Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan diterbitkan pertama kali pada tahun 2014 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Novel ini berpusat pada perjalanan seorang laki-laki bernama Ajo Kawir, yang hidup di dunia pinggiran Indonesia pada era penuh kekerasan, kriminalitas kecil, dan kehidupan jalanan yang kasar. Ia tumbuh di lingkungan yang tidak memberi ruang bagi kelembutan maupun kerentanan; tubuh laki-laki, bagi dunia Ajo, adalah simbol keperkasaan, agresi, dan kemampuan untuk mengalahkan yang lain. Namun hidup Ajo justru ditandai oleh kondisi yang secara ironis membalik semua nilai itu.
Perjalanan Ajo dimulai ketika ia masih remaja. Ia dan temannya, Tokek, secara gegabah menyaksikan pemerkosaan terhadap seorang perempuan bisu bernama Merah Simbok oleh aparat. Peristiwa brutal itu mengguncang batin Ajo, menanamkan ketakutan, kemarahan, dan rasa bersalah yang melebihi pemahamannya tentang tubuh dan maskulinitas.
Dari trauma inilah lahir kondisi yang menjadi pusat konflik hidupnya: Ajo mengalami impotensi, bukan karena faktor fisik, tetapi akibat ketegangan psikologis yang membeku dari pengalaman kekerasan tersebut.
Di masyarakatnya — dunia para jagoan jalanan — ketidakmampuan itu berarti hilangnya harga diri. Ajo tumbuh dengan keyakinan bahwa satu-satunya cara untuk menormalkan dirinya adalah dengan terus menantang bahaya, bertarung, dan menunjukkan keberanian fisik. Ia membangun reputasi yang menakutkan, seperti sedang menebus kelemahannya dengan kekerasan.
Ajo hidup dari satu perkelahian ke perkelahian lain, berurusan dengan para preman, pelaut, sopir truk, dan bajingan kampung lainnya. Tokek menjadi kawan setia sekaligus saksi dari usaha Ajo untuk membuktikan dirinya.
Kehidupan mereka bukan sekadar urusan adu jotos, tetapi semacam panggung sosial yang tak tertulis: siapa yang paling berani, siapa yang paling cepat menghunus senjata, siapa yang paling tak takut mati, itulah yang menentukan posisi seseorang dalam rantai kuasa kecil tempat mereka hidup.
Ajo, meski tak mampu secara seksual, menjadi salah satu yang diperhitungkan. Ketakutan terhadap ketidakmampuannya dialihkan ke tindakan fisik yang ekstrem. Kekerasan menjadi pelarian, sekaligus alat membungkam rasa tidak cukup sebagai laki-laki.
Dalam perjalanan sebagai jagoan, Ajo bertemu Iteung, seorang perempuan kuat yang bekerja sebagai jagoan juga — ia berlatih bela diri, menjadi semacam bodyguard lokal, dan tak gentar menghadapi kekerasan. Iteung digambarkan sebagai sosok yang lincah, keras, tapi diam-diam haus akan hubungan yang memiliki tempat untuk kehangatan.
Pertemuan mereka bukan hanya ketertarikan fisik. Ada pengakuan batin: Iteung melihat di Ajo sebuah luka yang menyerupai miliknya, hanya tak diberi bahasa. Mereka menikah, membangun kehidupan sederhana yang penuh harapan baru.
Namun badai masalah itu tiba cepat. Iteung ingin hubungan intim, tetapi Ajo terperangkap dalam ketidakmampuannya. Ia tidak memberitahu Iteung kebenaran; rasa takut dan malu membuatnya menghindari hubungan seksual, sehingga istrinya merasakan ada jarak yang tidak pernah diucapkan.
Pertengkaran dan kecanggungan muncul. Ajo merasa dirinya tidak pantas. Iteung merasa disingkirkan. Rumah tangga mereka menjadi ruang sunyi yang sesak oleh hal-hal yang belum pernah dibicarakan.
