Naskah Drama Bius Karya Benny Yohanes



BIUS
Karya Benny Yohanes


TOKOH : Tuna S, Amin, Orang Tua



Sebuah sudut di kamar periksa dokter, dilator belakang. Nampak kamar-kamar sempit, tiang-tiang kokoh dan pintu-pintu berkaca buram. Sebuah rumah sakit yang sudah sangat lama digunakan,namun tidak dirawat.

Tuna S masuk ruangannya, di seputar dinding.  Nampak terjejer rapih gambar-gambar manusia yang tersenyum. Amin dan seorang tua berjejer duduk di ruang tunggu. Tuna S Nampak baru bangun tidur. Dia duduk di atas sebuah peti mati, yang dijadikannya meja untuk menerima dan memeriksa pasien.

Tuna S membuat tanda salib, lalu membuka peti mati. Dari dalam petinya lalu diambil gayung, odol, sikat, lalu menggosok gigi. Lalu setelah itu menelan sebutir pil, dan dia bersendawa. Ditutupnya peti mati lalu membuat tanda salib lagi. Di ruang tunggu terdengar orang tua terbatuk-batuk. Amin membantu melegakan nafasnya.



TUNA S
Suster… Suster… (sepi tak ada jawaban. melihat pada orang tua. matanya saling tertumbuk) masuklah. (Dokter melepaskan kerekan. keranjang alat-alatnya turun tepat di hadapan dadanya).

AMIN
nama saya Amin, Dokter.

TUNA S (duduk menghadapi dengan tatapan kosong).
apa cita-citamu?

AMIN (heran).
saya mau berobat.

TUNA S
Oh, maaf. Saya selalu teringat Noni, saudaraku. Maksud saya, Ayahmu sakit apa?

AMIN
Maksud Dokter…

TUNA S
Panggil aku Tuna. Tuna Sumantri (terdengar batuk Orang tua. Tuna mengeluarkan nama dari keranjang peralatannya. memperlihatkan kaus yang dipakainya. lalu celana panjangnya. tulisannya: Tuna s)

AMIN
Baik. Nama saya Amin. Saya sakit

TUNA S (berdiri).
O, kukira kau hanya mengantar Ayahmu kesini.

AMIN
Bukan. Aku tidak kenal Orang tua itu. dia datang sesudah aku. Saya kira memang sakitnya lebih parah.

TUNA S
Jadi dia bukan ayahmu? (pergi ke pintu . memandang Orang tua) Suster… Suster… ( jengkel). Kemana mereka?! (Dokter bertumbu pandang dengan Orang tua. pandangannya aneh. Dokter mengangguk).

AMIN (Amin mencoba menggerak-gerakan tangan kanannya yang sulit di gerakan).

TUNA S
Kenapa kamu Amin? 

AMIN
Tangan saya tidak bisa bergerak. Dan akhir-akhir ini mataku rasanya bertambah berat. Penglihatanku kabur.

TUNA S (memegang-megang tangan Amin).
Apa kerjamu?

AMIN
Menulis, Dokter (Dokter mengacungkan papan namanya).  Aku menulis, Tuna.

TUNA S
Jadi kau seorang pengarang Amin?

AMIN
Belum jelas.

TUNA S
Maksudmu? (sambil meneliti tangan Amin).

AMIN
Aku menulis karena kesukaan saja. (Dokter menyuruh membuka rahang).

TUNA S
Kesukaan? (Amin mengangguk, Dokter mengatupkan rahang Amin).
Hahaha… aku punya saudara, juga pengarang seperti kau. Kalau kutanyakan : Noni apa saja yang kau tulis itu, dengan tak acuh dia akan bilang: apa saja yang kusuka! Hahaha. Dan roman mukanya mengerut persis seperti kau menjawab pertanyaanku tadi. Kau sepreti Noni.

AMIN
Aku cuma menulis apa yang melintas pada pikiranku.

TUNA S
Itu bagus. Setidaknya kau tahu betul apa yang kau tulis. Kapan saja kau menulis?

AMIN 
Setiap hari. Setiap waktu. Setiap hatiku menginginkannya. (Orang tua itu buka lagi).

TUNA S
kau pasti mengenal, siapa itu…, Agatha Kristiono?

AMIN
Tidak.

TUNA S
Tapi kau seorang pengarang?

AMIN
Memang. Tapi hidupku kurasa tak membutuhkan teka-teki dan misteri.

TUNA S
Kalau begitu, kau pasti lebih menyukai karangan-karangan Eddy Durennmatt Iskandar?

AMIN
Tidak, Dokter. Kurasa Tuhan tidak membuat hidup semudah novel-novel itu.

TUNA S
Kau seorang pemikir rupanya.

AMIN
Aku menyukai peperangan. Ya! Aku selalu menulis tentang itu. Sebab dalam peperangan selalu lahir pahlawan-pahlawan (Orang tua batuk-batuk lagi).

TUNA S
Sebentar! (bergegas ke pintu).  Suster… (mendekati Orang tua)  masuklah, Pak.

AMIN
Selesaikan dulu. Aku tidak apa-apa (batuk-batuk lagi).

TUNA S
Bapak perlu minum?

ORANG TUA
Tidak, terima kasih, aku tidak bisa menerima kebaikan orang, sebelum aku berbuat sesuatu kepadanya.

TUNA S
Baik. (kembali kepada Amin) rasanya dia mengenalku. Matanya… ah.

AMIN
Apa memang tanganku lumpuh, Dokter Tuna?

TUNA S
Ada yang aneh pada matanya.

AMIN
Mataku? Aneh?

TUNA S
Mata? O, tidak, eu… begini, Amin. Seharusnya kau memiliki otot-otot yang kuat pada lenganmu. Kau terbiasa menulis, bukan? Dan kau akan selalu bergelora selama kamu menulis, karena kau sangat menyukai peperangan. Tapi, ototmu seolah tak pernah kau gerak-gerakan sama sekali sehingga kehilangan daya buat berkonsentrasi.

AMIN
Aku terus menulis, Tuna. Dan aku akan terus begitu.

TUNA S
Dengan tanganmu yang seperti itu?

AMIN
Ada sangsi pada kemampuan saya?

TUNA S
Bukan begitu Amin. Yang mau kutanyakan adalah: Apakah kau betul-betul sakit?

AMIN (tegas, mengeras).
Aku sakit. Dan aku mau sembuh (Orang tua itu batuk lagi).

TUNA S
Aku belum pernah mendapat pasien seorang pengarang sebelum ini. Maafkan kalau aku cepat menduga.

AMIN
Saya ingin sembuh Dokter. Saya ingin semua anggota tubuhku bisa bekerja dengan normal. Aku sangat butuh kehidupan.

TUNA S
Ya, aku mengerti. Bagi seorang pengarang, hidup memang bisa menjadi segala-galanya. Itu kata-kata Noni, saudaraku. Tapi lain bagi seorang dokter, seperti aku. Bagiku hidup adalah perpanjangan dari kesakitan-kesakitan, Amin. Setiap kali aku merasa sakit, setiap kali itu pula aku bisa merasakan kehidupan. Kau tahu apa rasanya sakit?

AMIN
Untuk orang yang sehat, rasa sakit adalah hal yang sangat istimewa.

TUNA S
Hahaha. Kau nampaknya terlalu menurutkan kebiasaanmu menulis, Amin. Bicaramu sangat Diplomatis. Apakah kau yakin aku bisa meberimu kesembuhan?

