Sinopsis Novel Jodoh Monica Karya Alberthiene Endah



Novel Jodoh Monica karya Alberthiene Endah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003

Di balik dinding kaca kantor iklan Bellezie yang modern dan ramai, Monica duduk di ruangannya yang luas namun sunyi. Di luar, tim kreatif tertawa riuh membicarakan proyek iklan sabun terbaru, tapi ia hanya menatap kosong layar komputernya. Umurnya sudah menginjak tiga puluh empat, dan bagi banyak orang, hidupnya nyaris sempurna. Posisi penting di perusahaan, apartemen sendiri di tengah kota, pakaian modis, tabungan yang mapan. Tapi setiap malam, ketika dunia mulai diam dan hanya suara detak jam yang terdengar, rasa hampa itu kembali datang menyelinap.

Bukan karena Monica membenci kesendiriannya. Tapi karena semua orang di sekitarnya, dari keluarga sampai rekan kerja, selalu memandangnya seolah ia terlambat mengejar kereta hidup. "Kapan nikah?" telah menjadi pertanyaan yang melekat, seakan menjadi penilaian atas keberhasilannya sebagai perempuan.

Ibunya adalah sumber tekanan yang halus tapi intens. Setiap kali Monica pulang ke rumah orang tua di Lebak Bulus, ibunya akan menyelipkan doa-doa dalam percakapan: semoga Monica segera bertemu jodoh. Kakak-kakaknya sudah menikah, bahkan yang bungsu sudah punya dua anak. Monica seolah menjadi proyek yang belum selesai, dan itu menyakitkan. Tapi lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan bahwa ia sendiri pun mulai ragu: apakah ia memang tidak pantas dicintai?

Sampai suatu hari, takdir mengetuk lewat seorang pria bernama Mike Santosa.

Mike adalah klien baru. Seorang pengusaha cokelat yang sedang membesarkan brand Snakokids. Ia datang ke Bellezie untuk meminta ide kampanye kreatif. Awalnya Monica bersikap profesional, biasa saja. Tapi ada sesuatu pada cara Mike menatapnya, mendengarkannya berbicara, bahkan menanggapi leluconnya yang garing—yang membuat jantung Monica berdegup sedikit lebih cepat.

Mike tidak hanya tampan dan sukses. Ia juga perhatian, tenang, dan tahu cara membuat Monica merasa istimewa. Mereka mulai sering bertemu, bukan hanya dalam urusan pekerjaan. Secangkir kopi setelah rapat, makan malam sepulang kerja, bahkan jalan santai di taman kota. Mike mendengarkan kisah hidup Monica dengan ketertarikan tulus, dan Monica—untuk pertama kalinya dalam waktu lama—merasa dilihat sebagai seorang perempuan, bukan sekadar profesional karier.

Namun seperti semua kisah cinta, ujian datang lebih cepat dari dugaan.

Suatu pagi, berita mengejutkan tersebar: produk Snakokids dituduh mengandung bahan berbahaya. Publik panik, saham turun, reputasi terancam. Mike kelabakan, dan tanpa pikir panjang, ia datang ke Monica, meminta bantuannya secara pribadi untuk menyelamatkan citra perusahaannya. Tapi Bellezie menolak terlibat—terlalu banyak risiko hukum dan konflik kepentingan.

Monica tahu bahwa sebagai pemimpin divisi kreatif, ia tak boleh melibatkan perusahaan. Tapi hatinya menolak diam. Ia memutuskan membantu Mike secara diam-diam, memberi masukan, bahkan menyusun narasi penyelamatan krisis yang kelak terbukti sangat efektif. Citra Snakokids perlahan pulih. Mike kembali bangkit. Tapi hubungan mereka justru mulai merenggang.

Ada sesuatu dalam sikap Mike yang berubah. Dulu hangat, kini agak canggung. Dulu penuh perhatian, kini sering sibuk dan sulit ditemui. Monica mulai bertanya-tanya: apakah Mike mendekatinya hanya untuk kepentingan bisnis?

Keraguan itu makin besar saat Kasandra, sahabatnya sejak SMA, secara blak-blakan menyuarakan kekhawatiran. “Mon, kamu yakin dia beneran suka kamu? Bukan karena kamu punya akses dan pengaruh?”