Dalam kesepian dan kebingungan, Iteung terlibat hubungan dengan Bantek, seorang lelaki lain dari lingkungan mereka. Bantek adalah sosok pragmatis yang tidak dibebani trauma seperti Ajo. Hubungan ini menjadi titik retak terbesar. Meski tidak berniat menyakiti Ajo, Iteung berada pada posisi dilematis: ia butuh kasih, sentuhan, validasi sebagai perempuan, sesuatu yang tak mampu diberikan suaminya.
Ketika kebenaran ini terungkap, Ajo diliputi kemarahan dan rasa kalah yang jauh lebih dalam daripada kalah dalam perkelahian mana pun. Ia merasa dikhianati oleh keadaan, oleh tubuhnya, oleh dunia yang terobsesi pada kejantanan.
Namun ia tidak membenci Iteung. Yang ia benci adalah fakta bahwa ia tidak bisa menjadi laki-laki seperti yang ia bayangkan selama ini.
Ajo meninggalkan rumah. Ia mengambil rute pelarian dengan cara yang dikenalnya sendiri: kembali ke jalan, kembali ke perkelahian, kembali menjadi jagoan yang menantang siapa saja. Perjalanan itu menjadi semacam ritual pencarian — bukan untuk mencari musuh, tetapi mencari arti dirinya.
Di tengah pelarian, ia berjumpa dengan berbagai tokoh dan kondisi yang menunjukkan bahwa dunia tidak hanya digerakkan oleh testosteron: ada orang-orang yang menjalani hidup apa adanya, ada yang melarikan diri dari negara, ada yang bekerja hanya untuk makan malam, ada yang terjebak dalam lingkaran nasib. Semua itu membuka perspektif baru tentang kejantanan, kehormatan, dan tubuh.
Ajo mulai memahami bahwa ia tidak perlu menjadi simbol keperkasaan untuk memiliki nilai sebagai manusia.
Perjalanan batin Ajo membawanya kembali ke akar trauma. Ia mulai menyadari bahwa impotensi bukanlah kutukan moral, melainkan luka yang belum diobati. Ia tidak lagi menganggap hal itu sebagai penanda kegagalan menjadi laki-laki.
Keberanian yang selama ini ia banggakan — keberanian bertarung — ternyata hanyalah selimut yang menutup rasa takut lebih dalam: takut mengakui bahwa ia hancur di dalam.
Kesadaran ini tidak mendadak. Ia lahir perlahan lewat pertemuan, kekalahan, refleksi, dan pengalaman kehilangan. Ajo akhirnya memutuskan kembali ke Iteung, bukan sebagai jagoan, tetapi sebagai manusia yang ingin jujur tentang dirinya.
Ketika Ajo kembali, Iteung yang sudah matang oleh pengalaman pahit rumah tangga dan pengkhianatan, menyambutnya tanpa kepastian masa depan. Mereka berdua memahami bahwa hubungan ini bergantung pada kejujuran.
Ajo akhirnya mengakui semua yang ia sembunyikan. Iteung menerima bukan karena belas kasihan, tetapi karena ia melihat keberanian baru: keberanian mengakui kelemahan.
Tanpa keajaiban, tanpa kesembuhan ajaib, hubungan mereka tumbuh dari kesediaan untuk hidup apa adanya.
Rindu yang terpendam — rindu akan kedekatan, penerimaan, dan cinta — benar-benar terbayar bukan melalui kejantanan fisik, melainkan melalui keterbukaan yang selama ini ditunda.
Kisah Ajo menegaskan bahwa rindu tidak selalu dibayar dengan kemenangan, melainkan dengan keberanian untuk menerima diri. Dengan pemahaman ini, kehidupannya memasuki fase baru yang lebih lembut dan manusiawi, meskipun tetap dalam dunia yang keras.

0 Response to "Sinopsis Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Karya Eka Kurniawan"
Posting Komentar