AMIN
Aku cuma butuh obat, Tuna. Dan aku tahu kau seorang dokter yang bisa memberikannya. Berilah aku apapun, kecuali nasehat. Aku tidak ingin dibohongi oleh keluh-kesahku sendiri. Aku yakin tanganku bisa disembuhkan. (Orang tua itu batuk lagi. muntah lagi) apa anda bisa memeriksa dia dulu. Penyakitnya nampak parah.

TUNA S
Baik. (menuju pintu).

ORANG TUA
Aku belum perlu minum Dokter. Selesaikanlah dulu tugasmu.

TUNA S
tapi bapak sakit. Bapak perlu pemeriksaan segera. Saya tahu penyakit bapak berat. Tapi saya ingin menyembuhkannya.

ORANG TUA
Hehehe. Aku memang sakit dan butuh penyembuhan. Tapi kurasa tidak setiap penyakit butuh penyembuhan. Aku merasa tenang dengan keadaanku sekarang. (memperlihatkan bokongnya) Nih. Kau belum tahu itu dokter. Tapi ini kan variasi yang sengaja kubuat. Biar hidupku tidak monoton.

TUNA S
Bapak keliru. Itu gejala penyakit!! Sudahlah, mari saya periksa. Setiap pasien yang datang pada saya selalu bisa sembuh. Marilah. (mendirikan Orang tua).

ORANG TUA
Jangan terburu-buru, Tuna.

TUNA S
O, bapak sudah mengenal saya?

ORANG TUA
Memang, seharusnya begitu. saya hanya mau  berhubungan dengan orang yang saya kenal.

TUNA S
Tapi saya belum kenal siapa bapak?

ORANG TUA
Itu tidak penting, dokter. Selesaikanlah tugas anda dahulu. (matanya tajam mengawasi tuna).

TUNA S
O, Amin. Dia tidak apa-apa. Dia cuma kecapean. Terlalu banyak menulis tentang peperangan, tapi dia sendiri tampaknya tidak ikut berperang. Dia cuma butuh tonikum dan sedikit reason. Setelah minum tonikum dariku dia pasti sembuh walafiat.

ORANG TUA
Anda hebat, dokter. Semenjak aku di sini, ketenaran pengobatanmu memang sudah lama kudengar. Anda memang hebat. (matanya tajam mengawasi Tuna)

TUNA S
Jangan terlalu memuji. Bagi saya itu hal yang biasa saja. Baiklah, saya selesaikan dulu Amin. (orang tua itu mengangguk. Tuna kembali ke kamarnya ). Matanya? Ah, aku seperti sudah mengenalnya. Matanya penuh selidik. Aneh!

AMIN (tangannya makin sakit. melenguh panjang).
Uh, bagaimana penyakitku ini, Tuna?

TUNA S
Ada yang aneh pada mata itu!

AMIN
Mata? Anda belum memeriksa mata saya?! Anda selalu bilang, aneh, aneh. Ada apa sebenarnya dengan mata saya? O, pandanganku sekarang kabur. Bagaimana ini? Berikan obat itu, dokter. Aku sanggup membayar. Aku sangat membutuhkan kehidupan. O, siapa kamu? Pergi! Jangan halangi aku. Dokter! O, mukamu berdarah. Tanganmu berdarah. Siapa kamu?! (Amin bergerak limbung, menabrak peti mati dihadapannya).

TUNA S
Amin, Amin. Tenang dulu. Tidak ada siapa-siapa di sini selain aku.

AMIN
Apa ini? Peti mati? Apa maksud anda dokter? (Amin mau membuka tutupnya).

TUNA S
Jangan kau buka!

AMIN
Kau mau menakuti-nakuti saya?

TUNA S
Sudahlah, lupakan itu. nanti kuperiksa matamu.

AMIN
Nanti dulu.

TUNA S
Amin, kau orang sakit dan butuh kesembuhan.

AMIN
Betul. Tapi kau tak perlu menakuti-nakuti aku dengan kematian.

TUNA S
Hahaha, tak ada yang membicarakan soal kematian di sini.     

AMIN
Peti ini, apa artinya?! Dokter, aku tak suka lelucon seperti ini. (tangannya mau membuka tutup peti mati) Uh, tanganku, tanganku tak mau bergerak. (Orang tua batuk lagi. lalu tertawa).

TUNA S (mengambil sesuatu dari keranjang alat-alatnya).
Amin, duduk dan makanlah.

AMIN
Apa ini?

TUNA S
Hanya permen karet. Mengandung sedikit Tonikum. Baik untuk menghangatkan lidahmu. (memberikan pada mulut Amin).

AMIN
Tidak, berikan aku obat. Aku seorang pengarang dokter. Dan pengarang harus selalu hidup, bebas dari penyakit.

TUNA S
Kita tidak bisa menolak penyakit. Hidup ini sendiri hanya perpanjangan dari kesakitan-kesakitan yang terus berlanjut.

AMIN
Bukan.

TUNA S
Setiap orang bisa sakit, Amin. Dan itu dialami semenjak orang mengenali kehidupan. Begitu juga kau, aku, dan semua orang yang hidup. Ah, semua orang sudah tahu tentang ini. Tapi dengarlah! Sudah beratus orang datang kemari, ya, ke kamar ini, dengan seribu ocehan dan keluh kesah mereka. Mereka sakit. Mereka lalu datang dan berobat padaku. Dan kemudian mereka merasa telah disembuhkan olehku. Padahal, tugasku bukanlah Cuma menyembuhkan.

AMIN
Kau seorang dokter. Kau dididik buat menyembuhkan.

TUNA S
Benar. Tapi tidak setiap mereka yang merasa dirinya sakit adalah orang yang sakit, Amin. Mereka yang datang itu adalah orang-orang sehat yang merasa dirinya sakit. Ketika mereka merasa disembuhkan, mereka sebenarnya sedang menerima penyakit.

AMIN
Omongan apa itu?! Aku berbeda dengan orang-orang itu.

TUNA S
Aku tahu kau seorang pengarang. Menulis tentang peperangan. Dan kini kau merasa sakit, bukan?

AMIN
Ya, tangan dan mataku!

TUNA S
Kau orang yang sakit dan merasa dirimu sakit.

AMIN
Memang. Dan itu berarti aku sadar bahwa aku sakit.

TUNA S
Betul. Selanjutnya kau butuh penyembuhan dariku, bukan?

AMIN
Dari obatmu!

TUNA S
Baiklah. Mari kuperiksa matamu.

AMIN (ragu-ragu).
Aku tak mau permen karet itu.

TUNA S
Tidak apa, kebetulan aku belum sarapan.
(dimakannya permen karet itu). Kau suka musik, kan? Kau bisa dengarkan koleksiku yang terbaru.
(menyalakan Gramopon. Suara dentuman meriam dan letusan senjata bunyinya. Dokter menyuruh Amin membuka matanya, lalu disorot-sorot oleh cahaya baterai dari segala arah).
Kau perlu terapi. Matamu masih bisa sehat.
(Dokter mengambil tengkorak putih, diberikan ke tangan Amin. Amin tersentak lagi, tidak mengerti).
Pegang ini, Amin. Ayo, ini Cuma dibuat dari plastik.

AMIN
Untuk apa ini?! Saya tidak perlu lelucon lagi!

