5 Besar Lomba Menulis Cerpen PENTRA 2015

5 Besar Lomba Menulis Cerpen PENTRA 2015 - Assalamu’alaikum… selamat pagi selamat berjumpa kembali dengan blog yang sederhana ini. Pada kesempatan pagi ini aku ingin menyampaikan 5 finalis cerpen yang ceritanya bagus dan menarik serta sayang jika dilewatkan.

Pada tanggal 28 Maret 2015, Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Wiralodra (HIMBASI UNWIR) telah mengadakan suatu kegiatan yang bernama PENTAS SASTRA 2015  dengan tema “Mengembangkan Kreatifitas Mahasiswa dalam Bersastra” yang bertempat di Aula Nyi Endang Dharma Ayu Unwir dengan Muhammad Jammal Baligh dipercaya sebagai ketua pelaksananya.

Kegiatan yang biasa dikenal dengan PENTRA ini di dalamnya terdapat berbagai macam perlombaan, seperti: Lomba Baca Puisi, Lomba Musikalisasi Puisi, dan Lomba Pementasan Drama, serta Lomba Menulis Cerpen ini diikuti oleh 9 kelas dari semester 2, 4, dan 6.

Yuk, intip juara 1 sampai 5 cerpen buatan anak-anak Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Wiralodra Indramayu yang lolos dari sekitar 20 peserta lomba….



Juara 1
Gita Indah Safitri (semester 2A)
Kisah Sehelai Kelopak Mawar
Mawar kembali mekar.
Aku (jenis tanaman dari genus rosa)  kembali menyapa bumi saat male gamets berpindah pada female gamets, hingga membuatku beserta teman-temanku hadir kembali. Ada saat dimana aku akan kembali hadir di bumi, muncul di setiap ujung tangkai yang berduri setelah melalui proses yang cukup melelahkan. Ya, aku hanya sehelai kelopak mawar dari sekian banyak kelopak mawar yang ada disetiap tangkai, bahkan disetiap ranting pohon yang temasuk dalam ordo Rosales.
Jika saat aku kembali hadir ke bumi, aku akan hidup bersama tangkai yang berduri. Tapi, jika aku kemudian dipetik aku akan hidup di sebuah kios bersama jenis bunga lainnya, itupun jika aku memiliki kualitas yang tinggi. Namun, jika aku memiliki kualitas yang rendah dan tidak menyatu bersama teman-temanku disebuah tangkai, maka riwayatku akan berakhir ditempat peristirahatan terakhir untuk mahluk yang bernama manusia. Ah, sungguh nasibku menjadi nasib yang buruk jika aku harus berakhir ditempat yang menyeramkan itu.
Saat ini musim tumbuh bagi mahluk sejenisku, dan aku akan senantiasa menyapa bumi dengan senyum sederhana yang ku punya, walau sebenarnya aku merasa cemas, gelisah, dan terkadang ada rasa kesal. Aku akan dipanen oleh petani-petani bunga mawar. Ah, Tuhan! Apa aku akan menjadi bunga yang berkualitas tinggi? Atau sebaliknya? Ku harap aku bisa menjadi sehelai kelopak mawar yang beruntung, kelopak mawar yang singgah ditangkai berduri, bersama helaian kelopak lainnya. Ku mohon Tuhan! Kali ini saja jangan biarkan aku menghabiskan sisa hidupku ditempat menyeramkan itu. Ku mohon Tuhan!.
Hari pengklasifikasian terhadap mahluk bernyawa sejenisku tiba, aku berharap agar permohonanku terwujud. Hingga akhirnya… ya! Aku masuk kedalam kategori bunga yang berkualitas, oh Tuhan terimakasih! Aku merasa senang akan dibawa dan ditempatkan disebuah kios bersama beragam jenis bungan lainnya. Aku kini punya harga yang mahal. Tak sembarang orang dapat memiliki tangkai yang kusinggahi bersama teman-temanku ini. Ku harap jika suatu saat nanti ada manusia yang membayarku dengan pecahan rupiah, manusia itu tetap menjaga tangkai ini hingga aku dan teman-temanku mengering dan kemudian mengakhiri riwayat kehidupan ini.
Sejenak aku pejamkan mataku yang mulai lelah melihat bumi ini, dunia ini. Bumi yang tidak semakin baik. Ah! Terkadang aku tak menyukai mahluk bernyawa bernama manusia itu. Bumi ini semakin rusak akibat ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Tak peduli akan keselamatan bumi yang dipijak. Tak jarang mereka juga menghabisi riwayat hidup mahluk sejenisku. Padahal kami para tumbuhan tak pernah mengganggu kehidupan manusia, tak pernah merusak alam, kami tumbuh untuk memberikan manfaat yang berlimpah bagi manusia. Kasihan memang mahluk sepertiku. Tak pernah mendapatkan perlindungan dari tangan dingin manusia. Hingga tak jarang mahluk sejenisku selalu menggerutu bahkan membenci mahluk yang bernama manusia.
Ku buka kembali indera penglihatanku. Aku terkejut. Melihat dia. Yah… retina mataku menangkap pemandangan terindah yang pernah ku lihat. Di pinggir jalan itu, berjalan seorang pria. Berjalan dan terus berjalan, hingga langkahnya mendekati kios bunga dimana aku berada. Pria itu kemudian memasuki kios. Oh Tuhan ini pemandangan paling indah yang pernah ku lihat!. Entah mengapa, aku merasa tak ada pemandangan yang paling indah selain ini, pria itu begitu… tampan. Aku terus memandanginya dan berteriak dalam hati agar ia menoleh ke arah ku. Tak mungkin aku berteriak menggunakan mulutku, karena ia tak mungkin mendengarnya.
Tak kusangka begitu ia memalingkan wajahnya kearah sekumpulan tangkai mawar, dimana aku berada diantara kerumunan tangkai-tangkai itu. Tampaknya ia menyukai mawar, sejak tadi yang ia lakukan hanya memandangi kami. Wajahnya sangat tampan, senyum merkah yang tak bosan untuk dilihat, kulitnya yang putih bagaikan Polaris (bintang terbesar pada rasi ursa major yang terletak hampir tepat pada kutub langit utara) membuat retina mataku terpaku pada mahluk yang bernama manusia itu.
Ah tidaaaak! Tuhan! Tanganya kian mendekati tangkai yang kusinggahi. Ku pejamkan mataku sejenak, dan kemudian ku buka kembali. Tak menyangka! Aku, salah sehelai kelopak mawar kini berada digenggaman tangan pria itu. Untuk apa dia memilih tangkai yang kusinggahi? Mengapa tak memilih yang lain? Apa ia mendengar teriak suaraku tadi?.
“Tidak mungkin pria itu mendengar suaramu!”. Celoteh helaian kelopak lain yang berada satu tangkai denganku.
“Lantas mengapa ia memilih tangkai ini?”.
“Kamu tahu, kita memiliki warna yang indah. Tangkai yang menjadi penopang tubuh kita juga sangat baik. Ribuan orang berharap untuk mendapatkan kita.  Itu alasannya mengapa pria itu memilih kita untuk menjadi miliknya”.
“Untuk dia? Seorang pria dapat menyukai mahluk bernyawa seperti kita?”. Tanyaku sedikit heran.
“Bukan! Bukan untuk disimpannya! Tapi untuk diberikan kepada orang yang dia sayangi”.
“Siapa? Ibunya? Ayahnya? Atau ….”.
Belum usai aku berbincang dengan temanku, pria itu kini membawaku dan teman-temanku yang lain keluar kios.
Perlahan tapi pasti, ia membawa kami kesebuah tempat yang ada di kota kembang. Tempat apa ini? Aku melihat mahluk sejenisku tumbuh subur ditempat ini. Tak lama kemudian, lensa cokelatku melihat gadis cantik yang langkahnya kian mendekati pria yang kini menggenggam tangkai duri penopang tubuhku.
“Nelwaan!”. Teriak gadis itu. Ku alihkan kembali tatapanku kepada pria yang ternyata bernama Nelwan. Wajahnya sangat ceria, sepertinya ia telah menantikan kehadiran gadis tersebut.
“Ryn, ini hadiah ulang tahun untukmu”.
“Ini untukku?”.
“Iya Ryn, ku mohon jagalah mawar ini sebaik mungkin selama kamu memilikinya”.
Ah, Tuhan! Apa lagi ini? Dunia apa ini? Sandiwara apa ini? Aku makin tak paham akan jalan fikiran manusia. Daya imajinasinya tak pernah bisa aku terka. Kini aku harus memilki pemilik yang berbeda. Di tangan gadis itu? Apa aku dan teman-temanku bahagia hidup mendampingi gadis itu? Ah sudahlah, ini takdirku! Ini kisah hidupku! Kisah sehelai kelopak mawar.
