Makalah Variasi Bahasa



MAKALAH
VARIASI DAN JENIS BAHASA

diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Sosiolinguistik
pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

yang diampu oleh : Drs. Samsul Bahri, M. Pd.

disusun oleh :
Amin Qutbi
Muhammad Jammal Baligh
Pa’adi

Semester 4A




  

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2015








KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala limpahan rahmat-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam kami curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, dan seluruh umatnya sampai akhir zaman.
            Makalah  ini membahas tentang Variasi Bahasa. Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapatkan bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas yang kami buat. Terutama ucapan terima kasih ditujukan kepada dosen mata kuliah Sosiolinguistik, Drs. Samsul Bahri, M. Pd.
            Adapun isi dari makalah ini jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan kami, baik kemampuan mengolah konsepsi ataupun kemampuan apersepsi. Sehingga harap dimaklumi apabila isi makalah kami banyak kekurangan, itu sebabnya kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini.
            Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca, dan menjadi tambahan bagi khazanah ilmiah kita semua.

Indramayu, 19 Maret 2015










DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB 1     PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan
1.4   Manfaat

BAB 2     PEMBAHASAN
2.1 Variasi Bahasa
2.1.1`Variasi dari segi penutur
2.1.2 Variasi dari segi pemakaian
2.1.3 Variasi dari segi keformalan
2.1.4 Variasi dari segi sarana
2.2 Jenis Bahasa
2.2.1 Jenis bahasa berdasarkan sosiologis
2.2.2 Jenis bahasa berdasarkan sikap politik
2.2.3 Jenis bahasa berdasarkan tahap pemerolehan
2.2.4 Lingua Franca

BAB 3      PENUTUP
3.1  Simpulan
3.2  Saran

DAFTAR PUSTAKA








BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bahasa adalah lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap yang mempunyai makna atau arti. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh makhluk hidup untuk berinteraksi sesamanya, terutama manusia. Macam-macam bahasa di dunia ini sungguh beragam, terutama di Indonesia yang mempunyai banyak suku bangsa, budaya dan bahasa. Proses menguasai bahasa melibatkan soal-soal luaran seperti latar belakang sosial penutur, kedudukan, dan kebudayaan penutur dalam masyarakat.
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan. Kemudian dengan mengutip pendapat Fishman (1971:4) Kridalaksana mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diambil dari makalah ini adalah:
     1.      Sebutkan dan jelaskan macam-macam variasi bahasa!
     2.      Sebutkan dan jelaskan macam-macam jenis bahasa!


1.3  Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Sosiolinguistik. Selain itu, juga untuk menyajikan penjelasan mengenai materi jenis variasi bahasa.

1.4  Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah:
1.    Kita dapat mengetahui dan menjelaskan macam-macam variasi bahasa.
2.    Kita dapat mengetahui dan menjelaskan macam-macam jenis bahasa.













BAB 2
PEMBAHASAN

2.1    Variasi Bahasa
Sebagai sebuah langue, sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya bahasa Inggris yang digunakan hampir di seluruh dunia; bahasa Arab yang luas wilayahnya dari Jabal Thariq di Afrika Utara sampai ke perbatasan Iran (dan juga sebagai bahasa agama Islam dikenal hampir di seluruh dunia); dan bahasa Indonesia yang wilayah penyebarannya dari Sabang sampai Merauke.
Dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada; artinya, bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.
Variasi bahasa dibedakan berdasarkan penutur dan penggunaanya. Berdasarkan penutur berarti siapa yang menggunakan bahasa itu, di mana tinggalnya, bagaimana kedudukan sosialnya di dalam masyarakat, apa jenis kelaminnya, dan kapan bahasa itu digunakannya. Berdasarkan penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan alatnya, dan bagaimana situasi keformalannya.
   
2.1.1        Variasi dari Segi Penutur
Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun yang paling dominan adalah “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya. Mengenali idiolek seseorang dari bicaranya memang lebih mudah daripada melalui karya tulisnya. Namun kalau kita sering membaca karya Hamka, Alisyahbana, atau Shakespeare, maka pada suatu waktu kelak bila kita menemui selembar karya mereka, meskipun tidak dicantumkan nama mereka, maka kita dapat mengenali lembaran itu karya siapa.
Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu.  Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain, yang berada dalam dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga.
Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunakan tahun lima puluhan, dan variasi yang digunakan pada masa kini.
Variasi bahasa keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya.
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambahkan dengan yang disebut bahasa prokem.
Yang dimaksud dengan akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton Jawa.
Yang dimaksud dengan basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap paling rendah. Bahasa Inggris yang digunakan oleh para cowboy dan kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek.
Yang dimaksud dengan vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan. Pada zaman Romawi sampai zaman pertengahan, bahasa-bahasa di Eropa dianggap sebagai bahasa vulgar, sebab pada waktu itu para golongan intelek menggunakan bahasa Latin dalam segala kegiatan mereka.
Yang dimaksud dengan slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosa kata yang digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah.
Yang dimaksud dengan kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis.
Yang dimaksud dengan jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia.
Yang dimaksud dengan argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada kosakata.
Yang dimaksud dengan ken (Inggris = cant) adalah variasi sosial tertentu yang bernada “memelas”, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis.
  