TUNA S
Kamu perlu terapi mental! Pegang ini, Amin. Sorotkan matamu ke dalam mata ini. Bagus. Sekarang buat dirimu rileks. Ya, dengarkan musik ini, Amin. Kamu lihat dirimu sekarang? Ya, bagus. Pandangi terus, Amin. Saya tahu, kamu menyukainya. (Amin tersenyum) Matamu bagus sekali sekarang.
(menyorot-nyorotkan sinar baterai ke mata Amin) Ya, pertahankan itu, Amin. Aku akan membuat resep untukmu.

AMIN
Bagaimana dengan tanganku, Dokter?

TUNA S
Kau cuma butuh Tonikum, Amin. Lihat, matamu semakin sehat. Dengarkan musik ini, Amin. Resapkan. Ya. (Dokter pergi ke ruang tunggu. Orang tua itu muntah, batuk dan tertawa). Bapak sedang mengolah variasi lagi rupanya. (Orang tua itu batuk, tertawa, mencret, mengikik, muntah, batuk, tertawa lagi seperti sebuah komposisi musik ).

ORANG TUA
Ha ha ha, ya, ya. Ini cara mudah untuk mengusir kejenuhan. Tapi aku mulai bosan juga dengan permainan ini. (telinganya menguping) Dokter, anda rupanya menyenangi musik klasik juga seperti saya?

TUNA S
Memang penggemar fanatik, Pak. (berlaku seperti seorang Dirigen) Musik ini memberi kita perasaan tentram. Dan saya selalu merasa tergugah, terutama jika saya sedang melakukan operasi-operasi gawat.

ORANG TUA
Anda sepaham dengan saya. Musik klasik bisa membawa hati kita melaju ke gerbang-gerbang firdaus. Nanti dulu, ini Wanger, bukan?

TUNA S
Bapak keliru. Ini gubahan terbaru dari komposisi dunia ketiga: Wolfgang Amadeus Khomeine. Dengarkan geloranya!  Ah, saya merasa selalu tergugah. (musik dentuman meriam dan pelor, juga jeritan kesakitan mengeras tak terkendali).

AMIN (meloncat dari tempat duduknya).
Dokter, Dokter. Mataku hilang! Mataku, Dokter! Aku tidak bisa melihat. (memukul-mukulkan tengkorak pada peti mati) Bagaimana ini?! Mana obat itu?

TUNA S
Amin! Amin! Duduklah! (Amin membuka kelopak matanya lebar-lebar dengan tanganya). Hei, kau apakan mataku?! (Orang tua terkekeh di sudut pintu melihat tingkah Amin).

AMIN
Tuna! Mataku buta. Kau curang! Kau mau habisi hidupku! Kau curang! Sembuhkan aku!

TUNA S
Amin, buka matamu!

AMIN
Aku tak bisa. Aku buta. Uh, tanganku, tanganku juga tak mau bergerak! Aku tak bisa menuliskan tentang peperangan lagi. Ya, ampun!

TUNA S
Amin,jangan kacau! Buka penglihatanmu!

AMIN
Aku tak bisa. Kau curang.

TUNA S
Buka pengarang! Buka matamu!

AMIN (menangis).
Matikan suara-suara itu. Kau mau menghipnotis aku. Matikan, Dokter! (Dokter mematikan suara tape).

TUNA S
Kau melihat kehidupan, Amin?

AMIN
Mana? Mataku tak ada.

TUNA S
Kau seorang pengarang.

AMIN
Penyakit ini merampok mataku. Sembuhkan aku Dokter. Kalau begini aku tidak bisa menulis lagi. Habislah kehidupanku. Habislah aku!

TUNA S
Mari, kuperiksa lagi matamu. (menyorotkan sinar baterai ke mata Amin). Kau memang buta, Amin.

AMIN (tangis mengeras).
Tidaak! Oh, tulisan-tulisaku. Ilham-ilhamku. Kau tak bisa kutatap lagi. Tidaak!

TUNA S
Kau masih bis sembuh, Amin. Kau harus kurawat di Rumah Sakit.

AMIN
Aku butuh kehidupan, Tuna. Aku pengarang. Aku tak butuh Rumah Sakitmu!

TUNA S
Sebagian hidup manusia selalu ada di Rumah Sakit, Amin. Dari sana, awal perjalanan hidup dimulai, untuk kemudian berakhir di tempat yang sama. Di sana kau bisa melihat peperangan yang sesungguhnya.

AMIN
Peperangan? Di Rumah sakit? Jangan konyol, Dokter. Kau harus mengerti keadaan jiwaku. Aku seorang pengarang yang sedang merebut cita-cita. Tapi penyakit ini sudah merampok kehidupanku. Aku gelisah Dokter! (Orang tua terkekeh panjang. lalu kembali ke tempat duduknya. mengolah variasi lagi). Kenapa orang itu? Dia mentertawakan aku?

TUNA S
Tidak, Amin. Dia Orang tua yang sudah pandai menguasai kegelisahannya sendiri.

AMIN
Saya tidak suka tertawanya.

TUNA S
Dia Cuma bermain-main dengan kegelisahannya.

AMIN
Tapi dia sengaja mengejekku.

TUNA S
Kau terlalu gelisah, Amin. Lupakan orang tua itu.

AMIN
Dia tertawa buat mengejek aku! (Amin keluar menabrak-nabrak mendekati Orang tua. Orang tua malah mengikik lebih keras). Diam! Diam!

TUNA S
Amin! (Orang tua mengikik. mencret, muntak, mengikik lagi).

AMIN
Diam!

TUNA S
Diam!

AMIN
Diam!

TUNA S
Diam!

AMIN
Diam!

TUNA S
Diam!

AMIN
Diam!

TUNA S
Diam! O, maaf saya terbalik. Kau mesti kurawat, Amin. Kita membutuhkan pengarang seperti kau. Matamu mesti kembali. Juga tanganmu.

ORANG TUA (muntah-muntah dengan hebat, lalu tertawa).

AMIN
Kenapa kamu menertawakan saya?

ORANG TUA
E, aku tertawa untuk diriku.

AMIN
Tapi aku mendengarnya.

TUNA S
Aku juga mendengarnya, Amin. Tapi sudahlah. Bapak ini butuh pemeriksaanku juga. Tapi nanti setelah kau.

AMIN
Jadi anda juga sakit bukan, sama seperti saya.

ORANG TUA
Betul, Amin.

AMIN
Saya belum kenal anda.

ORANG TUA
Tapi saya mengenalmu. Engkau kan seorang pengarang. Aku pernah membaca tulisan-tulisanmu.

AMIN
Tulisanku? (kepada Tuna S). Orang tua ini kurang waras. Kau tak perlu menyembuhkannya, dokter. Dari mana dia bisa tahu tulisan-tulisanku? Belum selembarpun pernah kukirim ke surat kabar.

ORANG TUA
Itulah tanda bagi seorang pengarang besar. Sebelum ciptaannya disampaikan, orang-orang sudah menghafalnya. Sebelum pikirannya dituliskan, orang-orang sudah tahu isi hatinya. Saya merasa beruntung bisa bertemu pengarang besar hari ini. (Orang tua muntah-muntah, batuk-batuk lalu mengikik).

AMIN
Brengsek! (Amin masuk kamar periksa lagi).

TUNA S
Bapak tunggu sebentar. Saya harus menyelesaikan dia, bukan?

ORANG TUA
Selesaikanlah dulu tugasmu. O, dokter, pengarang itu mesti diselamatkan. Anda tahu apa sebabnya? Tulisan-tulisannya berkualitas impor. Jadi penting untuk devisa negara. Saya tahu, kamu dokter yang selalu bisa menyembuhkan. Anda hebat, Tuna. Tuna Sumantri (sambil membuka kaos Dokter, Orang tua menatap tajam pada Dokter. Dokter serba salah).

