Novel Supernova: Gelombang karya Dee Lestari diterbitkan pertama kali pada tahun 2014 oleh Bentang Pustaka.
Di tengah rentang dunia yang tak pernah kehabisan badai, seorang pemuda dari tepian Sumatra tumbuh dengan jiwa yang lebih gelap dari malam dan lebih liar dari ombak yang menghantam pantai pulau itu. Namanya Bodhi, seorang anak yang lahir tanpa banyak jejak untuk dikenang kecuali ketakutannya yang tak pernah berhenti berdebar. Di masa kecilnya, dunia bukan tempat bermain; dunia adalah labirin yang terus membuka ruangan baru berisi ancaman yang tidak dipahami. Setiap bayangan adalah predator, setiap bunyi adalah isyarat bahaya. Gelombang pertama dalam hidupnya datang bukan dari laut, melainkan dari trauma yang tak diberi nama.
Hidup membawanya ke Banda Aceh, di mana seorang lelaki tua mengasuhnya dengan kesabaran yang lebih luas daripada pantai tempat mereka tinggal. Tetapi bahkan keteduhan itu tidak mampu meredam badai dalam diri Bodhi. Ketika tsunami 2004 datang menyapu kota, dunia Bodhi yang rapuh hancur dalam sekejap. Dalam kekacauan itu, ia melihat tubuh-tubuh yang ditelan ombak, suara yang hilang, dan cahaya yang padam. Dari reruntuhan tragedi itu, ia belajar melihat bahwa hidup tidak pernah benar-benar diam — ia selalu bergerak, menghantam, menyapu, dan memaksa manusia untuk berubah bentuk.
Kisah Bodhi bergeser ke Jakarta, ke kota yang bergemuruh seperti mesin raksasa yang tak pernah padam. Di sela hiruk pikuknya, ia menemukan pelarian dalam seni tato. Ia menjadi pengelana yang menandai kulit orang lain dengan cerita—padahal ia sendiri tak punya cukup bahasa untuk menjelaskan cerita di dalam dirinya. Di antara dentuman musik klub dan malam-malam panjang yang tak mengenal hening, ia menyadari bahwa tubuhnya menyimpan kelebihan yang tak lazim: reflek-reflek yang liar, sense yang terlalu tajam, kecemasan yang tidak masuk akal, dan ketangkasan yang tidak dimiliki manusia biasa.
Setiap kali ia berlari dari ketakutannya, tubuhnya berubah menjadi mesin yang tak pernah diminta—cepat, responsif, nyaris seperti makhluk lain. Tetapi ketangkasan itu bukannya hadiah; ia adalah kutukan yang membuatnya semakin terasing. Ketika hidup terasa terlalu sempit, Bodhi memilih pergi, mengikuti dorongan naluriah yang tidak ia pahami. Ia menyeberang ke Thailand, lalu melintasi Myanmar dan India seperti seorang buronan tanpa nama yang dikejar oleh sesuatu yang tidak pernah terlihat.
Di dalam perjalanan panjang itu, Bodhi menjumpai dunia yang lebih sunyi. Myanmar memberinya pelarian dari suara bising kota, tetapi juga memperlihatkan betapa kecilnya manusia dibandingkan sejarah yang lewat di depan mata. India, dengan segala kekacauan dan keagungan spiritualnya, menjadi tempat ia hampir larut dalam ketidakberdayaan. Namun justru di sana ia menemukan sebuah arah: lembah-lembah Nepal yang terjal, di mana gunung-gunung berdiri seperti raksasa purba yang mengawasi manusia tanpa pernah berkedip.
Gelombang Kedua: Himalaya dan Sunyi yang Menyala
Nepal menyambut Bodhi bukan dengan kehangatan, tetapi dengan dingin yang menggigiti tulang. Di pegunungan itulah ia bertemu para biksu yang melihat sesuatu yang berbeda dalam dirinya: kegelisahan yang begitu dalam, potensi yang begitu kasar. Mereka tak mencoba memperbaikinya, mereka hanya menunjukkan bagaimana menghadapi badai yang tak dapat dihentikan — dengan duduk diam di tengahnya.
Meditasi menjadi pintu yang perlahan membuka sebagian rahasia tubuh dan mentalnya. Namun meditasinya bukan kedamaian; meditasinya adalah peperangan. Di balik kelopak mata yang terpejam, ia bergulat dengan ketakutan purba, bayangan-bayangan mengancam, dan potongan masa lalu yang menjerit. Tetapi dari peperangan itu muncul kilatan-kilatan aneh: visual tentang struktur-struktur geometris, aliran energi, dan pola seperti gelombang yang menghubungkan segala sesuatu.
Para biksu memberinya nama baru. Sebuah awal. Sebuah kelahiran kedua.
Tetapi dunia luar tidak membiarkan seseorang bersembunyi terlalu lama. Sebuah organisasi bernama GLO — kelompok yang bergerak dalam sains eksperimental — mendengar laporan tentang kemampuan fisik Bodhi yang luar biasa. Mereka melihatnya bukan sebagai manusia, tetapi sebagai fenomena biologis yang harus ditangkap, diuji, dan dipahami. Bodhi kembali menjadi buruan, tidak hanya oleh dunia luar, tetapi juga oleh masa lalu yang tak pernah ia bereskan.