2.1.2        Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakaianya,  atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata. Setiap bidang kegiatan ini biasanya mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain. Namun demikian, variasi berdasarkan bidang kegiatan ini tampak pula dalam tataran morfologi dan sintaksis. Variasi bahasa atau ragam bahasa sastra biasanya menekankan penggunaan bahasa dari segi estetis, sehingga dipilihlah dan digunkanlah kosakata secara estetis memiliki ciri eufoni serta daya ungkap yang paling tepat. Struktur morfologi dan sintaksis yang normatif dikorbankan dan dihindarkan untuk mencapai efek keeufonian dan kedayaungkapan yang tepat yang paling tepat. Begitu juga kalau dalam bahasa umum orang mengungkapkan sesuatu secara lugas dan polos, tetapi dalam ragam bahasa sastra akan diungkapkan secara estetistis. Dalam bahasa umum orang, misalnya, akan mengatakan, “saya sudah tua”, tetapi dalam bahasa sastra Ali Hasjmi, seorang penyair Indonesia, mengatakan dalam bentuk puisi.

Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi

Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana, komunikatif dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah; komunikatif, karena jurnalistik harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan waktu (dalam media elektronika). Dalam bahasa Indonesia ragam jurnalistik ini dikenal dengan sering ditanggalkannya awalan me- atau berawalan ber- yang di dalam ragam bahasa baku harus digunakan umpamanya kalimat, “gubernur tinjau daerah banjir” (dalam bahasa baku berbunyi, kalimat “gubernur meninjau daerah banjir”). Contoh lain, “ anaknya sekolah di bandung’’ (dalam bahasa baku adalah, “anaknya bersekolah di Bandung”).
Ragam bahasa militer dikenal dengan cirinya yang ringkas dan bersifat tegas, sesuai dengan tugas dan kehidupan kemiliteran yang penuh dengan disiplin dan instruksi. Ragam militer di Indonesia dikenal dengan cirinya yang memerlukan keringkasan dan ketegasan yang dipenuhi dengan berbagai akronim itu memang sering kali sukar dipahami, tetapi bagi kalangan miiliter itu sendiri tidak menjadi persoalan.
Ragam bahasa ilmiah yang juga dikenal dengan cirinya yang lugas, jelas, dan bebas dari keambiguan, serta segala macam-macam metafora dan idiom. Bebas dari segala keambiguan karena bahasa ilmiah harus memberikan informasi keilmuan secara jelas, tanpa keraguan akan makna, dan terbebas dari kemungkinan tafsiran makna yang berbeda. Oleh karena itulah juga, bahasa ilmiah tidak menggunakan segala macam metafora dan idiom.
Varasi bahasa berdasarkan fungsi ini lazim disebut register. Dalam pembicaraan tentang register ini biasanya dikaitkan dengan dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, dimana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa. Dalam kegiatannya mungkin saja seseorang hanya hidup dengan satu dialek misalnya, seorang penduduk desa terpencil di lereng gunung atau di tepi hutan. Tetapi, dia pasti tidak hidup hanya dengan satu register, sebab dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat, bidang kegiatan yang harus dilakukan pasti lebih dari satu. Dalam kehidupan modern pun ada kemungkinan adanya seseorang yang hanya mengenal satu dialek; namun, pada umumnya dalam masyarakat modern orang hidup lebih dari satu dialek (regional maupun sosial) dan menggeluti sejumlah register, sebab dalam masyarakat modern orang sudah pasti berurusan dengan sejumlah kegiatan yang berbeda.

