmu. Kau kuat menjaga kasih Tuhan. Ingatlah para temanmu menunggu di luar, mengajak bersama menghadapi kedewasaan; melabrak para penjahat hutan yang membuat tubuhmu dan teman-temanmu melemah. Lukislah terus Superman dan Batman, dan kau tetap Indonesia meskipun tidak mengenal Si Mata Empat atau Si Pahit Lidah. Sebab kau kuat menjaga cinta, bukan perkasa membangun permusuhan. Teruslah melukis Superman dan Batman, aku tunggu anak-anakmu yang juga kuat.
2014 




TERLUKA SEBAB TAK MAU TERLUKA

Terluka sebab tak mau terluka. Pedih mengiris seperti sesak napasmu selama sembilan jam. Ingin selalu memijit pahamu dan mencium keningmu yang terus bekeringat. Dan berharap kau memaafkan. Subuh itu aku tertidur.


Terluka sebab kau bukan hanya milikku. Seperti aku bukan milikku. Ibu! Ibu! Ibu! Bapak!

Terluka sebab sepi melukis kamar bersuhu 16 derajat celcius. Di balik selimut merah dan coklat, serta tumpukan bantal, kau bercerta soal alien berulangkali, yang sesungguhnya malaikatmu. Aku yang sombong, buta membaca, gemetar mencuci selimut dan sarung bantal itu, malam ini.
Ibu! Ibu! Ibu! Bapak!

Masuklah. Pintu terbuka. Masuklah. Kami hanya punya air mata. Ibu! Ibu! Ibu! Bapak!

Terluka sebab rumah adalah aroma ketiakmu, ceritamu, bukumu, televisimu, komputermu, dan tumpukan t-shirt putihmu.

Ibu! Ibu! Ibu! Bapak! Muntahkanlah semua obat yang menjaga darahmu. Biarlah luka ini mempertemukan kita di surga.


2014




RUMAH

Diberikan bunga terindah di rumah, tumbuh bertahun-tahun. Tidak pernah pulang. Pikiran dan rasa ditipu jalan dan dirampas pasar. Rumah semacam persinggahan buat bermain. Lalu bunga disiram air mata kekecewaan dan kemarahan. Tapi tidak pernah pulang. Bertahun-tahun.

Saat bunga melayu, aku pun belajar pulang. Pelan-pelan membaca kamar mandi, dapur, dan kamar tidur. Tuhan pun dibicarakan, termasuk doa-doa yang disenandungkan saat dilahirkan.

Terlambat. Bunga terus melayu, dan mandi air mata tidak mampu merontokkan cintaNya. Melepaskan bunga kembali ke tamanNya.

Berat dan terlambat. Serasa puluhan abad memukul batu.


Kini aku menunggu bunga terindah kembali tumbuh di rumah. Berharap tidak melayu sebelum bunga menjadi pohon menghijaukan dunia.


TamanNya tidak menipu.


2014




BAPAK TIDAK PERLU LAGI MENGGERGAJI BATU

Tubuhmu menutupi rasa dan pikirku. Pagi ini, belum mampu aku bercerita lagi tentang keluarga melacak peradaban manusia di segala benua. Bagimu, semua bermula bersih dari setitik air seni di tubuh. Islam yang kudus. Katamu, perjalanan dimulai dari membersihkan batu yang berjatuhan di pundakku. Batu yang jatuh karena Tuhan, berharap membangunkan jiwa yang berkabut.

Kabut itu menebal. Kau memilih menjadi anak untuk dikenang. Aku menangis seperti sungai.

Bisikmu: Allah percaya Bapak mampu membersihkan batu itu, setelah itu hijrahlah. Bawa aku melacak peradaban manusia di segala benua. Kenanglah aku buat membangun kedamaian bersama ibu, kakak, dan juga adikku yang menunggu. Bapak tidak perlu lagi menggergaji batu, merebus batu atau memukul batu. Itu semua sudah kubacakan.

Amin, jawabku. Amin, jawabku. Amin, jawabku. Amin, jawabku. Amin, jawabku.


2014




KAU MANDU DAN BERMAIN, TIDAK PERNAH TUA

Setelah dingin yang mengigit, kini hangat yang sepi.
Kau mandi dan bermain, tidak pernah tua.
Terus tertawa menunggu kami.

Luka yang sebentar dipermainkan waktu yang gemetar.

Tidak mampu tersenyum menikmati bintang kuning yang kau lukis.
Hanya, kasih, kau mandi dan bermain, tidak pernah tua.

Disadari cinta harus berjalan,
Meskipun bunga yang kita tanam, menyusulmu malam ini.
Tertawa dan menari menunggu kami.

Bintang kuning yang kau lukis abadi,
Tempat kau mandi dan bermain, tidak pernah tua.

2014


Dari berbagai sumber.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kumpulan Puisi Taufik Wijaya"

Posting Komentar