Dan Arya—rekan kerjanya di Bellezie yang selama ini selalu ada dalam diam—tiba-tiba memberanikan diri bicara. “Aku tahu aku bukan siapa-siapa di matamu, tapi aku nggak tahan lihat kamu disakiti orang yang salah.”

Monica terdiam. Di satu sisi, ia ingin percaya pada Mike. Tapi di sisi lain, batinnya tahu: cinta sejati seharusnya membawa ketenangan, bukan kegelisahan.

Pada suatu sore yang muram, Monica mengajak Mike bicara serius. Mereka duduk di sebuah kafe kecil yang dulu jadi tempat kencan pertama mereka. Monica menatap mata pria itu, mencari jejak rasa yang dulu membuatnya jatuh cinta. Tapi yang ia temukan hanyalah kebingungan dan kegamangan.

"Aku butuh tahu," katanya pelan, "apakah kamu pernah benar-benar menyukaiku? Atau semua ini hanya bagian dari rencana besar menyelamatkan bisnismu?"

Mike diam cukup lama. Akhirnya ia berkata, "Monica, kamu perempuan luar biasa. Tapi mungkin aku memang belum siap untuk hubungan yang seperti ini. Aku terlalu fokus membangun apa yang kupunya, dan... aku tak ingin menyakitimu lebih jauh."

Kalimat itu terasa seperti cambuk. Monica pulang malam itu dengan hati yang retak, tapi untuk pertama kalinya, ia tak menangis.

Ia duduk di balkon apartemennya, memandangi langit Jakarta yang kelabu. Angin malam menyapu rambutnya, dan ia membiarkan dirinya merasa kosong—bukan sebagai kegagalan, tapi sebagai jeda. Untuk memahami, menerima, lalu melepaskan.

Hari-hari berikutnya terasa berat, tapi pelan-pelan, Monica belajar berdamai. Ia kembali fokus pada pekerjaannya, lebih banyak bercanda dengan timnya, dan lebih sering menelepon ibunya hanya untuk sekadar bertanya kabar. Ia bahkan mulai memperhatikan Arya, pria sederhana yang selama ini hanya jadi bayangan di balik rutinitas.

Arya tidak punya mobil mewah atau perusahaan besar. Tapi Arya punya sesuatu yang selama ini tidak pernah ia sadari penting: kesetiaan diam-diam. Ia tidak pernah mencoba mengesankan Monica dengan kata-kata besar. Ia hanya hadir. Ketika Monica sakit, Arya yang mengantarnya ke dokter. Ketika Monica kehilangan motivasi, Arya yang menyelipkan secarik kertas bertuliskan, “Jangan lupa, kamu hebat. Tapi kamu juga manusia.”

Hubungan mereka tidak meledak-ledak. Tidak ada kejutan romantis di bandara atau pengakuan cinta di tengah hujan. Yang ada hanyalah percakapan yang jujur, tawa kecil yang nyaman, dan kehadiran yang konstan. Dan justru dari sanalah, cinta itu mulai tumbuh. Bukan dari gemerlap, tapi dari keteduhan.

Setahun berlalu sejak perpisahan dengan Mike. Monica kini berdiri di pelaminan sederhana, dikelilingi bunga-bunga putih dan tawa sahabat-sahabatnya. Di sampingnya, Arya menggenggam tangannya erat. Ibunya menangis pelan di bangku depan. Tapi kali ini bukan karena cemas, melainkan karena lega.

Saat malam tiba, dan Monica kembali menatap langit dari balkon apartemennya—kini bukan lagi sendirian—ia tersenyum. Ia tahu, jodoh bukan soal siapa yang datang pertama, atau siapa yang paling mencolok. Jodoh adalah tentang siapa yang tetap tinggal, bahkan saat semuanya runtuh.

Dan cinta, ternyata, tidak harus selalu berawal dari percikan besar. Kadang, cinta hanya butuh ruang untuk tumbuh... di hati yang sudah siap menerima.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sinopsis Novel Jodoh Monica Karya Alberthiene Endah"

Posting Komentar