“Terima kasih nelwan, aku berjanji aku pasti menjaga bunga ini dengan baik”. Ujar gadis cantik berwajah oriental itu.
Tak cukup sampai disitu, manusia bernama Nelwan itu juga mempersembahkan nuansa manisnya kue tart. Gadis yang kini menggenggam tangkai mawar kami, terlihat begitu tersanjung atas apa yang diperolehnya. Ia pun tak lupa turut mengucapkan terima kasih kepada Nelwan.
“Terima kasih Nelwan, kau teman sejatiku. Kau orang kedua yang sangat peduli kepadaku setelah Sherdy. Kau begitu baik padaku. Menjadi sahabatku sejak kecil!”.
“Sherdy? Kau dan Sherdy?”. Seketika raut wajah Nelwan berubah.
“Iya aku kini bersama dengannya. Kau bahagia bukan jika melihatku bahagia?”.
Ah, siapa lagi Sherdy? Manusia yang seperti apalagi dia? Ini semakin membuatku bingung memahami jalan kehidupan manusia. Aku tak begitu cerdas untuk mengerti jalan hidup mahluk yang memiliki akal itu. Retina mataku kembali terpaku pada raut wajah Nelwan. Aku rasa Nelwan bahagia melihat sahabatnya berbahagia. Tapi, mengapa pandangannya terlihat sendu? Apa nelwan tak bahagia? Aku semakin merasa menjadi kelopak mawar yang bodoh. Ku lihat Nelwan menundukan kepalanya dan terlihat menghela nafas. Tak lama kemudian ia mengangkat kepalanya dan tersenyum pada tangkai mawar yang digenggam sahabatnya. Dia tersenyum padaku! Pada tangkai mawar!.
“Jangan salah memahami pikirannya! Cukup kebodohanmu sekali saja!”. Ujar temanku.
“Kau memahminya?”.
“Tentu saja aku dapat memahaminya”.
“Ceritakan padaku apa yang Nelwan rasakan, Kau memahaminya bukan?”.
“Aku tak dapat menceritakan kepadamu bodoh! Karena sesaat lagi aku akan mengering, dan mengakhiri riwayat hidupku”.
“Ah, TIDAKKK! Kau kawanku yang menyadari kebodohanku, kini engkau pergi. Lebih dulu mengering dan mengakhiri riwayat hidup ini”.
Sejenak ku lupakan temanku yang kini telah mengering. Kulihat kembali drama hidup mahluk yang bernama manusia itu. Aku terkejut. Mana Nelwan? Mana pria tampan itu? Ah, aku terlewat untuk menyaksikan drama tadi. Mengapa Nelwan pergi meninggalkan sahabatnya sendirian? Bukan kah Nelwan begitu peduli pada sahabatnya? Lantas mengapa meninggalkannya begitu saja?. Kemudian ku lihat raut wajah gadis itu, ia menangis? Apa yang sudah terjadi? Ah, aku bodoh! Benar-benar bodoh melewatkan bagian kisah hidup kedua mahluk itu. Gadis itu segera melangkahkan kakinya dengan sangat kencang, berlari dan terus berlari. Kencang yah.. kian kencang. Dia mengajaku berlari kencang. Hingga ia berhenti disebuah gedung mewah. Ia meletakkanku diatas permukan kain yang begitu lembut, yang ia gunakan sebagai penghangat saat tidurnya nanti.
Aku masih terpaku memandangi gadis itu. Ia masih menangis. Tak berhenti. Justru semakin deras air matanya mengalir. Ia menggigit bibirnya, seolah menahan tangis. Kali ini saja Tuhan ku mohon aku ingin menjadi air matanya, agar aku memahami perasaannya dan mengerti masalahnya. Jangan menangis gadis cantik! Teriakku pada gadis itu.
“Tak perlu kau berteriak kencang! Gadis itu tak akan mendengar suara mahluk sejenis kita. Tak perlu juga kau berharap menjadi air matanya supaya kau memahami masalahnya. Kau tau mengapa gadis itu menangis? Ia kehilangan sahabatnya hanya karena seorang pria yang dicintainya. Kau tahu kejadian tadi? Nelwan begitu marah besar kepada Auryn. Yah, gadis itu bernama Auryn. Nelwan cemburu akan hubungan yang dijalin Auryn bersama kekasihnya Sherdy. Kau tahu? Untuk apa Nelwan membeli kita? Untuk dipersembahkan kepada Auryn dan saat itu juga Nelwan ingin mengungkapkan perasaannya kepada Auryn, tapi sayangnya Nelwan terlambat satu langkah dibandingkan Sherdy. Oleh sebab itu Nelwan marah dan meninggalkan Auryn bersama kita dipinggir jalan!”. Tutur sehelai kelopak mawar disampingku.
Kini aku memahami tangis gadis cantik yang bernama Auryn itu. Ia tak mau kehilangan sahabatnya, namun disisi lain ia juga tak ingin meninggalkan kekasihnya, Sherdy. Ah, Tuhan ini kah cerita hidupku, cerita sehelai kehidupan kelopak mawar. Menyaksikan pertengkaran kedua mahluk, yang sebenarnya mereka saling peduli dan saling menyayangi. Bahkan saling mencintai. Nasibku mungkin tak seberuntung kelopak mawar diluar sana, yang mungkin saja justru memiliki kisah yang sangat menyenangkan dibandingkan kisah ku ini. Kisah yang sedih. Ah, Tuhan! Kisah ku ini sungguh tak kusukai.
Setelah peristiwa itu, Auryn mulai menjauh dari Nelwan. Aku melihat mereka begitu acuh tak acuh, bahkan saat bertatap muka ditengah jalan. Seolah tak saling mengenali. Bagaikan musuh. Setiap saat berjumpa, keduanya selalu menciptakan tatapan yang tajam dan matanya seolah berbicara bahwa mereka kini saling membeci. Tak lagi saling peduli. Entah seberapa tak berartinya kata sahabat dimata mereka.
Sementara itu, aku menyaksikan Auryn kian dekat dengan Sherdy. Bahkan setiap saat Auryn kembali pulang ketempatnya, dan duduk dihadapanku, aku selalu melihat ia tersenyum gembira. Aku cukup senang menyaksikan kisah hidup Auryn. Tapi bagaimana dengan Nelwan? Apa ia juga bahagia di luar sana? Pria yang pertamakalinya ku lihat. Apa kabarnya saat ini? Apa ia juga merasakan hal yang sama seperti Auryn? Aku sangat menantikan kabarnya Tuhan! Ku mohon padamu ya Tuhan… dekatkan kebahagiaan kepada Nelwan.
Hari demi hari, waktu demi waktu, bahkan detik demi detik. Hari-hariku kian berlalu. Ku jalani kisah hidupku bersama gadis cantik itu. Bersama Auryn. Sudah hampir dua bulan aku bersamanya. Menjadi saksi hidupnya. Dan selama itu juga tak pernah ku lihat lagi tangisan dimatanya, wajah sendunya.
Usiaku semakain menua, ah apalah arti usia bagi mahluk sejenisku? Yang ku tahu usiaku tak begitu panjang. Aku mudah mengering, dan lihatlah kini, kelopak lain disekitarku mulai mengering satu persatu dan mulai meninggalkanku, yang kini tersisa hanya tiga helai kelopak mawar. Tangkai yang ku pijaki pun semakin menua. Bahkan sudah kehilangan daunnya. Kini tinggalah aku dan kedua temanku yang lain yang masih bertahan diatas tangkai yang berduri ini. Aku dan kedua temanku sangat menyukai kisah hidup Auryn saat ini, ia terlihat begitu bahagia. Yah, bahagia! Walaupun aku tidak tahu apakah Nelwan juga bahagia.
Dan kini, tepat dua bulan aku menyaksikan skenario kehidupan Auryn bersama Sherdy. aku bersyukur Tuhan! kini aku masih bertahan di dunia ini. Sayangnya, kedua kawanku kini telah pergi. Meninggalkan aku sendiri. Aku yang kini menjadi satu-satunya saksi perjalanan hidup Auryn. Hingga suatu hari, aku melihat kejadian yang tak pernah ku duga. Tak pernah ku kira. Auryn. Yah Auryn. Gadis cantik itu kini menghadirkan kembali kesedihannya. Rupanya sang kekasih Sherdy, telah memupuskan harapannya. Menghancurkan impian gadis bersuara alto itu. Sherdy meninggalkan Auryn. Bahkan peristiwa ini lebih kejam dibandingkan peristiwa dua bulan yang lalu saat Auryn ditinggalkan Nelwan. Pasalnya, Sherdy meninggalkan Auryn demi gadis lain yang dicintai oleh Sherdy.