AMIN
Dokter!! (tutup peti mati ternganga).

TUNA S
(menutup peti mati dengan cepat). Sudah saya bilang, kau jangan membuka ini! Kamu lancang, Amin!

AMIN
Aku tidak membukanya.

TUNA S
Bohong! Apa yang mau kau ketahi dariku, heh?

AMIN
Aku tidak membukanya. Aku hanya berdiri di sini. Lau tiba-tiba ada sesuatu yang menarik tanganku.

TUNA S
Jangan bohong, Amin. Kau pasti membukanya. Kau mau mencuri sesuatu dariku?

AMIN
Berikan aku obat, Tuna. Setelah itu aku pergi dari sini.

TUNA S
Tidak bisa. Kau sudah melihat sesuatu di dalam peti ini.

AMIN
Mataku tidak ada, Dokter. Dengan apa aku melihat? Aku hanya merasa ditarik. Kukira itu tanganmu. Tapi bukan tangan. Tangan itu baunya anyir.

TUNA S
Baunya? Kau mencium baunya? (Dokter membawa Amin ke sudut ruangan). Apa yang kau cium?

AMIN
Aku tidak tahu.

TUNA S
Kau pasti hafal baunya.

AMIN
Anyir! Tangan itu berbau anyir! Seperti darah. Aku mencium bau darah.

TUNA S
Tangan? Tangan siapa? Kamu jangan berolok-olok. Tak ada orang lain di sini selain kau dan aku.

AMIN
Aku ditarik sesuatu. Aku ditarik, dan aku takut. Berikan obat itu sekarang. Aku sanggup membayarnya. Mana Tuna? Aku takut di sini. Tempat apa ini? Aku mencium bau darah!

ORANG TUA (mengetuk pintu keras-keras).
Kau sudah selesai Dokter?

TUNA S
Tunggulah. Aku sedang memeriksa lidahnya.

ORANG TUA
Pengarang besar itu mesti diselamatkan, Tuna. Siapa tahu, dia bisa mencegah datangnya perang dunia yang akan datang.

TUNA S
Aku tahu.

AMIN
Dokter, kau akan dibuat gila oleh Orang tua itu.

TUNA S
Duduklah, Amin. Duduk di sini (Dokter mendudukan Amin membelakangi peti mati). Matamu mulai berair. Pakai handuk ini.

AMIN (mengusap matanya).
Mataku tak ada. Dia pergi begitu saja. Mataku harus kembali, Dokter.

ORANG TUA (nyaring).
Pengarang itu mesti diselamatkan. Setiap pengarang mesti diselamatkan. Kalau tidak, kita bisa kena inflasi nantinya.

TUNA S  (membuka peti mati, mengambil odol dan sikat, lalu mendekatkan odol dan sikat ke hidung Amin).
Amin.

AMIN (meraba-raba).
Apa ini? Obat untukku?

TUNA S
Kau mencium sesuatu tadi. Inilah yang kau cium tadi itu (Amin membaui).

AMIN
Kau yakin ini berbau anyir?

TUNA S
Pasta gigi ini membusuk. Dan sikat ini pernah kugunakan untuk menggosok gigi anjing. Jadi, pasti baunya tidak enak.

AMIN
Aku seperti mencium bau darah tadi. Dan tangan yang menarik aku, tangan siapa itu?

TUNA S
Hahaha, kau terlalu gelisah. Kau amat takut akan keselamatanmu. Itu sebabnya pikiranmu jadi berlebihan.

AMIN
Baiklah, pikiranku tidak karuan tadi. Sekarang sembuhkan aku, Dokter.

TUNA S
Aku akan menulis resep untukmu. (Orang tua batuk-batuk lagi. bervariasi dengan bersin).

ORANG TUA
Dokter, wahh, gigiku ikut kumat sekarang. Berikanlah aku obat penahan sakit, sebelum giliranku tiba.

TUNA S
Duduklah, Pak. Kau bisa menggosok gigimu sambil menunggu (Dokter memberikan odol dan sikat).

AMIN
Sikat itu bekas anjing! Anjing!

ORANG TUA
Apa dia bilang?

TUNA S (berbisik).
Ssstt! Dia sedang mendapat ilham untuk tulisan-tulisannya. Tak apa-apa. (Orang tua tertawa).

AMIN
Dokter!

TUNA S
Resepmu hampir selesai, Amin.

ORANG TUA
Odol ini harum sekali. Hmmmh....

AMIN
Sinting!

ORANG TUA
Setiap hari orang mencuci mulutnya dengan odol yang wangi. Tapi mulutnya selalu kotor kembali. Kukira orang mesti memakai odol yang busuk. Siapa tahu mulutnya nanti bisa mengucapkan kata-kata yang segar. Apa pendapatmu, Dokter?

AMIN
Kau mestinya tak perlu lagi menggosok gigimu lagi, Orang tua. Mulutmu penuh ejekan. Dan kata-katamu kotor. Mulut dan hatimu selalu penuh peperangan.

ORANG TUA
Oh, dia mendapat ilham lagi rupanya. Doter, bisakah aku menggosok gigi di luar saja? Aku tidak bisa berdebat dengan pengarang yang belum menggosok gigi.

TUNA S
Gosoklah gigi Bapak sepuasnya.

AMIN
Brengsek! mana obatku, Tuna?

TUNA S
(berhenti sejenak) Aku tak bisa memastikan obat untuk matamu, Amin.

AMIN
Akhh, kenapa begitu? Anda banyak berpura-pura pada saya. Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa setiap pasienmu selalu bisa kau sembuhkan?

TUNA S
Memang, aku bisa menyembuhkanmu. Tapi kau mesti dirawat dulu, Amin. Dan itu berarti kau harus tinggal di Rumah Sakit.

AMIN
Rumah Sakit lagi!

TUNA S
Ya, kenapa? Inikan prosedur yang biasa saja?

AMIN
Aku tidak mau, Dokter. Aku tidak bisa melihat dunia kalau tinggal di Rumah Sakit. Aku cuma akan berhadapan dengan tembok-tembok yang putih, datar dan bisu. Aku butuh kehidupan sekarang, bukan jalan menuju kematian.

TUNA S
Di Rumah Sakit, kau kurawat untuk bisa hidup.

AMIN
Kenapa kau memaksaku diam di Rumah Sakitmu?

TUNA S
Kau mesti sembuh, Amin. Dan aku tahu kau sangat membutuhkan kesembuhan. Bukankah kau percaya pada kemampuanku?

AMIN
Aku bisa sembuh di luar Rumah Sakit. Aku benci berdekatan dengan peti matit ini (menendang peti mati) Saya tahu, anda punya maksud tersembunyi terhadap penyakit saya.

TUNA S
Amin, kau terlebih dahulu mempercayai aku sebagai seorang Dokter, bukan?

AMIN
Aku tahu apa yang ada di balik pikiranmui. Aku punya firasat, kau mau berbuat jahat padaku.

TUNA S
Hahaha, begitu buruknya firasat seorang pengarang. Kalau begitu, kau boleh mengambil resep ini saja. Lalu keluarkan uangmu. Setelah itu kau boleh pergi. Dan aku akan mendapatkan pasien yang baru lagi. tak ada yang rumit di antara kita. Aku sudah sangat terbiasa dengan pekerjaanku, Amin. Jadi maaf, kalau aku tidak bisa meladenimu berbicara berkepanjangan. (membunyikan bel. Amin merebutnya).

