Sinopsis Menggelinding 1 Karya Pramoedya Ananta Toer



Menggelinding 1 karya Pramoedya Ananta Toer diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada tahun 2004.

Menggelinding 1 adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan awal Pramoedya Ananta Toer, termasuk esai, sajak, cerita, dan tulisan lain yang dimuat di berbagai majalah dan bulletin, seperti Mimbar Penyiaran DUTA, Mimbar Indonesia, majalah Pemuda, dan majalah Sadar. Buku ini menggambarkan perjalanan seorang penulis dalam mencari suara dan pemikirannya sendiri, serta kilas balik proses kepengarangan Pram yang panjang selama rentang 1947-1956. 

Angin pagi Jakarta menyeruak masuk lewat jendela rumah kontrakan kecil di pinggir kota. Dari bilik sempit beraroma lembap dan asap rokok basi, seorang lelaki paruh baya bernama Ranto duduk termenung di atas ranjang usang. Tubuhnya kurus, kulitnya legam, dan sorot matanya—meski menyimpan kelelahan panjang—tetap menyala. Ia bukan siapa-siapa, hanya seorang buruh lepas yang tak lagi muda, hidup dari kerja seadanya, dan memanggul beban hidup seperti karung beras di punggungnya.

Namun pagi itu ia merasa hidupnya hendak berubah. Ada sesuatu yang menggelinding perlahan, seperti roda yang akhirnya menemukan jalannya.

Ranto bukan orang yang biasa merenung. Hidup membuatnya keras dan praktis. Tapi sejak keluar dari penjara beberapa bulan lalu, waktu jadi lebih lambat. Ia tak lagi sekadar bertahan hidup. Ada rasa perih yang tak kunjung sembuh: tentang masa muda yang ia korbankan, tentang ideologi yang membawanya ke penjara, dan tentang pengkhianatan yang datang dari orang-orang terdekatnya.

Pada tahun-tahun penuh gejolak itu, Ranto hanyalah satu dari sekian banyak pemuda yang terseret dalam arus perubahan. Ia pernah menjadi aktivis, percaya bahwa dunia bisa diperbaiki lewat idealisme. Ia mengikuti gerakan rakyat, menyebarkan pamflet, berbicara di rapat-rapat, mengutip Marx dengan penuh semangat. Tapi idealisme yang ia peluk erat, suatu hari menjelma jerat.

Saat penguasa berubah dan langit politik berganti warna, Ranto menjadi musuh negara. Ia ditangkap tanpa dakwaan jelas. Disiksa. Dilempar ke balik jeruji besi selama bertahun-tahun. Dunia di luar bergerak tanpa dirinya. Ketika akhirnya ia bebas, Jakarta telah berubah jadi kota yang asing: penuh gedung tinggi, kendaraan menderu, dan wajah-wajah yang tak lagi mengenal namanya.

Ia mencoba bekerja sebagai tukang parkir. Pernah juga jadi buruh bongkar muat di pelabuhan. Tapi tiap kali orang tahu latar belakangnya, pekerjaan itu sirna. Stigma bekas tahanan politik melekat erat. Tak ada tempat aman baginya, bahkan di antara sesama rakyat kecil.

Di tengah kekacauan hidupnya, satu hal yang masih bisa ia pegang adalah tulisannya. Ranto senang mencatat. Di buku kecil kumal yang selalu ia bawa, ia menulis tentang hari-harinya: tentang kegagalan, harapan, dan kesedihan yang tak pernah selesai. Tulisannya bukan untuk orang lain. Itu semacam dialog dengan dirinya sendiri—satu-satunya cara untuk tetap waras.

Suatu malam, dalam percakapan sunyi dengan seorang kenalan lama, Ranto ditawari ikut menulis di sebuah buletin bawah tanah. Mereka menyebutnya “Gerak.” Isinya bukan propaganda politik, melainkan curahan hati mereka yang terpinggirkan: mantan aktivis, eksil, kaum miskin kota. Buletin itu kecil, tapi punya nyawa. Ranto setuju, bukan demi uang—tak ada uang di sana—melainkan karena ia merasa hidupnya kembali punya arti.

Menulis di “Gerak” membuatnya kembali menemukan suara. Ia mulai merangkai cerita tentang hidupnya, bukan sebagai narasi penderitaan, tapi sebagai kesaksian. Ia menulis tentang penjara, tentang sel-sel pengap, tentang teman-temannya yang hilang satu per satu, dan tentang keyakinan yang perlahan luntur. Tapi dari semua itu, yang paling kuat justru tulisan-tulisannya tentang harapan. Bahwa meski dunia telah membungkam mereka, mereka masih bisa menulis, masih bisa mengingat.