Auryn tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia berlari kencang dengan menggenggam tangkai yang merupakan tempatku berdiri, kemudian ia berhenti didepan halte dan mengistirahatkan langkah kakinya sejenak. Raut wajahnya begitu sendu. Sedih yang mendalam yang kini ia rasakan. Ia menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Mendongakan kepala demi menahan air matanya agar tidak lagi menetes dan ia mulai menghela napasnya. Jangan menangis gadis cantik! Kau tak boleh bersedih!. Ah, ia sama sekali tak mendengar suaraku!. Teriakkan ku!. Sudah dapat kupastikan itu.
Matanya terlihat memerah karena menahan tangis, dan ia masih menggigit bibir bawahnya dan juga meremas tangannya. Tidakkah manusia di sampingnya itu melihat ia yang sedang bersedih? Kenapa mereka bersikap acuh? Ah, saat ini individualisme manusia benar-benar parah.
Sejenak kemudian, saat ia membungkamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya itu. Hadir mahluk yang bernama manusia pula didepannya. Mulai mendekatinya. Dan menyerahkan kotak berukuran sedang dan berbentuk persegi. Kotak itu berwarna cokelat tua dan dilingkari oleh pita berwarna emas. Auryn bingung begitu datang seorang pria menghantarkan kotak tersebut. Siapa pria itu? Dan siapa yang mengirimkan kotak ini? Apakah Sherdy? apakah ia menyesal telah menyakiti hatiku? Tanya Auryn dalam hatinya.
Aku melihat Auryn segera bergegas kembali kerumahnya. Kini aku yang merupakan sisa sehelai kelopak mawar kian setia mengiringi langkah kehidupan yang Auryn tulis. Auryn segera membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah kaset dan sepucuk surat tak bernama. Akupun ikut memiliki rasa penasaran akan seseorang yang mengirim kotak tersebut. Siapakah gerangan?
Aku bagaikan pungguk merindukan bulan
Memimpikan suatu hal yang mustahil kudapatkan
Melepasmu, membiarkanmu jauh dariku, dari hidupku
Adalah sebuah hal yang menyayat hatiku
Aku yang biasanya menjagamu harus merelakanmu tanpa ku
Taukah setiap detik, menit, jam aku teringat selalu padamu
Melihatmu tertawa dan tersenyum cukup membuatku bahagia
Namun melihat tangismu membuatku merasa bersalah
Membuatku lemah tak berdaya, aku menyesal
Aku tak bisa menjagamu dan menghapus air mata dipipimu
Di sini aku hanya bisa mendekap erat bayangmu dan semua kenangan kita
Jikalau waktu mengijinkanku untuk bersamamu walau hanya sedetik saja
Inginku ungkapkan segala rindu dan rasaku ini padamu
Aku melihat wajah Auryn tertegun membaca surat itu. Auryn segera mengambil sebuah kaset yang terdapat di dalam kotak itu. Lalu Auryn memutar kaset itu dilayar televisi yang ada di depannya. Betapa terkejutnya Aku dan Auryn saat melihat isi kaset itu yang ternyata berisi movie maker foto-foto persahabatan Auryn dengan Nelwan dari SMP hingga detik-detik sebelum Auryn dan Nelwan bertengkar. Dan Auryn pun dikejutkan kembali dengan munculnya video Nelwan memegang gitar seraya duduk disebuah kursi berwarna merah jambu. Di video itu nampak sebuah raut wajah yang menyimpan sedih.
“Lagu ini untukmu Auryn Sovia… “. Ungkap Nelwan. Auryn terlihat begitu terkejut. Nelwan mulai memetik gitarnya dan memainkan sepenggal lagu If I Let You Go-nya Westlife.
Night after night, I hear my self say… Why can’t this feeling just fade away… there’s no one like you… you speak to my heart… it’s such a same, we’re worlds apart… I’m too shy to ask… I’m too proud to lose… but sooner or latter or gotta choose… and once again I’m thinking about… taking the easy way out… but if I let you go, I will never know… what my life would be, holding you close to me… will I ever see you smilling back at me? How will I know… If I let you go?
Tak cukup sampai disitu, Nelwan juga mencurahkan isi hatinya kepada Auryn melalui video yang dibuatnya.
“Auryn, maaf aku hanya dapat mengungkapkan isi hatiku melalui video ini. Terserah kamu akan berpendapat seperti apa. Menganggapku tidak gantle! Banci! Itu hak kamu Ryn. Tapi yang jelas aku akan bilang bahwa aku menyayangimu, mencintaimu. Tapi aku tahu Ryn, ungkapan perasaanku ini tak berarti apa-apa untukmu. Aku tahu kamu lebih menyukai laki-laki lain. Aku juga tahu, selama ini aku tidak bisa menjadi sahabat yang baik untuk kamu. Maafkan aku Ryn, aku meninggalkanmu dan membiarkanmu terluka”. Tutur Nelwan.
Auryn kembali menangis. Yah, kali ini aku memahami apa yang sebenarnya Auryn rasakan. Auryn tak menyangka, betapa tulus hati Nelwan untuk Auryn. Dan betapa sakitnya Nelwan memendam perasaannya selama ini. Betapa kuatnya Nelwan melihat Auryn menyukai orang lain dan bukan dia. Betapa bodohnya Auryn! Menyia-nyiakan orang yang benar-benar menyayanginya sepenuh hati. Ah, Tuhan! Perasaanku selalu saja tak stabil, terkadang aku membela Auryn, tapi tak jarang juga aku membencinya, karena ia telah membuat pria tampan itu tersakiti. Yah, aku tahu betapa tersayatnya hati Nelwan.
Nelwan menghela nafasnya, lalu melanjutkan kata-katanya.
“mungkin aku terlihat begitu egois,  aku meninggalkanmu bukan karena aku membencimu, tapi aku hanya mengasihi hatiku. Aku berharap kamu tidak akan pernah melupakan kenangan kita selama ini. Aku juga berharap ada sedikit celah dihatimu untukku. Untuk mengenang ku. Asal kamu ketahui, mengenal mu, Auryn Sovia, adalah suatu hal yang terindah dalam hidupku. Aku menyayangimu. Dan kamu adalah sahabat terbaikku yang pernah kumiliki dan kucintai”. Jelas Nelwan mengungkapkan isi hatinya selama ini.
Aku memfokuskan kembali retinaku pada wajah oriental-nya Auryn. Ia menangis. Namun tangisnya kali ini berbeda dari sebelumnya. Tangisnya kali ini diiringi oleh senyum merkah dibibirnya. Aku ikut bahagia melihat Auryn kembali tersenyum. Apalagi Auryn tersenyum karena pria bernama Nelwan. Iya, benar, pria itu yang selalu ku tanyakan keadaannya. Oh, Tuhan! Terima kasih telah kau hadirkan kembali senyum indah diwajah cantik manusia bernama Auryn itu. Kini harapanku hanya satu. Ku harap di sisa waktu hidupku, seiring mengeringnya sebagian kelopakku ini, aku ingin agar aku dapat melihat Auryn dan Nelwan kembali bersama, menyatukan persahabatan mereka. Melihat kembali senyum bahagia mereka berdua.
Dan esok harinya, Auryn mendapatkan pesan singkat dari Nelwan. Nelwan mengajak Auryn untuk kembali berjumpa dengannya disebuah tempat, setelah sekian lama mereka tak lagi berkomunikasi. Auryn segera mengeluarkan motor maticnya dari garasi. Tak lupa ia juga membawaku ikut bersamanya. Aku tahu Tuhan, ini adalah hari terakhirku berada di dunia. Hari terakhirku menyaksikan kisah hidup mahluk yang bernama manusia itu. Aku sudah cukup melihat skenario indah-Mu yang diperankan oleh mahluk yang bernama manusia.
Tak terasa, kini Auryn telah tiba disebuah resto dimana Nelwan telah menunggu didalamnya. Auryn bergegas masuk. Dan ia menuju sebuah kursi. Yah, Nelwan telah menantinya disana. Oh, Tuhan betapa bahagianya aku, saat aku dapat kembali melihat sosok tampan itu, pemandangan indah itu kini hadir kembali di depan retina mataku. Nelwan kian tampan. Kulitnya kian bersinar cerah, apalagi senyumnya. Senyum yang ia persembahkan untuk wanita yang dicintainya. Namu kulihat wajah Auryn justru menagis. Mengapa? Ada apa? Kau tak boleh menagis gadis cantik! Pria yang mempedulikan dirimu kini hadir kembali dihidupmu! Percayalah bahwa Nelwan adalah pria yang pantas untukmu Auryn!. Teriakku kencang, yah walaupun aku tahu Auryn tak akan mendengar suaraku. Ku lihat kembali tubuhku, OH TIDAK! Tubuhku kian mengering, riwayat hidupku sesaat lagi akan berakhir, tapi aku masih melihat gadis itu menangis. Tuhan! Ku mohon pada-Mu Tuhan! Kali ini saja sebelum hidupku berakhir, aku ingin melihat gadis itu tersenyum! Dan biarkan mereka berdua bahagia untuk saat ini dan selamanya. Perlahan aku mulai memejamkam mataku, dan hingga akhirnya… yah! Tuhan kembali mengabulkan permintaanku, diakhir hidupku aku dapat melihat gadis itu tersenyum kembali dan menyatu kembali bersama dengan pria tampan bernama Nelwan. Kini hidupku telah berakhir. Aku telah pergi. Dan ini kisah hidup yang dapat kutulis. Kisahku! Kisah sehelai kelopak mawar.