AMIN
DENGAR, Tuna. Kau menyembunyikan sesuatu yang aneh di sini. Mula-mula peti mati itu. Lalu tengkorak yang kau berikan padaku. Musik yang penuh dengan dentuman meriam. Tangan yang berbau anyir. Lalu kau bersikeras hati memaksaku diam di Rumah Sakitmu. Apa yang bisa kau terangkan dari semua ini?

TUNA S (tertawa keras).
Amin, Amin. Kau terlau dibebani insting kepengaranganmu.

AMIN
Aku tak perduli.

TUNA S
Itu membuat prasangkamu berlebihan.

AMIN
Aku memang curiga padamu. Sudah berapa lama kau menjadi Dokter, sebenarnya?

ORANG TUA (dari balik pintu).
Dia Dokter terbaik di kota ini. Hampir semua penduduk di sini pernah berobat kepadanya. Dan mereka puas.

AMIN
Sinting! Apa yang kau ketahui tentang penduduk kota ini, dengan pikiranmu yang kurang beres itu?

ORANG TUA
Aku memang tidak dikenal di sini. Setiap orang yang berpapasan denganku selalu menghindar dengan rasa takut. Tapi aku mengenal mereka. Dan aku akan selalu mengenal mereka. Begitu juga dengan kau.
(tertawa mengikik, lalu batuk).

TUNA S
Amin, matamu makin berair. Sebaiknya kita cepat ke Rumah Sakit.

AMIN
Tidak! Kau belum menjawab pertanyaanku.

TUNA S
Amin, apa yang mesti kujawab? Aku menjadi Dokter semenjak oarang-orang percaya padaku bahwa aku bisa menyembuhkan mereka. Kau bisa melihat ...... maaf. Maksudku, kau bisa membuktikannya dari arsip-arsip pasien yang kusimpan di lemariku.

AMIN
Setiap hari, dalam hari-hari kerjamu, dalam saat-saat istirahatmu, dalam tidurmu, dalam angan-anganmu, kau selalu berurusan dengan penyakit.

TUNA S
Itu panggilan tugasku, Amin. Bagiku, ini sudah menjadi pekerjaan rutin yang biasa sesuai dengan profesiku.

AMIN
Ya. Dan lalu kau menganggap penyakit adalah sesuatu yang biasa dalam hidupmu. Seperti nelayan yang memandang laut. Seperti pendaki yang memandang hutan. Seperti pekerja kantor di balik mejanya. Lalu kau berfikir, bahwa hidup hanya perpanjangan dari kesakitan-kesakitan. Begitu lurus kau berfikir. Kau tidak merasa, bahwa ada orang lain yang juga berfikir bahwa penyakit adalah hal yang istimewa dalam hidupnya, karena tidak datang setiap hari.

TUNA S
Istimewa? Mungkin begitu untuk mereka. Tapi setiap penyakit hanya memberikan 2 kesempatan pada kita. Pertama, kau bisa meninggalkannya, lalu merasa sembuh. Kedua, kau bisa bersekutu dengannya, lalu...... 

AMIN
Lalu mati?!

TUNA S
Ya! Bukankah hanya sampai di situ batas kemampuan kita? Itu resiko yang biasa dalam kehidupan ini, Amin.

AMIN
Lalu apa arti kematian bagimu?

TUNA S
Aku hanya melihat orang hidup. Tapi aku juga melihat banyak lagi orang mati. Hidup dan mati hanyalah 2 kesempatan yang sama resikonya. Tak ada yang istimewa, Amin. Di mataku, dalam saat-saat aku membedah pasien, hanya kesempatan itu-itu juga yang datang. Mereka bisa hidup. Mereka juga bisa mati. Dan untuk mengetahui semua itu aku cukup bergantung pada alat-alat dan pengetahuanku. Saya kira semua jelas, lurus dan sederhana.

AMIN
Itu pikiran dari mulut seorang pembunuh. Kau tidak menyadari, setelah kau terbiasa melihat penyakit, kau jadi tidak pernah punya arti istimewa tentang kematian.

TUNA S
Setiap orang bisa mati, Amin. Dan banyak pasienku telah membuktikan itu.

AMIN
Ya, tapi kau menjadi sama bodohnya dengan pasien-pasienmu itu. Setelah kau periksa mereka di sini, lalu kau bilang penyakitnya gawat. Mereka harus masuk Rumah Sakit. Diam di situ. Membeku bersama botol-botol infuse dan lolongan yang merana. Lalu kau cuma bilang, “Tuan, ini cuma sebuah resiko yang biasa”. Mengapa harus di Rumah Sakit, Tuan? Mengapa?

TUNA S
Amin, kau mulai mengigau. Kau tak bisa lagi mengontrol pikiranmu!

AMIN (mendesak Dokter).
Jangan remehkan aku. Tanganku memang lumpuh. Mataku tak melihat. Dan sebentar lagi aku akan menjadi pengarang yang mandul. Tapi kau mengidap penyakit yang lebih parah dari penyakit yang kupunyai. Kamu tak bisa menghargai lagi apa artinya kematian!

TUNA S
Lepaskan aku, Amin!

AMIN
Tidak! Kau harus berfikir dulu untuk tidak meremehkan aku!

ORANG TUA (mengetuk pintu keras-keras).
Dokter, apakah sudah tiba giliranku? Dokter?!

AMIN
Usir Orang tua sinting itu. Dia tidak sakit. Dia cuma mau menghina orang lain.

TUNA S
Aku tidak bisa, Amin. Dia pasienku. Lepaskan tanganmu!

ORANG TUA
Dokter, apa pengarang kita masih punya harapan? Kita tidak boleh melihat perang dunia lagi setelah ini.

AMIN
Usir dia! (Amin memperkeras jambakkannya).

TUNA S
Eeu, ........ Pak tua!

ORANG TUA
Namaku Umat. Aku tamu di sini, bukan?

TUNA S
Ya, ya, saya mengerti. Pak Umat, aku rasa aku harus mengadakan pembedahan di sini, segera. Jadi, pergilah dulu. Datanglah kembali besok pagi.

ORANG TUA
Apa Dokter pikir aku tidak perlu berdoa dulu untuk keselamatan pengarang kita?

AMIN
Usir dia! Atau kau yang harus kubedah dengan ini! (Amin mengambil pisau operasi dari keranjang alat-alat Dokter).

ORANG TUA
Dokter, boleh aku berdoa?

TUNA S
Pergilah. Kau membuang banyak waktu.

ORANG TUA
Baiklah, Tuna. Jadi kita akan bertemu setelah pembedahan itu, bukan? Baik! Pertemuan yang biasa.

AMIN
Pergiiii! (Orang tua terbatuk-batuk. Mengikik. Tertawa. Lalu menghilang dari panggung).

TUNA S
Dia sudah pergi. (Amin melepaskan pegangannya).

AMIN
Orang tua itu bersekongkol denganmu?

TUNA S
Aku tidak mengenalnya. Kurasa itu Ayahmu.

AMIN
Bohong! Kenapa dia bilang, “pertemuan yang biasa”. Apa artinya itu bagimu?

TUNA S
Kau tahu, dia kurang sehat kesadarannya?

AMIN
Aku tidak percaya. Kau menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam dari hal itu.

TUNA S
Amin, kenapa kau membawa aku ke tepi pembicaraan ini? Aku tidak menyukainya! (merobek kertas resep untuk Amin). Kau tahu, aku punya saudara seorang pengarang? Noni. Noni itu jelas seperti kau. Pikirannya tidak pernah bisa kumengerti.