Tulisan Ranto mulai dikenal di kalangan terbatas. Beberapa mahasiswa membacanya, sebagian aktivis mulai mengutipnya. Tapi seperti roda yang berputar, perhatian bisa jadi pedang bermata dua. Suatu hari, rumah kontrakan Ranto digerebek. Bukan oleh polisi, tapi oleh sekelompok pria tak dikenal. Mereka memukulinya, menyobek-nyobek tulisannya, dan memperingatkan agar ia “berhenti berkhayal.”

Meski babak belur, Ranto tidak menyerah. Ia tahu inilah harga dari bersuara. Ia pindah tempat tinggal, lebih jauh dari pusat kota. Kali ini ia tinggal bersama seorang janda tua bernama Bu Tarti, yang tak pernah bertanya terlalu banyak. “Yang penting kamu bisa bantu bersih-bersih rumah dan beliin sayur tiap pagi,” katanya ringan. Ranto setuju. Ia menemukan semacam ketenangan dalam rutinitas kecil: menyapu halaman, menimba air, menyeduh teh.

Di sela kesederhanaan itu, ia tetap menulis. Tapi sekarang lebih hati-hati. Ia menyamarkan nama, mengubah tempat, dan menyisipkan fiksi agar tak lagi dianggap subversif. Namun esensinya tetap: tentang orang-orang yang terpinggirkan, yang dilupakan sejarah, tapi masih hidup dan bertahan.

Suatu sore, ia mendapat undangan dari seorang mahasiswa pascasarjana yang membaca karyanya di “Gerak.” Namanya Aris, muda dan cerdas, penuh semangat seperti Ranto dulu. Mereka bertemu di sebuah warung kopi kecil. Aris ingin membuat dokumentasi sejarah lisan dari para mantan tahanan politik. “Kami ingin mendengar langsung, dari suara kalian sendiri, bukan dari buku pelajaran yang memalsukan segalanya,” katanya.

Ranto tertawa kecil. “Apa gunanya? Tidak ada yang peduli lagi. Mereka hanya ingin melupakan.”

“Tapi kami ingin mengingat,” jawab Aris. Dan di situlah, untuk pertama kalinya, Ranto merasa tak sepenuhnya sendiri.

Pertemuan itu membuka bab baru dalam hidupnya. Ia mulai diundang ke diskusi-diskusi kecil, kadang menjadi narasumber. Bukan untuk mempropagandakan ideologi lama, melainkan untuk menceritakan kemanusiaan. Ia bicara tentang bagaimana ideologi bisa menggilas manusia, bagaimana sejarah dibentuk oleh para pemenang, dan bagaimana suara-suara kecil seperti miliknya harus tetap menggelinding—meski perlahan.

Namun roda sejarah tak berhenti berputar. Dalam satu diskusi yang lebih terbuka, seorang aparat intel menyelinap sebagai peserta. Tak lama setelah itu, buletin “Gerak” dibredel. Beberapa rekan Ranto ditangkap. Ia sendiri selamat karena kebetulan tak hadir malam itu.

Ranto kembali menyendiri. Ia berhenti menulis untuk publik. Tapi ia menulis untuk dirinya sendiri—semacam memoar diam-diam yang ia sembunyikan di balik kasur. Ia tahu, suatu hari mungkin tulisannya akan ditemukan, dan jika itu terjadi, biarlah jadi saksi bahwa ia pernah ada, pernah hidup, dan pernah percaya pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Dalam keheningan rumah Bu Tarti, di malam yang gelap dan hujan deras, Ranto duduk menatap jendela. Angin membawa suara rintik dan aroma tanah basah. Ia merasa hidupnya memang seperti roda yang menggelinding. Kadang cepat, kadang lambat. Kadang menabrak batu, kadang kehilangan arah. Tapi selama masih bisa bergerak, ia belum sepenuhnya kalah.

Dan begitulah ia hidup—bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai korban—melainkan sebagai manusia yang mencoba berdamai dengan sejarahnya sendiri. Tak ada akhir gemilang. Tak ada kemenangan besar. Hanya perjalanan sunyi, yang tetap menggelinding, sejauh napas mengizinkan.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sinopsis Menggelinding 1 Karya Pramoedya Ananta Toer"

Posting Komentar