 Juara 2
Tine Prestiawati (semester 4C)
SASTRARUMI
Keramaian seperti ini terlihat setiap kali dari tanggalan jawa 23 Pon, menjelang  satu minggu sebelum acara tumpang sukur terlaksana. Dari mulai suara ayam bersahut-sahut sampai datang waktu subhu hari tumpang sukur, masyarakat memulai segala persiapan satu pekan penuh hingga tiada lagi masyarakat yang mempersiapkan sampai waktu yang sudah ditentukan. Ketika  semua telah rapih dan tiada lagi dari masyarakat yang masih memegang segala keperluan itu selama sepuluh menit, mereka dilarang melanjutkan meski masih ada dari persiapan yang belum selesai. Aturan seperti itu merupakan bagian dari prosesinya, tentu harus ditaati oleh semua lapisan masyarakat tanpa mengenal status kesosialannya. Segala persiapan harus disiapkan dengan matang dalam waktu satu minggu tersebut. Masyarakat sekitar bergotong royong mempersiapkan segala sesuatunya, mereka yang tak mengenal satu sama lain karena berasal dari daerah yang berlainan namun masih dalam Kota Pelasih bertegur sapa dan bersuka cita menyambut tradisi adatnya. Dalam tumpang sukur ini membentuk keakraban, menjalin keteguhan umat manusia.
Tradisi jumat pada 1 kliwon menyimpan kesakralan masyarakat Kraton Pelasih, yang berada di Desa Teguh Lurus- bagian timur Indonesia. Seperti halnya, kraton-kraton yang lain, memiliki tradisi khusus pada tanggal-tanggal yang dianutnya memiliki kaitan dengan nenek moyangnya. Masyarakat Kraton Pelasih begitu menunggu-nunggu hari tersebut, karena mereka percaya bahwa pada sepertiga malam sesepuh dari keluarga kraton melakukan ritual yang akan menentukan nasib masyarakat pelasih pada tahun itu. Akan seperti apakah kehidupan masyarakat dengan perekonomian, pendidikan dan juga yang lainnya. Seakan-akan peramalan yang dilakukan.
Sepanjang jalan Kota Pelasih padat merayap, mengular dan saling melempar tawa satu sama lainnya. Hampir semua masyarakat berada didepan teras rumahnya masing-masing, berkumpul bersama keluarga dan juga dengan para tetangganya melakukan anyam ketupat yang dikerjakan oleh para perempuan  yang nantinya akan dijadikan sebagai makanan pokok mewakili hasil bumi. Para lelaki mempersiapkan untuk acara pawai mengelilingi Kota Pelasih, dengan menghaluskan bambu untuk karangkanya yang akan dijadikan iring-irigan menggambarkan karakter jahat dan baik yang mempengaruhi kehidupan, dan mengkonsep formasi pawai agar tetap memiliki nilai seni tradisional yang tertib sampai pada akhirnya acara puncak dilakukan didepan halaman Kraton Pelasih.
Bergeming ricuh dan memekakkan telinga semangat masyarakat pelasih dalam mempersiapkan acara adat tersebut. Berbasah-basah dengan keringat dan bergerak sangat cekatan meski matahari membelenggu mereka pada hari minggu, waktu dimana sudah berjalan dua hari. Seluruh warga kota pelasih bergembira menyambut acara adat terbesar, karena merupakan acara langsung dari kratonan sebagai pusat dari pemerintahan yang masih memiliki peraturan khusus peninggalan pemerintahan kraton terdahulu, sekaligus mempertahankan kebudayaan yang memiliki nilai bersejarah dan juga pendidikan. Antusias datang tak hanya bagi para orang tua dan dewasa dari lapisan masyarakat, melainkan pula pada Sastrarumi yakni anak dari puteri bungsu Sultan Kinca yang sedang memegang kekuasaan kratonan dinasti yang ke 6 sekarang.
Sastrarumi, mata yang terpancar sebening air memikat keteduhan abadi. Kulit kuning langsat yang mengkilat kala emas permata tersorot sang surya. Seorang gadis berdarah biru yang sangat lincah berusia 10 tahun, namun kecerdasan yang dimilikinya melebihi dari kematangannya. Parasnya yang sangat elok meski masih muda, banyak akalnya yang melahirkan kebaikan positif dikeluarga kraton maupun diluar dari kratonan, tingkah luhurnya begitu sopan dan santun, keramahan dan ia juga mampu bergaul sangat baik dengan masyarakat Kota Pelasih, banyak dari masyarakat diluar dan didalam kraton  yang berpendapat bahwa Ia seperti Putri Ayuminingsari, putri dari Sultan Kinsaani yang terkenal akan kecantikan luar dan dalamnya. Persis seperti putri Sastrarumi. Putri Ayuminingsari adalah putri yang melegenda di Kota Pelasih, dihormati dan juga dipuji dengan santun. Kelegendaannya tersebut tidak hanya bergeming didalam Kota Pelasih, melainkan keseluruh pelosok negeri, dari segala sesuatu yang dikerjakannya dapat dijadikan contoh, sebab kebaikan terkandung didalam kisahnya. Dari masa kanak-kanaknya hingga ia meninggal kisah hidupnya merupakan panutan yang dapat dijadikan tauladan bagi siapapun orang.
Putri Sastrarumi banyak mengahabiskan waktunya di perpustakan kraton, tak jarang juga ia berbaur didapur dan ikut memasak dengan para pelayan kraton. Meskipun dari keluarga kraton, tetap ia disekolahkan pada sekolah umum dan mendapat perlakuan yang sama dengan yang lainnya. Ia pandai mengatur waktunya, kapan ia harus belajar untuk masa depannya dan kapan ia pula harus mempelajari pelajaran yang berlaku bagi keluarga kraton. Banyak yang menyukainya bukan karena Sastrarumi berasal dari keluarga kraton melainkan karena memang ia berbudi yang baik. Kesohoran budinya meski ia masih dapat dikatakan dengan usia seperti itu pantasnya waktu baginya adalah untuk bermain, rasanya janggal ia dapat belajar untuk memiliki budi serupa itu dengan kecerdasan yang menjulang cemerlang. Sebab itu pulalah, masyarakat teringat tentang kisah fenomenal putri Ayuminingsari di abad ke 15.
Keceriaan Sastrarumi tak pernah terlepas dari dirinya. Selalu memasang wajah senang, kapan dan juga dimanapun. Selalu ada saja kegembiraan saat Sastrarumi berada. Pola pikirnya yang serba ingin tahu adalah hal yang wajar dimiliki oleh seusianya, namun ia selalu memiliki pemikiran yang jauh dimiliki seusianya. Dapat dikatakan bahwa kekritisannya sering pula membuat terkesima bagi orang yang ditanyainya. Meski begitu ia masih sering pula menampakan kekecewaannya, seperti seusianya yang lain.
Angin memandu untuk menggiring dedaunan tersibak jauh kearah berlawanan. Bunyi yang syahdu berirama kian serempak. Terasa keteduhan dan ketentraman seakan membawa seluruh yang hidup untuk mengistirahatkan penglihatannya, menyelaraskan badan dan juga melonggarkan pemikiran untuk sementara waktu. Sasatrarumi selepas pulang dari sekolah umumnya merasakan rasa kantuk yang mengikat. Sayu-sayu kelopak matanya yang mungil sesekali terpejam lalu membelakak saat ia hendak pulang ke kraton. Berjalan kaki seorang diri tanpa ada teman bersamanya, karena teman yang lain sudah berjalan terlebih dahulu dari padanya. Jalan yang landai membuatnya harus tetap terjaga, tak sejalan dengan kondisinya saat itu. Namun, kesegaran didapatanya saat melintas perumahan masyarakat pelasih, ia merasa heran bahwa ada hal penting apakah sudah beberapa hari ini sepanjang perumahan tampak ramai berkali-kali lipat dari biasanya. Matanya bermula terkantuk-kantuk kini berlarian kiri dan kanan memperhatikan setiap rumah yang dilewatinya. Sapaan pulalah yang juga membuatnya terjaga, namun ia hanya menyapa balik kepada setiap yang ditemuinya tanpa menanyakan langsung apa yang sedang dikerjakan mereka. Tanpa sadar kekokohan kraton berwarna merah dan perpaduan warna emas serta warna-warna perak menyambut rasa kantuknya kembali. Sastrarumi sungguh seakan tak kuasa lagi untuk berjalan.