AMIN
Aku mengerti apa yang harus kukatakan padamu. Sebagai Dokter, kau terlalu banyak diam di Rumah Sakit, Tuna. Sampai dirimu tak mengenal apa itu penyakit, apa itu kematian. Begitu biasa kau berdekatan dengan penyakit, begitu terbiasa kau melihat orang mati, sehingga antara penyakit dan kematian seperti telah menjadi hubungan yang rutin saja. Kau pun melihat kematian sebagai sesuatu yang rutin. Begitu juga hidupmui. Begitu juga caramu menangani pasien-pasienmu. Begitu rutin. Rumah Sakit tempat kau tinggal bersama pasien-pasienmu adalah tempat yang juga rutin. Penyakit apapun kau hadapi sebagai kejadian biasa. Peristiwa kematian yang bagaimanapun kau lihat sebagai peristiwa yang tak punya kekhususan. Kau bilang itu cuma resiko. Lalu bagaimana dengan hidupmu sendiri?

TUNA S (tertawa pahit).
Jelas aku sedang berhadapan lagi dengan Noni. Kau tahu apa artinya ini bagiku?

AMIN
Kau takut berhadapan dengan pendapat-pendapatnya.

TUNA S
Tidak! Aku lebih benci profesinya. Profesi yang membuat hidup ini jadi rumit. Bagaimana mungkin orang bisa hidup tenang, kalau pada tiap inci kehidupannya selalu ada 100 pertimbangan yang harus dipikirkan. Kapan dia akan melangkah? Kau tahu, Noni tidak akan pernah bisa melangkah! Hidupnya cuma diisi dengan bersungut-sungut. Menuliskan pikiran-pikiran yang membikin orang lain menjadi bimbang. Bahkan dirinya dimakan kebimbangan yang dibuatnya sendiri.

AMIN
Aku bukan Noni. Dan aku tidak pernah merasa berbuat seperti dia.

TUNA S
Lalu apa yang sudah berhasil kau buat dengan karangan-karanganmu? Akhirnya kau toh cuma diberi tangan yang lumpuh dan mata yang buta. Apakah dengan cara begitu itu kau memberi harga pada kehidupan?  Jawab pertanyaanku, Amin. Apakah kau merasa bahagia setelah ini? Noni telah hidup dengan sia-sia. Juga kehilangan dengan sia-sia.

AMIN
Apa maksudmu dengan kehilangan sia-sia?

TUNA Saya
Untuk apa tulisan-tulisanmu itu jika kau buta? Kau bilang kau menyukai peperangan. Kau sangat butuh kehidupan. Karena itu kau selalu mau bebas dari penyakit. Tapi kau menulis dengan tangan yang lumpuh dan mata yang buta. Lalu siapa yang akan tergerak oleh tulisanmu? Tulisan yang terbuat dari tangan yang lumpuh! Siapa pula yang keluar pandangan seorang buta! Sebagai Dokter, aku memang telah menjadi pekerja yang rutin. Tapi aku telah berusaha membaca kehidupan. Dan sekarang aku hidup di dalamnya. Semua pasien-pasienku, yang mati sekalipun, tak akan enggan mengucapkan terima kasih untuk jasa-jasaku pada mereka. Itu tandanya aku hidup!

AMIN
Kehidupan yang kau baca dari balik jendela Rumah Sakit!

TUNA S
Apa itu berbeda dengan kehidupan yang lain?

AMIN
Sangat berbeda. Itulah kehidupan yang membikin kematian tak punya arti apa-apa, selain sebuah kebiasaan. Bagaimana kau bisa menghargai dengan anggapan seperti itu? Bagiku, penyakit dan kematian adalah hal yang istimewa dalam hidup manusia. Itu bukan sekedar kebiasaan. Juga bukan sekedar perpanjangan. Karena hidup bukan perpanjangan dari kesakitan-kesakitan.

TUNA S
Lalu apa?

AMIN
Hidup adalah perjuangan untuk melumpuhkan penyakit dan menghalau kematian. Jika kita mendapat penyakit atau mati, itu adalah tanda bahwa kita masih terus berjuang. Dan perjuangan itu istimewa.

TUNA S
Aku benci dengan pikiran seorang pengarang. Pikiran itu membuatmu sombong. Kamu adalah orang sakit. Dan siapa tahu kamu sebentar lagi akan mati. Tapi pikiran sombongmu membuat Rumah Sakit jadi begitu nihil di depan matamu.

AMIN
Aku menolak dirawat di Rumah Sakitmu, karena Rumah Sakit sudah menerima kematian sebagai hal biasa. Di Rumah Sakit, kematian hanya menjadi kelanjutan dari suatu penyakit. Padahal, kematian adalah saat yang sangat khusus, dimana seorang manusia bisa menunjukkan perjuangannya yang sungguh-sungguh dalam mempertahankan saat-saat hidupnya yang paling akhir. Di sanalah manusia berperang untuk menghargai sebuah hembusan nafas, yang hanya untuk sebuah hembusan nafas. Kau tahu, betapa berharganya hidup. Karena hidup memang bukan hanya sebuah kebiasaan.

TUNA S
Sebagai Dokter, tugasku adalah melanjutkan kebiasaan-kebiasaan.

AMIN
Pekerjaanmu bukan kebiasaan Dokter. Pekerjaanmu adalah cerminan dari usaha manusia yang hidup. Jadi kau mesti jadi bagian dari kehidupan. Bukan menjadi bagian dari kematian. Kalau kau menganggap kematian sebagai hal yang biasa dari kematian. Kalau kau menganggap kematian sebagai hal yang biasa, berarti kau merendahkan profesimu yang luhur. Kau juga membunuh dirimu melalui profesimu itu. Tapi kau bilang, “Aku hidup? “. Hidup yang mana? Aku tak paham jalan pikiranmu, Dokter.

TUNA S
Kau tak paham?! (mengeras) lalu kenapa kau harus mengajakku sampai ke sini?! Kenapa kau bangkitkan lagi Noni dalam pikiranku?! (mengguncang Amin) kau toh cuma pasienku. Dan sekarang semuanya sudah kubatalkan. Pergi kau!

AMIN
Aku tidak bisa, Dokter.

TUNA S
Tidak bisa?!

AMIN
Aku belum kau sembuhkan.

TUNA S
Aaahh! Suster ..... Suster ..... (tak ada yang datang. sepi).

AMIN
Mereka mungkin tidak ada yang datang. hari sudah sangat larut.

TUNA S (Dokter gelisah. berjalan mondar-mandir. mengambil alat suntik seperti pemburu mencari mangsa).

AMIN
Ada apa, Tuna?

TUNA S
Kenapa kau masih di sini?! Aku harus menerima pasien lain.

AMIN
Aku pasienmu.

TUNA S
Tidak!
(sambil membantingkan alat suntik).
Tinggalkan aku sendiri!

AMIN
Kau selalu berkerja sendirian di sini?

TUNA S
Ini kamar pribadiku.

AMIN
Kau mengunci dirimu sendiri. Kau menata kamar ini persis seperti caramu memahami kehidupan. Di sini segalanya berbau kematian. Peti mati. Kepala Kerbau itu. Alat-alat yang serba tajam. Tengkorak. Foto-foto yang banyak ini. Semuanya mengurungmu. Siapa mereka, Tuna?

TUNA S (marah dengan tertahan).
Kau mau tahu siapa mereka?!
(menelentangkan Amin dengan kasar di atas peti mati).