2.1.3        Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan tingkatan keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya (Inggris:Style), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate). Dalam pembicaraan selanjutnya kita sebut saja ragam.
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi. Misalnya, dalam upacara kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah; kitab undang-undang, akta notaries, dan surat-surat keputusan disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah. Dalam bentuk tertulis, ragam beku ini kita dapati dalam dokumen-dokumen bersejarah, seperti undang-undang dasar, akte notaris, naskah-naskah perjanjian, jual beli, atau sewa menyewa. Perhatikan contoh berikut yang diangkat dari naskah Undang-Undang dasar 1945.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh karena itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kalimat yang dimulai dengan kata bahwa, maka, hatta, dan sesungguhnya menandai ragam beku dari variasi bahasa tersebut. Susunan-susunan kalimat dalam ragam beku biasanya panjang-panjang, bersifat kaku; kata-katanya lengkap. Dengan demikian, para penutur dan pendengar ragam beku dituntut keseriusan dan perhatian yang penuh.
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenengaraan, rapat dinas, surat menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara matang sebagai suatu standar. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi. Jadi, percakapan antar teman yang sudah karib atau percakapan dalam keluarga tidak menggunakan ragam resmi ini. Tetapi pembicaraan dalam acara peminangan, pembicaraan dengan seorang dekan di kantornya, atau diskusi dalam ruang kuliah adalah menggunakan ragam resmi ini.
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Jadi dapat dikatakan ragam usaha ini adalah ragam bahasa yang paling operasional. Wujud ragam bahasa ini berada di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai.
Ragam santai atau ragam casual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat, berolahraga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam santai ini dapat menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Kosakatanya banyak dipenuhi unsur-unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah. Demikian juga dengan struktur morfologi dan sintaksisnya. Seringkali struktur morfologi yang normatif tidak digunakan.
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, dan atau antar teman yang sudah karib itu. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yangt tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara partisipan sudah ada saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama. Perhatikan ketiga kalimat contoh berikut:
(a)    Saudara boleh mengambil buku-buku ini yang saudara sukai
(b)    Ambillah yang kamu sukai!
(c)    Kalau mau ambil aja!
Tingkat keformalan kalimat (a) lebih tinggi daripada kalimat (b); dan kalimat (b) lebih tinggi daripada kalimat (c). Kalimat (a) termasuk ragam usaha, sebab kurang lebih bentuk kalimat seperti itulah yang biasa kita gunakan. Kalimat (b) termasuk ragam santai; sedangkan kalimat (c) termasuk dalam ragam akrab, sebab hanya kepada teman kariblah bentuk ujaran seperti itu yang kita gunakan.

2.1.4        Variasi dari Segi Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya. Padahal di dalam ragam bahasa tulis, hal-hal yang disebutkan itu tidak ada. Lalu, sebagai gantinya harus dieksplisitkan secara verbal. Umpamanya kalau kita menyuruh seseorang memindahkan sebuah kursi yang ada di hadapan kita, maka secara lisan sambil menunjuk atau mengarahkan pandangan pada kursi itu kita cukup mengatakan, “Tolong pindahkan ini”. Tetapi dalam bahasa tulis karena tiadanya unsur penunjuk atau pengarahan pandangan pada kursi itu, maka kita harus mengatakan, “Tolong pindahkan kursi itu!”, jadi, dengan secara eksplisit menyebutkan kata kursi itu.
Dari contoh tersebut dapat pula ditarik kesimpulan bahwa dalam berbahasa tulis kita harus lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang kita susun bisa dapat dipahami pembaca dengan baik. Kesalahan atau kesalahpengertian dalam berbahasa lisan dapat segera diperbaiki atau diralat, tetapi dalam berbahasa tulis kesalahan atau kesalahpengertian baru kemudian bisa diperbaiki.

2.2    Jenis Bahasa
Penjenisan bahasa secara sosiolinguistik tidak sama dengan penjenisan (klasifikasi) bahasa secara geneologis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klasifikasi secara geneologis dan tipologis berkenaan dengan ciri-ciri internal bahasa-bahasa itu; sedangkan penjenisan secara sosiolinguistik berkenaan dengan faktor-faktor eksternal bahasa atau bahasa-bahasa itu yakni faktor sosiologis, politis, dan kultural.