“ibu...” seru Sastrarumi sedang berkeluh kesah pada ibunya selepas pulang dari sekolah umum. Namun, tiada dipedulikan ibundanya, sebab ibunya sedang serius menyulam skraf yang hendak dikenakan lima hari yang akan datang untuk perayaan tumpang sukur. “ibu...menolehlah” ucapnya lagi.
“ada apa?” jawab ibu yang masih menyulam.
“tadi aku melintas rumah penduduk, beberapa hari ini mereka berramai-ramai mengayam ketupat dan entahlah... mengasah bambu dan yang lainnya. Hendak apa mereka melakukan hal serupa itu Bu?”
“ kamu tidak bertanya padanya kerjaan apa yang mempersibuk mereka beberapa waktu ini?”
“tidak bu, sebab mataku terasa kantuk dan tak kuasa bertanya, serasa sepat pula mulut jika berbicara terlalu banyak”
“mungkin ibu mengetahui sebab apa mereka melakukan hal serupa itu, bergantilah duhulu pakaian yang masih dipakai, makanlah setelahnya nanti ibu ceritakan” dengan menaruh sulaman skraf, ia membantu meletakan tas yang masih dikenakan Sastrarumi. Sedangkan, Sastrarumi bergegas meninggalkan ibunya tersebut.
Aroma kesejukan tumpang sukur turut memperamai disetiap sela kekratonan, begitu pula para seluruh pegawai kekratonan sibuk bahu membahu menyelesaikan segala keperluan acara tersebut. Terutama merapihkan halaman kraton yang nantinya akan menjadi tempat acara puncak, yaitu Oyegan. Dimana Sultan akan mengetar-getarkan atau oyegan (bahasa setempatnya) batang pohon pisang tingginya dua kali lipat dari batang normal dan yang sudah dihiasi dengan uang koin hingga jatuh diatas bumi, menandakan keberkahan dari Tuhan.
Padatnya aktivitas Sastrarumi yang selepas mempelajari pelajaran di sekolah umumnya, saat siang ia juga harus mempelajari pelajaran tentang kraton pelasih. Tata cara dan juga kepemimpinan kraton, semua harus mampu dipelajarinya. Ia baru beberapa bulan diperbolehkan untuk memulai pelajaran tersebut, sebab hanya pada usia diatas 10 tahun anak-anak kraton diwajibkan untuk memulai tradisi keluarga kraton yang kelak akan berguna bagi generasi selanjutnya. Waktu yang dituntut untuk ia pelajari hanya tiga jam empat kali dalam seminggu.
Keletihan Sastrarumi tak kuasa terasakan badannya. Memanggil-manggil ibunya untuk menagih cerita yang hendak diceritakannya pada sore selepas ia menuntut ilmu wajib yang diperolehnya dari keluarga kraton pelasih. Berlari kekediaman ibundanya. Melewati lorong yang panjang, dengan suka cita dan rasa penasaran ia tetap berlari tanpa peduli sedang ia letih. “ibu, apa ada didalam?” tanyanya sesampai didepan kediaman ibunda.
“masuklah Rumi”jawab ibundanya. “apakah kamu tidak merasakan lelah sayang? Tak beristirahatkah terlebih dulu untuk melepasnya?” tanya ibunda dengan perasaan khawatir.
“tidak, bu. Coba ceritakan mereka itu bu” dengan mendekati ibundanya, lalu merobohkan badannya dan membiarkannya berada diatas paha ibunda.
“Rumi, apa yang kamu pandang dari silsilah kita?” tanya ibunya dengan membelai-belai rambutnya.
“sangat panjang, bu”
“memang, silsilah itu sangat panjang begitu juga dengan keluarga kita”
“ibu, jangan memutar-mutar cerita” Sastrarumi sedikit kesal karena ia juga sangat mengantuk dan tak sabar untuk mendengar ceritanya.
“tidak Rumi, ini ceritannya. Pada sangkanya, kraton pelasih memiliki sejarah yang luar biasa sayang. Kraton Pelasih menjadi makmur setelah mampu memperluas daerahnya, hasil dari  memenangkan Perang Larih melawan kerajaan Sulih yang ketika itu mulai mengalami ke serakahan dalam menaklukan daerah-daerah perencanaannya tersebut. Ketamakan dari Raja Sulih serta Panglima yang terkenal angkuh itu mengakibatkan Kerajaan sulih mengalami kehancuran dan kebinasaan serta kini hanya tersisa benteng-benteng pertahanannya yang berada di sebelah selatan wilayah Pelasih.
Dahulu Pelasih bukanlah kekratonan, melainkan kerajaan yang kemudian berganti status menjadi seperti sekarang ini, Rumi. Pangeran Kinsaani yang berkuasa saat itu setelah dinobatkan menjadi raja menggantikan Raja Krumsi telah berhasil mengeluarkan status kerajaannya beralih menjadi kekratonan. Keberanian itu ditempuh olehnya. Seluruh peraturan kerajaan dari mendiang ayahnya tersebut berganti secara keseluruhan, sebab Raja Kinsaani seorang yang menyukai kemerakyatan yang telah memandang bahwa status kerajaan baginya seperti bangsa-bangsa barat dan itu bukanlah sebuah identitas dari kebudayaan bangsa Indonesia, boleh dikatakan bahwa kerajaan merupakan bentuk pemerintahan orang-orang barat sedangkan kraton sebutan milik negeri kita dan apalagi Pelasih terletak di negeri yang sudah dikenal akan kerakyatannya yang ramah tamah. Oleh karena itulah, sekitar abad ke 15 tidak ada lagi kerajaan Pelasih dan sejak saat itulah Pelasih menjadi sejahtera dengan dipimpin oleh Sultan Kinsaani. Daerah yang berada dalam kekuasaan kraton pelasih sangat luas, dari barat perbatasan Loncah sebelah selatan perbatasan Limbang dari utara perbatasan umbay dan dari timur perbatasan muni, kesemua perbatasan tersebut kaya akan alamnya sehingga perekonomian kraton pelasih menjadi stabil. Kraton pelasih mengalami krisis ekonomi pada akhir abad 15, satu abad penuh Sultan Kinsaani memimpin dengan penuh kenikmatan alam dan kenikmatan hidup, namun ujian datang disebabkan bencana alam serta seluruh daerah kekuasaan kraton pelasih masyarakatnya mengalami wabah penyakit ganda, penyakit kulit dan penyakit asma yang tiada sembuh akibat dari bencana alam tersebut, kemudian sang Sultan mengadakan sayembara bahwa siapa yang mampu menangani wabah penyakit tersebut akan dinikahkan dengan anaknya, Ayuminingsari anak bungsunya yang terkenal akan kecantikan, kepandaiannya serta akhlaknya luhur. 
Sang Sultan semakin merasakan cemas, sebab tiada dari pengasuh kraton yang mengabarkan bahwa ada yang sanggup untuk membantu menangani wabah penyakit ganda tersebut. Sekian lama Sultan tak dapat tidur dengan nyaman, sebab hal ini menyangkut dari masyrakatnya. Seluruh keluarga kraton turut mengalami kesusahan hati dan tak kuasa berduka, karena banyak yang sudah menjadi korbannya. Namun, saat tengah malam anak bungsu Sultan, Ayuminingsari terbangun dari tidurnya dengan perasaan tak enak hati akibat memikirkan tanggungannya kelak, tanggungan dimana Ia akan dinikahkan akibat dari sayembara, namun jika tak meyetujuinya Ia tak kuasa menahan kekecewaan dari Ayahandanya dan juga dari seluruh masyarakat pelasih. Sepenanggungan itu, Ayuminingsari mencari akal untuk hal ini. Dapatlah Ia bergegas keesokan harinya untuk mengunjungi perpustakan kraton untuk mencari ilmu dan bertanya kepada tabib kraton asal muasal dari penyakit yang sedang mewabah itu. Berhari-hari Ayumingsari menelusuri kejadian penyakit tersebut, sampai pada akhirnya penyakit tersebut dapat teratasi olehnya dengan ramuan yang ditemukannya sendiri. Ayumingsari bertambahlah pula keelokannya, bukan hanya parasnya melainkan karena kecerdasannya juga. Anak bungsu sang Sultan pun setelah itu sering terlibat langsung dalam acara kekratonan. Tumpang sukur inilah yang merupakan cara kraton pelasih pada awal abad ke 16 untuk menentukan nasib pelasih pada tahun berikutnya hingga tidak ada lagi kesusahan yang dialami oleh kraton pelasih, dengan cara melakukan perenungan oleh sesepuh kraton sebagai wujud sukur yang berlapis-lapis, dari mulai puteri Ayuminingsari dengan jasanya serta setelah musibah itu kraton pelasih jauh lebih sejahtera dari sebelumnya, sekarang tumpang sukur menjadi sebuah tradisi kraton pelasih untuk memberikan ucapan terimakasih atas segala kerunia serta kenikmatannya kepada masyarakat pelasih” melihat Sastrarumi sudah tertidur pulas “entahlah apa ia menyimak dengan benar sebelum ia benar-benar tidur” gumannya dalam hati.