AMIN
Dokter!

TUNA S
Kamu pembohong. Matamu tidak buta!

AMIN
Dokter, Dokter! Apa ini?!

TUNA S
Kau bisa melihat semua yang ada di kamarku. Kau pembohong!

AMIN
Dokter, aku cuma merasakannya. Aku tak tahu apa-apa tentang kamar ini.

TUNA S
Dusta! Kau tahu semuanya. Kau sengaja menyelidiki aku dengan caramu yang konyol itu.
(merebut gunting dari tangan Amin).
Kau memang seperti Noni. Mau tahu segala sesuatu. Kau pun harus menerima nasib seperti Noni
(hendak menusukkan gunting ke mata Amin).

ORANG TUA (mengetuk keras di pintu).
Dokter, apakah giliranku sudah tiba?

TUNA S
Tidak sekarang, Umat! Waktunya belum tiba.

AMIN
Kudengar ia sudah merintih? Atau bersorak?

TUNA S
Itu bukan urusanmu

ORANG TUA
Kau harus menyelamatkannya tuan, kau tahu maksudku

TUNA S
Diam! Segalanya bisa kuselesaikan

AMIN
Dokter, jangan dokter. Kau mau membunuh saya!?

ORANG TUA
Cepatlah Tuna, aku tak sabar lagi mendengar suaranya.

AMIN
Dokter, jangan! Kau Cuma akan membunuh dirimu sendiri

TUNA S.
Kau terlanjur mengingatkan aku pada Noni. Dia tidak boleh kembali, dia membuatku repot. Kau juga!
(menusukkan gunting pada Amin, Amin meloncat menghindar. Musik dentuman meriam terdengar lagi. orang tua tertawa mengekeh keras)

ORANG TUA
Dokter, apa pengarang kita selamat? Aku sudah berdoa lama sekali untuknya. Apakah aku boleh melihatnya sekarang dokter?

AMIN
Tuna, aku sudah sembuh. Simpan gunting itu.

TUNA S.
Aku tahu kau tidak sakit. Aku tahu.

AMIN
Aku kembali untuk Noni.

TUNA S.
Siapa kau sebenarnya?

AMIN
Aku datang untuk menghidupkan kembali Noni dalam pikiranmu. Simpan gunting itu.

TUNA S. (menyerang Amin dengan gunting)
Noni tidak akan kembali!

AMIN (mengambil pisau dari keranjang alat-alat)
Aku bisa melawanmu Tuna
(Dokter mundur. Amin membuka tutup peti mati)

TUNA S.
Jangan, jangan kau buka peti itu!

AMIN
Aku harus membukanya!

TUNA S.
Aku bisa memanggil polisi untuk menangkapmu, Amin. Kau mau merampok!

AMIN
Aku juga bisa panggil hakim untuk menghukummu. Kau sudah menyembunyikan mayat di sini!

TUNA S.
Jangan! Jangan kubilang, Amin!
(Amin berhasil membuka peti mati. Dokter terpelanting ke sudut)

AMIN (dari dalam peti mati, Amin mengangkat sebuah kerangka tubuh manusia yang sudah amat berdebu kehitaman)
Oh...

TUNA S.
Jangan ganggu dia! Dia milikku!

AMIN
Inilah rupanya yang selama ini kau sembunyikan, dokter. Sebuah kerangka mati. Sebuah hati yang juga mati. Inilah hatimu. Hati yang kau simpan dalam bejana beling di laboratorium rumah sakitmu (Amin mematahkan salah satu tulang)
kau pelihara hatimu seperti kau menyembunyikan tulang mati ini.

TUNA S.
Kau perampok. Siapa kau? Aku tidak mengenalmu, Amin.

AMIN
Kau memang tidak mengenalku. Tapi kau masih bisa mendengar suara Noni di hadapanmu.

TUNA S
Noni sudah pergi. Dia pergi dengan sia-sia.

AMIN
Andalah yang menyia-nyiakan pikirannya

TUNA S
Dia selalu bikin aku tak bisa bekerja!

AMIN
Itu karena kau selalu bersembunyi di balik jendela rumah sakit. Di kamar mayat yang anyir ini. Itulah kehidupan yang membuat kematian tak punya arti apa-apa, selain menjadi sebuah kebiasaan. Bagaimana kau bisa hidup dengan anggapan seperti itu, dokter. Kematian lebih berharga daripada kelahiran. Kita sudah berusaha banyak untuk sekedar bisa lahir. Lalu kenapa kematian bisa menjadi sesuatu yang biasa bagimu?

TUNA S (jengkel)
Kau bisa berkata begitu, karena kau belum terbiasa bekerja seperti aku.

AMIN
Aku menulis, dokter. Setiap hari, setiap waktu. Setiap aku menginginkannya.

TUNA S
Ya! Dan tulisan-tulisanmu itu cuma kau nikmati untuk dirimu sendiri. Kau persis seperti Noni. Kau pandai. Tapi kau tidak memberikan kehidupan pada orang lain. Aku sudah berjasa menyembuhkan beratus-ratus orang. Kau lihat, mereka semuanya tersenyum padaku. Tapi kau? Apa yang sudah kau buat untuk kehidupan? Bisamu cuma merampok dan mengganggu ketentraman pikiran orang. Apakah cuma itu pekerjaan seorang pengarang? Kau tak berhak menerima kata terima kasih dari siapa pun, karena kerjamu cuma menyulitkan kehidupan.

AMIN
Dengan tulisan-tulisanku, aku memang tidak langsung memberikan kehidupan pada orang lain. Tapi di sini aku ingin menawarkan kekayaan pada orang lain.

TUNA S
Kekayaan? (tertawa)

AMIN
Ya! Kekayaan pikiran. Bahwa penyakit dan kematian adalah hal yang berharga bagi hidup. Berharga karena dengan datangnya penyakit dan kematian, kehidupan menjadi perjuangan yang istimewa. Sambil terus membela kehidupan, aku ingin mereka tegak berperang melawan penyakit dan kematian. Kalaupun akhirnya mereka kalah, itu tak membatalkan usahanya dalam melawan. Melalui tulisan-tulisanku, akan aku berikan pada mereka nafsu berperang buat membela kehidupan. Juga berperang melawan hati yang mati seperti kepunyaanmu. Biarkan mereka sadar tentang itu, dokter.

TUNA S
Mereka? Mereka siapa?

AMIN
Orang-orang itu, pasien-pasienmu. Mereka yang akan datang berobat padamu.

TUNA S
Mereka yang datang padaku adalah pasienku. Mereka semua akan patuh pada anjuran-anjuranku. Cuma kau yang perampok di sini. Kembalikan barang itu. Itu alat penelitianku! Dan aku hanya akan berpikir berdasarkan itu!

AMIN
Kau tak akan paham perasaanmu sendiri! Hatimu memang Cuma hidup seperti benalu merekat bersama kerangka mati ini. Kalau begitu, inilah jawabanku!
(Amin membanting dan menghancurkannya)

TUNA S
Amin! Gila kamu!
(Dokter membunyikan bel, keras-keras)
polisi! Panggil polisi! Suster! Satpam! Keamanan!

ORANG TUA
Saya datang dokter, saya datang!
(Orang tua membawa bantalan. Memandang heran)

AMIN
Diam di situ

TUNA S
Dia mengacau! Panggil polisi!
(orang tua beranjak)

AMIN
Diam di situ! Sekarang tiba giliranmu!