2.2.1        Jenis Bahasa Berdasarkan Sosiologis
Penjenisan berdasarkan faktor sosiologis, artinya penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga berdasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penjenisan secara sosiologis ini penting untuk menentukan satu sistem linguistik tertentu, apakah bisa disetujui atau tidak oleh anggota masyarakat tutur untuk menggunakannya dalam fungsi tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi kenegaraaan, dan sebagainya.
Stewart (dalam Fishman (ed.) 1968) menggunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis, yaitu (1) standardisasi, (2) otonomi, (3) historisitas, dan (4) vitalitas. Keempat faktor itu oleh Fishman (1972:18) disebut sebagai jenis sikap dan perilaku terhadap bahasa.
Standardisasi atau pembakuan adalah adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “bahasa yang benar”. Jadi, standardisasi ini mempersoalkan apakah sebuah bahasa memiliki kaidah-kaidah atau norma-norma yang sudah dikodifikasikan atau tidak yang diterima oleh masyarakat tutur dan merupakan dasar dalam pengajaran bahasa, baik sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua.
Dasar kedua dalam penjenisan sosiologis ini adalah otonomi atau keotonomian. Sebuah sistem linguistik disebut mempunyai keotonomian kalau sistem linguistik itu memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain (Fishman 1968:535). Jadi kalau ada dua sistem linguistik atau lebih tidak mempunyai hubungan kesejarahan, maka berarti keduanya memiliki keotonomian masing-masing.
Dasar ketiga dalam penjenisan sosiologi bahasa adalah faktor historisitas atau kesejarahan. Sebuah sistem linguistik dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu (Fishman 1968:535). Factor kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik tertentu.
Dasar keempat dalam penjenisan bahasa secara sosiologis adalah faktor vitalitas atau keterpakaian. Menurut Fishman (1968:536) yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian sistem linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi.


Dasar
Penjenisan

Jenis
Contoh
standar-
disasi
otonomi
Historisitas
vitalitas
bahasa

+
+
+
-


-


-
-
+
+
+
+


-


-
-
+
+
-
+


+


-
-
+
-
-
+


+


+
-
standar
klasik
artifisial
vernakuler


dialek


kreol
pijin
Inggris
Latin
Vo Lapuk
beberapa bahasa daerah di Indonesia
beberapa dialek bahasa Jawa
*
*

Bahasa yang berjenis standar seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Indonesia memiliki keempat dasar penjenisan (klasifikasi). Bahasa yang berjenis klasik seperti bahasa Latin dan bahasa Sansekerta hanya memiliki tiga dasar penjenisan, yaitu standardisasi, otonomi, dan historisitas, dan tidak mempunyai vitalitas karena tidak ada penuturnya lagi.
Bahasa artifisial adalah bahasa buatan, seperti bahasa Volapuk dan bahasa Esperanto. Bahasa jenis ini memiliki ciri standardisasi dan otonomi, tetapi tidak memiliki ciri historisitas dan vitalitas.  Sedikit tambahan, yang dimaksud dengan bahasa artifisial ini adalah bahasa yang dibuat, disusun dengan maksud untuk dijadikan bahasa pengantar (lingua franca) internasional.
Jenis bahasa vernakular menurut Pei dan Gaynor (1954:227) adalah bahasa umum yang digunakan sehari-hari oleh satu bangsa atau satu wilayah geografis, yang bisa dibedakan dari bahasa sastra yang dipakai terutama di sekolah-sekolah dan dalam  kesusastraan. Bahasa jenis vernakular ini memiliki ciri otonomi, historisitas, dan vitalitas, tetapi tidak mempunyai ciri standardisasi.
Jenis bahasa yang disebut dialek memiliki ciri vitalitas dan historisitas, tetapi tidak memiliki cirri standardisasi dan otonomi, sebab keotonomian bahasa ini berada di bawah langue bahasa induknya.
Bahasa yang berjenis kreol hanya memiliki vitalitas, tidak memiliki ciri standardisasi, otonomi, dan historisitas. Pada mulanya sebuah kreol berasal dari sebuah pijin, yang dalam perkembangannyadigunakan pada generasi berikutnya, sebagai satu-satunya alat komunikasi verbal yang mereka kuasai.
Bahasa yang berjenis pijin tidak memiliki keempat dasar penjenisan. Bahasa jenis ini terbentuk secara alami di dalam suatu kontak sosial yang terjadi antara sejumlah penutur yang masing-masing memiliki bahasa ibu (Bolinger 1975:364).
  
2.2.2        Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik
Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Pembedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan kepentingan kebangsaan. Ada kemungkinan keempat jenis bahasa yang disebutkan itu mengacu pada satu sistem linguistik yang sama, dan ada kemungkinan pula pada sistem linguistik yang berbeda. Di Indonesia keempat jenis bahasa itu mengacu pada satu sistem linguistik yang sama; sedangkan di India, di Filipina, dan di Singapura tidak.
Sebuah sistem linguistik disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau sistem linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu.
Yang dimaksud dengan bahasa negara adalah sebuah sistem linguistikyang secara resmi dalam undang-undang dasar sebuah negara ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, administrasi kenegaraan, dan kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu.
Yang dimaksud dengan bahasa resmi adalah sebuah sistem linguistik yang ditetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan, seperti seminar, konferensi, rapat, dan sebagainya. Dalam sidang internasional di PBB bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Spanyol, bahasa Cina, dan bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi persidangan.