                                                               
Awan biru bergerak sangat lincah, meredupkan dan menerangkannya kembali. Tampak ragu ia sepertinya atau malas untuk memberdirikan awan biru sebagai tanda kehidupan akan bermunculan. Begitu pula yang angin lakukan, menghembuskan dedaunan dan seraya seluruhnya tersihir kesejukan sesaat. Embun yang terlahir masih sangat dingin bagi bumi. Harum tercium hidung ketika bumi mulai terbangun. Bertolak dari kaluarga keraton yang sudah hampir selesai mempersiapkan segalanya, lapisan masyarakat pun hingga waktu subhu datang telah siap untuk mempersembahkan satu pekan persiapan untuk Kota Pelasih dan kini saatnya untuk bersuka cita setelah tertatih penuh gembira.
Genderang usai sholat subhu bertabuh ria, musik gamelan bercampur alat musik tradisioonal lainnya berdendang sangat indah. Lantunan syair kraton pelasih bersahut meliuk-liukkan hati. Jumat 1 kliwon yang cerah. Sesuai tafsiran para sesepuh, bahwa tahun ini kota pelasih bersuka cita, dengan ditandai langit yang biru saat subhu tiba dan angin kesejukan menari mengitari kulit yang terbuka. Satu jam bersuka cita, beralih waktu berlari hingga matahari kian perkasa setengah menampakan kekokohannya. Masyarakat berbondong-bondong memadati bibir jalan sepanjang perumahan yang akan dilewati oleh pawai. Semua penduduk Kota Pelasih berhamburan keluar dan yang bertugas mengiring pawai mulai mempersiapkan dirinya. Sastrawati menyambut dengan sangat gembira, sebab ini adalah kali pertamanya ia mengetahui segalanya, tentang ia dan keberadaan dirinya dengan Kota Pelasih.
Masyarakat sedang menunggu-nunggu acara oyegan dan juga pengumuman tentang keadaan Kota Pelasih ditahun tersebut. Bergeming-geming seperti suara desir pasir yang tersapu oleh ombak dilautan lepas. Dari kraton semua petinggi kraton dan sang Sultan telah siap untuk membuka acara tumpang sukur, dengan dimulai iringan sesembahan syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa, Sultan melanjutkan sesembahan kepada para sesepuh dan juga keluarga kraton serta kepada rakyatnya pula. Tumpang sukur resmi dimulai...
Masyarakat dan juga semua keluarga kraton merasakan keletihan mereka tuntas. Pawai berjalan dimulai dari batas yang sudah ditetapkan, hingga akhirnya berada didepan halaman kraton pelasih. Kurang lebih selama dua jam pertunjukan pawai, sampai berakhirlah di depan halaman kraton, disambut oleh pemimpin dan juga oleh sesepuh kraton. Tiba-tiba hujan langsung mengguyur tanpa ada tanda akan turun hujan. Lirih hati wajah yang tampak dari sesepuh kraton sedang keluarga kraton dan masyarakat yang memadati halaman kraton tampak merasakan kenikmatan hujan yang memantul bergantian. Lambat laun hujan kian menyerbu, rasa menjadi tak nyaman karena pantulan itu menyakitkan. Sigaplah tetua dari sesepuh membunyikan lonceng pertanda bahaya, wajah muram dan khawatir dari sekian ribu masyarakat yang berkumpul menjadi pemandangan masal. Seketika masyarakat menepi, berteduh. Sultan menampakan rasa sedih sebab kejadian seperti ini pernah dialaminya sebelum ia menikah, saat itu Kota Pelasih mengalami gagal panen dan tanahnya tak subur, kemelaratan meraja lela dan keburukan terus bergantian ditahun itu.
“petanda apakah ini” gumannya dalam hati. Dengan menatap tajam beribu masyarakat yang terlihat menepi menangkis air hujan. Sastrarumi terlihat teduh saat semua terikat dalam kekahawatiran masal. Sultan melihat secara perlahan dari setiap sudut, memutar secara perlahan dan berkeluh kesah. Pemandangan dimana anak-anak kecil berdekapan dengan orang tuanya, kemudian Sultan langsung teringat akan cucu bungsunya, Sastrarumi.
“ibu, mengapakah ini” kepolosan Sasatrarumi menanyakan berhentinya acara dan yang terlihat hanya wajah-wajah penuh kerisauan.
“ini sepertinya petanda bahaya, sayang”
“mengapakah seperti itu?”
“sebab, jika sedang berlangsung turun hujan berarti nasib Kota Pelasih akan buruk”
“peroleh dari manakah ilmu seperti itu, bu. Selama aku belajar di sekolah umum dan juga di kraton tidak ada tata tanggap yang seperti ibu kemukakan itu. Tidak ibunda, tentu ini mungkin saatnya berganti musim dan mungkin awan yang menampung air hujan terbawa angin hingga menyebabkan sampailah ia di kota kita ibu”
“tidak Sastrarumi, menurut keyakinan sesepuh ini adalah petanda yang tak baik”
“tidak ibu, aku tidak mempercayainya” tersenyumlah Sastrarumi pada ibunya yang berwajah muram. Tampak dari kejauhan sepasang mata tegap dan gagah penuh peluh mendekatinya.
“Rumi, kamu baik-baikkah?” tanya Sultan pada cucu bungsunya dengan nada tergesa-gesa.
“rumi baik, eang. Sebab apakah menayakan kabar seperti itu?” jawabnya.
“eang kahawatir Rumi, sebab hari ini turun hujan”
“tidak mengapa eang, ini hanya perubahan musim atau mungkin awan yang menampung air hujan terbawa angin hingga menyebabkan sampailah ia di kota kita, eang” jelas Sastrarumi.
“dari manakah engkau berbicara seperti itu cucuku?”
“aku pernah membacanya, dan juga pernah aku mendapat penjelasan serupa ini eang”
Sultan terdiam tanpa kata-kata, melihat kepandaiaan Sastrarumi yang merubah pandangannya, bahwa mengkaitkan petanda dengan logika merupakan pertempuran hebat yang pada akhirnya logikapun pantas memperoleh kemenangan untuk sesuatu yang terlihat dan telah teruji nyata. Unsur kemagisan tak lagi berjaya kala ilmu pengetahuan semakin mengalami perubahan yang  pesat. Dengan segera Sultan memerintahkan bahwa tumpang sukur tetap dilaksanakan seperti biasanya. Dan masyarakat bergembira menikmati acara adat kraton pelasih. Berkat Sastrarumi seluruh pelosok negeri meninggalkan sugesti bahwa ada unsur mistis jika ketidakbiasaan terjadi ditengah-tengah mereka dan pemunculan sugesti buruk tersebut adalah ketidakbaikan. Seharusnya hal serupa itu sebenarnya adalah ilmu pengetahuan baru yang harus ditelaah dengan ilmu yang sudah ada bukan segala sesuatu hal yang tidak biasa dianggap malapetaka.

Catatan: semua yang ada dalam cerita merupakan fiksi, sama sekali tidak ada kisahan yang nyata didalamnya.







Juara 3
Linda Ayu Lestari (Semester 4C)
MENCARI CHAIRIL
Stasiun Gambir, pagi hari...
Langkah kaki kotor, berkapal dan tidak bersandal tersaruk-saruk melewati gerbong kereta yang pengap. Cahaya menyala berbaur dengan bau apak dari segala penjuru yang mengemban asongan. Orang-orang sudah mulai berlalu lalang; dimulai dari peminta-minta dengan kain yang membebat bayi di lengannya; pengamen dengan gitar dan suara sumbangnya; dan tak lupa pedagang air mineral dan permen nano-nano yang saling bersahutan.  Dari arah barat, terdengar suara lengkingan kereta yang melolong-lolong mengitari stasiun yang pengap dan bau apak. Perempuan yang kakinya berkapal tadi terus menelusuri stasiun dari arah barat menuju timur, sambil sesekali mulutnya bergumam “Chairil.”