ORANG TUA
Oh, saya? Jadi kamu sudah sembuh? Wow, kau tampak hebat, Amin. Matamu sudah kembali. Dokter, dokter, do’aku tidak sia-sia bukan? Astaga, aku yakin aku tidak akan melihat perang dunia lagi setelah ini. Apa kubilang, amin. Dia dokter terbaik di kota ini.

AMIN
Sekarang giliranmu!

ORANG TUA
O, baik...baik
(orang tua batuk-batuk, muntah, nampak payah, duduk di meja pemeriksaan)

AMIN
Periksa dia dokter!

TUNA S
Tidak!
(pada orang tua)
dia perampok. Dia mesti ditangkap. Lihat! Itu alat penelitiaku. Dia hancurkan alat itu. Tanpa alat itu, aku tak bisa memeriksamu. Dia pengacau. Dia mesti ditangkap.

AMIN
Kau sakit, pak tua. Dokter itu harus bisa menyembuhkanmu, tanpa bantuan barang rongsokan ini (Amin membuang kerangka)

TUNA S
Dia sinting! Dia kehabisan akal!

ORANG TUA
Oh, aku belum pernah lihat ada pengarang seberani dia

TUNA S
Dia bukan pengarang. Tapi dia perampok!

ORANG TUA
Dia pengarang, Tuna! Kau tidak melihat tanda-tanda itu di matanya? Dia bisa menambah devisa negara dengan mata setajam itu. Kita harus menyelamatkan dia dokter? Kau tahu apa maksudku? (mendekati Amin)
Amin, setiap orang memang bisa keliru. Dia pernah disebut dokter terbaik di sini.

ORANG TUA
Sudah kuduga kau akan berkata seperti itu. Hari ini dia memang betul-betul mengecewakanmu. Aku juga kecewa, Amin. Sangat kecewa.
(mengubah air mukanya)
kau harus tahu, sudah puluhan kali sebenarnya aku datang kemari. Setiap kali datang penyakitku selalu begini.
(orang tua batuk-batuk dan muntah)
ini betul-betul penyakit dan aku benar-benar sakit. Tapi dia tidak pernah bisa menyembuhkan aku sampai sekarang. Inilah rahasia kecacadannya

TUNA S
Kau ngawur, Umat!

ORANG TUA
Lihat, dia orang yang cepat tersinggung kalau kelemahannya kubongkar. Aku tidak puas pada kerjanya, Amin. Setiap kali gagal menyembuhkan aku, dia selalu pura-pura memberi nasihat. Dia akan bicara soal kematian yang hangat. Kalau kita mati, katanya bidadari akan memberi kita selimut. Lalu kita akan dituntunnya memasuki surga, dan diberi KTP baru di sana. Segala beban kehidupan akan lepas dengan sendirinya, lalu dia akan mengajakku duduk di depan peti mati ini
(membuka tutup peti mati)
dan dia mulai merayuku buat masuk ke dalamnya
(menangis)
bayangkan, amin.

AMIN (marah)
Tuna, kau pembunuh. Kamu pembunuh!

ORANG TUA (mengayunkan butalan ke kepala Amin. Amin jatuh, masuk ke peti mati)
Ya, dia pembunuh.
(tertawa, memandangi Amin)
kita sudah menyelamatkannya Tuna. Tugas ini harus selalu kita pikul bersama, dokter. Dia akan segera hidup tenang dan melupakan semua tulisan-tulisanya. Hiduplah pengarang!
(tertawa)

TUNA S
Anda cekatan sekali. Anda datang tepat pada waktunya.

ORANG TUA
Ya!
(tertawa berat)
apakah giliranku sudah tiba?

TUNA S
Ya, duduklah
(menutup peti mati)

ORANG TUA (batuk-batuk dengan hebat, lalu muntah)

TUNA S
Apa cita-cita Anda?

ORANG TUA
Saya sakit, dokter. Saya ingin sembuh

TUNA S
Siapa namamu?

ORANG TUA
Orang-orang memanggilku UMAT. Tapi saya hanya TAMU di sini. Di tempatku, orang lebih suka memanggilku MAUT.

TUNA S
Apa!?

ORANG TUA (terkekeh)
Saya UMAT, saya TAMU di sini. Tapi orang memanggilku MAUT
(Sambil membuka buntalan yang dibawanya. Terlihat tengkorak yang sudah sangat tua)

TUNA S
Siapa!?

ORANG TUA
Orang memanggilku Maut! Maut!! Maut!!!
(tertawa keras)

TUNA S
Jangan, saya merasa takut sekarang.

ORANG TUA
Tugas ini harus kita pikul bersama, dokter.
(mengasongkan tengkorak pada tengkorak)
Ayolah, waktunya sudah datang.

TUNA S
Apa kamu tidak bisa melakukannya sendiri?

ORANG TUA
Tidak! Tugas kita masing-masing sudah pasti. Ini tugasmu. Pakailah!

TUNA S
Aku capek!

ORANG TUA
Kau sudah biasa melakukannya. Kau akan segar setelah melakukannya.

TUNA S
Dadaku sesak. Aku mau lari
(terduduk)

ORANG TUA
Tidak! Tugasmu di sini
(memakaikan tengkorak pada kepala Amin)

TUNA S
Jangan! Jangan ikat aku. Aku mau lari. Aku mau hidup!

ORANG TUA
Di sini hidupmu. Lihat padaku
(memberikan jarum suntik pada tangan dokter)
waktumu sudah datang. Ayo, Tuna. Kita tak boleh terlambat. Kita tidak boleh menyesal. Ayo!

TUNA S (menyuntik pada tangannya, menyedot darah dari pangkal lengannya)
Aku capek. Aku capek sekali.

ORANG TUA (bersemangat)
Hisap Tuna, hisap. Kita tidak boleh ragu.

TUNA S. (bangkit, berteriak)
Kasih aku pintu, aku mau keluar!
(memandang jarum suntik yang sudah berisi darahnya sendiri)

ORANG TUA
Di sinilah pintumu, mari.
(dihadapkan pada peti mati yang terbuka. Orang tua mengambil tangan Amin).
Ambilah dia!

TUNA S.
Saya takut sekarang...

ORANG TUA (keras)
Jarum itu lapar, Tuna. Jarum itu lapar. Ambil dia!

TUNA S. (meronta)
Tidaaak!!! (menusukkan jarum suntik ke tangan Amin. Serentak terdengar suara konfigurasi vokal: UMAT, TAMU, MAUT, MAUT berulang-ulang. Di sela-selanya terdengar musik dentuman meriam dan desingan suara senjata yang ditembakkan. Panggung bergoyang keras, photo-photo pasien dan alat periksa berjatuhan. Seekor merpati putih melesat dengan cepat keluar dari peti mati)

ORANG TUA
Goblok! Kamu gagal! Tangkap dia. Tangkap!! Kamu tidak boleh gagal.

TUNA S.
Jarum ini patah. Saya butuh jarum lagi!

ORANG TUA
Tangkap ini!

TUNA S.
Beri saya jarum lagi. jarum! orang tua, saya capek. Mana jarum suntik saya. Beri saya jarum, jarum! Saya capek! Saya capek!

ORANG TUA
Tangkap!!!

TUNA S.
Saya harus menyuntiknya! Saya harus menyuntiknya!
(Dokter terus mengejar merpati putih. Tapi merpati terbang lepas menuju langit. Lampu padam)


TAMAT

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Naskah Drama Bius Karya Benny Yohanes"

Posting Komentar