Gelombang Ketiga: Bali, Cahaya, dan Tanda yang Menghubungkan
Perjalanan Bodhi membawanya ke Bali. Pulaunya indah, tetapi bukan keindahan turistik yang membentuk jalan Bodhi. Bali adalah tempat takdir mempertemukan jalur-jalur yang sebelumnya berlari sendiri-sendiri. Di sana ia bertemu Suki, seorang peretas genius dengan kecerdasan tajam seperti kilatan laser. Dalam dirinya, Bodhi menemukan sesuatu yang belum pernah ia miliki: seseorang yang memahami gelapnya tanpa menuntut penjelasan.
Di sisi lain ada Gio, pemuda yang terseret takdir besar tanpa ia ketahui. Ada Eleuth, sosok misterius yang memegang rahasia yang lebih besar dari apa yang Bodhi atau siapa pun duga. Ada hubungan yang tak kasatmata antara mereka semua—sebuah frekuensi yang sama, seperti gelombang yang berasal dari pusat yang satu.
Dalam pertemuan mereka, kisah Supernova yang lebih luas mulai menampakkan bentuknya. Bodhi bukan lagi sekadar anak yang tersesat; ia adalah fragmen dari teka-teki besar yang mencakup sains, spiritualitas, dan evolusi kesadaran manusia.
Bali menjadi panggung bagi konfrontasi besar: antara masa lalu Bodhi dan dirinya yang sekarang, antara tubuh manusia dan kemampuan yang melampaui logika, antara kebebasan dan ancaman organisasi yang memburunya. GLO menekan dari satu sisi, takdir memanggil dari sisi lain.
Bodhi harus memilih apakah ia ingin terus melarikan diri, atau akhirnya menghadapi kenyataan bahwa dirinya bukan kecelakaan, melainkan bagian penting dari gerakan besar yang melibatkan gelombang pengetahuan dan kesadaran baru.
Gelombang Keempat: Luka, Identitas, dan Pengungkapan
Di titik ini, cerita semakin sinematik: kejar-kejaran, penyamaran, penyusupan ke ruang-ruang rahasia, dan momen-momen hening saat langit Bali meneteskan cahaya keemasan. Namun inti cerita adalah perjalanan internal Bodhi.
Ia akhirnya memaksa dirinya menelusuri akar trauma masa kecil yang selalu ia hindari. Ingatan paling gelap—yang selalu hadir sebagai teror tanpa wujud—muncul seperti layar di tengah malam: suara ombak keras, tubuh-tubuh berguling, teriakan yang tak pernah selesai. Ia bukan hanya korban tragedi besar; ia adalah saksi yang terseret oleh narasi besar ke dalam lapisan realitas yang berbeda.
Ingatan itu menyingkap sebuah kebenaran bahwa kelebihannya bukan anomali acak. Tubuhnya memiliki kemampuan memproses dunia dengan cara tak biasa: persepsi sensorik yang hiperaktif, kemampuan refleks yang memintas jalur-jalur biologis umum, dan kecerdasan intuitif yang lahir dari trauma, bukan dari bakat.
Semua ini menjadikannya titik penting dalam penelitian tentang manusia yang berada di ambang evolusi berikutnya — inti dari proyek besar yang diburu GLO.
Gelombang Kelima: Terhubungnya Fragmen
Klimaks novel memunculkan panorama sinematik yang lebih besar. Langit malam Bali dipenuhi angin laut yang membawa aroma garam dan ancaman. Di bawahnya, Bodhi, Gio, Suki, dan Eleuth berdiri di tengah simpul takdir yang akhirnya menyatu.
Bodhi menyadari bahwa hidupnya tidak pernah benar-benar tercerai-berai. Semua tempat yang ia datangi, semua manusia yang ia temui, semua ketakutan dan kekagetan yang ia alami, ternyata adalah potongan dari gelombang yang sama—gelombang kosmik yang sedang tumbuh, yang mengikat mereka dalam jaringan tak terlihat.
Konflik dengan GLO mencapai titik di mana sains bertabrakan dengan spiritualitas, ketakutan bertemu keberanian, dan rahasia yang lama disimpan akhirnya terangkat. Tak semua jawaban muncul; sebagian tetap menggantung seperti cahaya redup yang menunggu disentuh.
Namun satu hal menjadi jelas: Bodhi tidak diciptakan untuk berlari selamanya.
Ia adalah gelombang itu sendiri.
Gelombang yang membawa luka, tetapi juga kemungkinan. Gelombang yang menghancurkan, tetapi juga mencipta bentuk baru. Gelombang yang tak dapat dihentikan, hanya bisa dipahami.
Penutup: Ombak Kembali ke Samudra
Novel berakhir dengan suasana melankolis sekaligus heroik. Bodhi berdiri di sebuah persimpangan baru—lebih utuh, lebih sadar, lebih kuat. Tapi ia juga tahu bahwa apa yang menantinya tidak kecil; ia hanya menyelesaikan satu bab dari kisah besar yang menghubungkannya dengan seluruh rangkaian Supernova.
Dalam ritme akhir cerita, pembaca ditinggalkan dengan rasa bahwa hidup bukan garis lurus, melainkan gelombang yang terus bergerak. Dan gelombang itu, entah berasal dari trauma, cinta, atau pengetahuan, selalu membawa manusia lebih jauh dari yang ia kira mampu.
Bodhi akhirnya mengerti: untuk memahami gelombang, manusia harus berani berdiri tepat di tengah hantamannya.
Dan ia pun melangkah.

0 Response to "Sinopsis Novel Supernova: Gelombang Karya Dee Lestari"
Posting Komentar