             “Perempuan itu sejak subuh tadi telah mondar-mandir disini. Agaknya ada sesuatu yang dia cari." Salah seorang tukang becak berbicara kepada teman sejawatnya yang pagi-pagi buta kulitnya telah berjelaga.
"Perempuan itu?" Tukang becak yang kedua menunjuk seorang perempuan tak beralas kaki dengan baju daster lusuh bernuansa batik sarimbit tanpa lengan yang ditutup dengan cardigan berwarna hitam yang telah pudar warnanya.
             Perempuan dengan langkah yang tidak beralas kaki itu telah lama mencari lelaki bernama Chairil. Ia mencari dari arah barat ke timur, dari senja sampai ke jingga, hingga malam menjelang fajar. Namun ia tetap saja tidak bersua dengan seseorang yang dicarinya. Bahkan setiap penjuru rumah telah ia tanyai keberadaan lelaki yang diakuinya bernama Chairil. Dari mulai awak-awak kapal di pelabuhan, supir-supir taksi di bandara, pedagang-pedagang asongan di stasiun, bahkan tukang becak juga tidak mengenal Chairil! Ia letih, dia tahu. Namun kakinya yang berjelaga aspal tidak takluk oleh keletihannya sendiri. Bahkan di ujung bibirnya, masih tersisa noda bekas gincu yang ia poleskan ketika subuh sebelum keluar mencari Chairil. Kini wajahnya kuyu, pipinya melorot ke bawah, dahinya mengkilat layaknya jingga dan bibirnya kering tidak memerah lagi. Namun ia tetap tidak menemukan Chairil.
Diantara deretan-deretan warung tegal tepi jalan, perempuan denganbekasgincumengeringdi ujungbibirnya itu berjalan, terus berjalan hingga telapak kakinya yang berkapal perih terbakar aspal yang terpanggang matahari. Dalam genggamannya terselip sebuah foto polaroid yang telah luntur warnanya, atau bahkan bisa dibilang tidak berwarna lagi. Hitam putih. Dengan langkah gontai, ia menghampiri seorang pegawai negeri yang tengah asyik membaca koran di dekat halte, “Maaf, apa  Anda mengenal orang yang ada di foto ini?” Semburat kesedihan muncul berbaur dengan wajahnya yang memerah akibat srengenge sore itu.
“Apa yang dapat saya lihat dari foto buram seperti ini?” Pegawai negeri itu menjawab dengan ketus, lantas kembali menekuni aktivitas membaca korannya. Perempuan dengan kulit yang kini hitam dan leher penuh peluh itu melanjutkan perjalanannya.
***
            Masih ia ingat benar kenangan beberapa tahun silam, ketika ia dengan tega pergi meninggalkan kekasihnya di semenanjung yang tidak ada batasnya. Ia pergi, gerimis mengiringinya. Ia menangis, hujan membekap wajahnya. Ia seperti kehabisan napas ketika isak dan deru hati kekasihnya mengiang-ngiang di pelupuk matanya. Ia, perempuan dengan wajah yang ayu dan kulit seputih pualam, pergi meninggalkan kekasihnya di ujung peramban matahari yang tenggelam.
***
            “Ini, ini dia yang saya cari!” perempuan itu bersungut-sungut ketika menemukan sebuah buku  berisi antologi puisi yang dijaja pedagang pasar loak dekat stasiun kereta. Ia menciumi setumpuk berisi kertas-kertas itu, menimangnya, menggamitnya di lengan seakan-akan takut akan ada orang yang merebutnya darinya.

“Kembalikan!” Bentak seorang laki-laki yang agaknya pemilik lapak buku tersebut. Laki-laki itu tua, memakai topicapingberwarnaputihtulang yang telahmenguning di bagian tepinya.
“Pergi dari sini! Ini bukan barang gratis!” Seloroh lelaki dengan topi caping yang dengan segera merebut buku dari tangan perempuan kumuh itu.
“Chairil, aku mencarimu. Dari matahari terbit di timur hingga tenggelam kearah barat, dari senja hingga ke jingga, dari hujan menuju gerhana, namun kau tak pernah kembali. Kembalilah kekasihku, aku merindukanmu. Kita bisa kembali lagi ke pondok kecil kita, tidur bersama, dan kau bisa kembali menyelimutiku dengan kain bernuansa angsa berwarna merah jambu, sambil berkata ‘semoga bermimpi indah, sayangku’, Chairil___” belum sempat ia menuntaskan apa yang ada dalam benaknya, lelaki bertopi caping itu mengusirnya jauh-jauh, seakan-akan perempuan itu adalah sekumpulan virus yang menularapabiladidekati.
“Dasar perempuan sinting, hampir saja buku kumpulan puisi Chairil Anwar yang tinggal satu-satunya ini dicuri perempuan gila itu. Ada-ada saja. Saya mau pulang dulu ah, sudah sore.” Bapak-bapak penjaja buku itu membereskan buku-bukunya ke dalam boks yang berdiri kokoh di pundaknya. Di ufuk barat, matahari perlahan-lahanberkhianatkepadabumi.
SELESAI
Terinspirasi dari puisi karya Chairil Anwar "Senja di Pelabuhan Kecil"  






Juara 4
Vemy Rida Riawan (semester 2A)
Dunia Kedua yang Tak Redup
Dunia, bagi sebagian orang mungkin yang akan terlintas di benak mereka adalah suatu tempat yang luas, penuh warna di setiap jengkal penyusunnya, tragedi kehidupan fatamorgana, tiupan mukjizat, bahkan malapetaka berkolaborasi menjadi partikel-partikel yang sulit untuk dijabarkan. Dunia, bola besar yang berputar tapi tak bisa menggelinding. Apakah itu sempurna? Tidak. Dunia, berisikan planet-planet yang bertetangga namun hanya satu yang di huni. Apakah itu adil? Jelas tidak. Intinya dunia ini luas, lebih jelasnya lagi bumi ini tidak sempit. Benarkah demikian? Aku pikir tidak, tapi mungkin juga iya. Ah entahlah... imajinasi ini membuatku seperti anak kecil, mengaduk-ngaduk isi kepalaku seolah-olah komponen didalamnya berteriak-teriak membuat pening. Bagiku ini berisik, sempurna menciptakan rasa sakit yang berdenyut-denyut. Jika sudah begini, hanya obat sakit kepala yang dapat menjadi dewi fortuna. Ah, aku bahkan benci obat sakit kepala.
            Aku mengarahkan pandanganku pada titik-titik air yang menginjakkan kakinya di pelataran bumi. Mereka tidak membuat basah apalagi menggenangkan diri hingga berkubang. bulir-bulir air itu hanya turun sedikit demi sedikit, menjatuhkan diri secara perlahan tanpa bernyanyi, tanpa menimbulkan suara gemericik yang membuat manusia mendesah kesal ditengah aktivitasnya, mereka datang dengan diam. Mengarahkan pandangan vertikal kebawah dan ingin segera meluncur terhempas tanpa ada yang mengetahui, tanpa perlu menelanjangi diri saat muncul bersamaan dengan penguasa siang. Mereka tahu, tak seharusnya mereka datang. Hatiku bergeming, mataku memincingkan diri ketika mendongak pada atap bumi, yang kulihat adalah langit berwarna biru dan matahari yang sedang menjalankan tugasnya dengan baik. Sungguh hari yang cerah, lalu mengapa mereka menjatuhkan diri?
            “Ayah, mengapa mereka datang? Bukankah itu sama saja mereka telah ikut campur dan merusak tugas matahari?” Aku menatap ayahku yang masih sibuk mengaduk-ngaduk pupuk di pelataran, di belakangnya telah berjejer rapih berbagai macam bunga yang terlihat sangat terawat. Baginya, bunga adalah lambang keindahan yang sebenarnya didunia ini. Cita-citanya sedikit tidak lazim bagi yang belum mengenal sosoknya dengan baik, bahkan akan terdengar sangat lucu jika mengingat usianya yang telah menyandang status seorang ayah. Ia tidak ingin menjadi orang kaya, pejabat, ataupun sesuatu hal yang berbau harta dan kekuasaan. Cita-cita ayahku ingin melihat seluruh bunga yang ada di berbagai penjuru dunia. Saat mendengar hal tersebut untuk pertama kalinya, aku terkekeh hingga perutku terasa sangat sakit. Tapi ayah hanya tersenyum, melihat senyumnya yang teduh dan menyejukkan, Hatiku luluh dan lisanku sontak terdiam. Saat itu, aku menyadari satu hal besar dalam diri ayahku.
“Apa yang jatuh Syanda?” Ayahku menatapku menyelidik, aku mengulurkan tangan kananku dan menunjuk ke atas langit.