2.2.3        Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan
Berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak.
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B1) karena bahasa itulah yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua (disingkat B2). Andaikata kemudian si anak mempelajari bahasa lainnya lagi, maka bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga (disingkat B3). Begitu pula selanjutnya, ada kemungkinan seorang anak mempelajari bahasa keempat, kelima, dan seterusnya. Pada umumnya, bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena baru dipelajari ketika masuk sekolah, dan ketika dia sudah menguasai bahasa ibunya, kecuali mereka yang sejak bayi sudah mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya.

2.2.4        Lingua Franca
Yang dimaksud dengan Lingua Franca adalah sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda. Dulu bahasa Latin di Eropa adalah sebuah lingua franca bagi bangsa-bangsa Eropa. Bahasa Melayu pernah menjadi lingua franca bagi suku-suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Secara sendiri-sendiri baik bangsa-bangsa di Eropa maupun suku-suku bangsa di Indonesia itu mempunyai bahasa vernakular yang berbeda. Lalu, untuk komunikasi antarbangsa atau antarsuku bangsa diperlukan adanya sebuah bahasa yang menjadi lingua franca.
Pemilihan satu sistem linguistik menjadi sebuah lingua franca adalah berdasarkan adanya kesalingpahaman di antara sesama mereka. Bahasa Latin dulu dipahami oleh semua bangsa di Eropa; dan bahasa Melayu juga dipahami oleh semua suku bangsa di Nusantara. Dewasa ini bahasa Latin tidak lagi menjadi lingua franca di Eropa. Kedudukannya sudah diganti oleh bahasa Inggris (dan bahasa Prancis). Bahasa Indonesia/Melayu/Malaysia dewasa ini masih tetap menjadi lingua franca di kawasan Asia Tenggara. Bahasa Inggris di India dan di Filipina yang diangkat secara politis menjadi bahasa resmi kenegaraan adalah juga berdasarkan karena bahasa Inggris itu telah menjadi lingua franca di kedua negara itu. Kalau dalam sidang-sidang umum PBB boleh digunakan bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Cina, dan Arab adalah karena alasan kelima bahasa itu banyak dipahami oleh bangsa-bangsa di dunia. Jadi, sesungguhnya kelima bahasa itu adalah juga lingua franca.
Karena dasar pemilihan lingua franca adalah keterpahaman atau kesalingpengertian dari para partisipan yang menggunakannya, maka “bahasa” apa pun, baik sebuah langue, pijin, maupun kreol, dapat menjadi sebuah lingua franca itu.








BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh semua orang, baik dari kalangan atas maupun kalangan rendah. Itulah yang menyebabkan mengapa banyak sekali variasi dalam bahasa. Variasi bahasa adalah macam-macam bentuk bahasa yang berbeda. Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen.
Variasi bahasa dari segi penutur terbagi menjadi empat macam, yaitu: idiolek, dialek, kronolek/dialek temporal dan sosiolek. Variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambahkan dengan yang disebut bahasa prokem.
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakaianya,  atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan.
Variasi bahasa dari segi keformalan pemakaian dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan. Variasi dari segi keformalan terbagi atas lima macam gaya (style), yaitu: gaya/ragam beku (frozen), gaya resmi (formal), gaya usaha (konsultatif), gaya santai (casual), dan gaya akrab (intimate).
Variasi dari segi sarana adalah dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni misalnya dalam bertelepon dan betelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama.
Penjenisan bahasa secara sosiolinguistik tidak sama dengan penjenisan (klasifikasi) bahasa secara geneologis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klasifikasi secara geneologis dan tipologis berkenaan dengan ciri-ciri internal bahasa-bahasa itu; sedangkan penjenisan secara sosiolinguistik berkenaan dengan faktor-faktor eksternal bahasa atau bahasa-bahasa itu yakni faktor sosiologis, politis, dan kultural.
Penjenisan bahasa berdasarkan faktor sosiologis, artinya penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga berdasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Jenis bahasa berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Pembedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan kepentingan kebangsaan. Ada kemungkinan keempat jenis bahasa yang disebutkan itu mengacu pada satu sistem linguistik yang sama, dan ada kemungkinan pula pada sistem linguistik yang berbeda.
Jenis bahasa berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak.

3.2 Saran
Sebagai masyarakat pemakai bahasa, kita harus bisa menggunakan bahasa yang baik dan benar. Bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah yang berlaku dan bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan konteks waktu, tempat, situasi, ataupun lawan bicara. Oleh karena itu, kita harus menjadi masyarakat pengguna variasi bahasa yang tepat.





DAFTAR PUSTAKA

                    Alwi, dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
                    Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Variasi Bahasa"

Posting Komentar