            “Hujan? lalu mengapa? Mereka tak pernah bermaksud merusak tugas matahari. Peristiwa alam yang telah membuatnya terpaksa turun. Apakah kau tahu nda? matahari selalu berbaik hati pada seluruh penghuni dunia ini”. Ucap ayahku sembari menuangkan pupuk dan air kedalam pot-pot bunganya yang telah haus.
            “Matahari selalu berbaik hati memberikan kehidupan pada makhluk dibumi dengan ketulusan sinarnya, ia juga rela membagi cahayanya pada bulan agar mampu terang di malam hari, sedangkan dirinya sendiri membenamkan tubuhnya kesisi lain bumi. Bahkan, matahari tak pernah marah saat bulan masih menampakkan diri di pagi hari. Dan seperti saat ini, pada hujan yang seharusnya tidak datang saat ia masih memancarkan sinarnya. Berlakulah seperti matahari nda” Ucap ayahku diakhiri dengan senyum yang menyejukkan itu lagi. Aku tertegun.
Televisi putih besar dan tipis itu kini telah berdesakan oleh berbagai macam aksara dan angka. Audionya hanya bersumber dari seseorang berperawakan tinggi berkepala pelontos yang suaranya terdengar menggema ditelingaku. Sesekali aku mengerutkan dahi, mengangguk pelan, menyerap kata-kata dari beliau, menuliskan beberapa angka, berusaha memahami setiap rumus yang dituliskan dengan simbol-simbol yang menurutku sangat aneh, aku juga benci matematika. Entah mengapa banyak hal di dunia ini yang aku benci. Tapi aku akan terus menjebloskan rumus-rumus itu kedalam otakku tanpa ampun. Aku harus pulang tidak dengan tangan kosong. Bukan karena sekolah itu mahal, tapi karena aku sadar ilmu harus aku beli dengan lembaran uang yang aku ulurkan ditiap awal bulan. Dan aku percaya uang yang telah aku keluarkan tidak akan hilang tanpa arti, tapi akan dibarter menggunakan ilmu yang kujebloskan kedalam otakku hingga tersumpal berdesakan.
Mataku menyapukan diri ke sekeliling ruangan ini. Lihatlah wajah-wajah itu, aku yakin mereka tidak pernah sungguh-sungguh berada disini. Aku selalu membenci mereka, orang-orang yang tak pernah bersyukur atas apa yang telah mereka genggam dengan tangannya, tak pernah puas dengan sesuatu yang telah berdesakan digenggaman kedua tangan mereka, mereka selalu berusaha menggenggam lebih banyak dari yang mereka bisa, padahal manusia hanya dikarunia dua tangan oleh Tuhan, mereka lupa pada orang-orang yang bahkan tidak bisa menggenggam apapun ditangannya, tak pernah menjadi takaran untuk bersyukur. Aku membenci seluruh penghuni di kelas ini. Teman? Itu kata paling buruk bagiku, peduli apa seorang teman saat aku sedang dirangkul oleh keterpurukan, yang mereka bisa hanya berpura-pura berempati dan membuat lekukan pada garis diwajah sehingga tercetak sempurna membentuk wajah yang sedih. Lalu dengan begitu apakah mereka benar-benar sedih dan peduli? Tentu saja tidak!
            Terhitung satu minggu aku duduk di kelas ini. masa-masa SMA memang telah terdoktrin dengan kesan yang indah. Berteman dengan banyak orang, aktif organisasi, dikenal oleh guru, populer di sekolah, dan menjalin kisah-kasih yang indah. Bah! Bagiku semua itu hanya klise, dihari pertama aku masuk sekolahpun aku hanya melempar tatapan sinis pada anak-anak yang tersenyum padaku, dari sorot mata mereka aku bisa membaca beberapa kata seperti “hai, siapa namamu?” tapi yang aku lakukan hanyalah menatap tajam dan membuang tatapan ke arah lain. “Jangan pernah bicara padaku” Sungguh, aku tidak main-main.
            ***
            “Ndaaa.. daa, ndaaaaa” Suara itu terdengar lagi, walaupun hanya erangan tetapi suara itulah yang membuatku tetap bertahan menjejakkan kaki di dunia ini, sesungguhnya aku tidak ingin lagi menumpang hidup pada Tuhan, aku tahu setiap jengkal didunia ini adalah milik-Nya. Tapi sekali lagi sungguh, jika bukan karena suara itu masih aku dengar hingga saat ini, aku selalu ingin “pulang”. Matanya menatapku sendu, aku tahu persis arti tatapan itu, “kau sudah pulang nak?”. Aku terduduk tepat didepannya, bersimpuh mencoba bersikap normal dan bertingkah laku seolah semua baik-baik saja. Kualihkan tatapanku pada kedua kakinya yang tak lagi bisa menjejakkan diri pada bumi, sebagai gantinya dua roda bertempat duduk yang dirancang sedemikian rupalah yang telah mengambil alih fungsi dari kedua kaki yang kini terlihat semakin layu. Yang ia bisa kini hanyalah menatap taman bunganya yang sudah tidak terawat lagi. wajahnya selalu tenang, tapi menyimpan jutaan ekspresi yang tak pernah bisa tersampaikan, syaraf-syarafnya sempurna terdiam dan membeku, seluruh tubuhnya telah mati, hanya tersisakan erangan dan jiwa yang masih setia mendiami raganya.
 Kata orang penyakit ini dijuluki penyakit kutukan dari Tuhan, dan penderitanya akan dianggap seseorang yang telah melakukan kejahatan dan dosa didunia yang tak termaafkan. Oleh karena itu Tuhan memberikan hadiah melalui penyakit ini sebelum menyiksanya di akhirat nanti, siksaan di dunia dan akhirat tepatnya. Rasanya hina sekali orang-orang yang mengidap penyakit ini. Tapi ayahku bukan orang seperti itu, tidak! Jika apa yang orang-orang katakan selama itu benar, aku yakin ayahku adalah pengecualian Tuhan.
            “Iya ayah, aku sudah pulang. Ayah sedang apa disini? Bukankah ini waktunya untuk beristirahat? Ah lihatlah matamu terlihat merah dan lelah, apakah ayah sudah makan? Dimana Zey? A..a...” Aku tercekat, lupa jika aku terlalu banyak bertanya seolah ayahku dapat menjawab semua pertanyaan itu. Seketika mulutku terhenti, diikuti oleh erangan yang ayah ujarkan lagi. “Ndaaa..ndaaaa, daaaaaa” aku tahu ia ingin menjawab pertanyaanku, tapi hanya erangan itu yang dapat mewakilinya. Hatiku terasa sangat perih.
            Aku masih terngiang akan perkataan ayah tiga tahun lalu, saat tangannya masih cekatan mengaduk-ngaduk campuran pupuk yang baunya sungguh sangat menyengat, saat lisannya masih mengeluarkan kata-kata yang membuatku merasa damai, saat senyumnya mampu merangkul hati putrinya ini menjadi bersih dan bersinar seperti matahari. Hingga semuanya berakhir ketika ayah bahkan tak bisa tersenyum lagi. Jangankan menjadi matahari, aku justru menjadi membenci seluruh hal didunia ini, kecuali ayah. Hanya dia pengecualianku. Aku seperti berdiri dengan satu kaki, bertumpu pada satu tungkai yang telah rapuh, aku merasa semangatku terserap oleh pusat bumi, hingga aku tak bisa melawan tekanan gravitasi, aku mengapung di dunia yang besar ini. jiwaku tinggal separuh, sebagian nyawaku berada pada jiwa ayah yang telah hilang.
 “Ayah, dimana Zey? Bukankah dia seharusnya menjagamu disini? Ah awas saja jika dia pulang nanti” Aku mengulang lagi pertanyaanku, sungguh geram aku pada bocah tersebut, sesungguhnya hanya dia yang bisa aku andalkan menjaga ayah saat aku berada disekolah.
“Peduli apa dia pada ayahnya yang dianugerahkan kutukan dari Tuhan-Nya sendiri? Jelas saja dia malu” Suara itu terdengar dari ambang pintu. Wanita itu sudah pulang, aku hanya bisa mendengus perlahan.
“Kau bisu? Untuk apa aku gelontorkan kertas-kertas berharga itu jika kau hanya bisa mendengus seperti binatang, hanya itu yang kau bisa dari sekolahmu?” ia menatapku tajam dan berlalu pergi, sedangkan aku masih duduk bersimpuh dikaki ayahku. Ingin rasanya aku membalas perkataan ibu, tapi tidak! Aku harus bertahan. Aku hanya harus diam, jika aku berontak, aku tahu aku tidak akan bisa sekolah jika tanpa uang darinya,  aku merasa muak. aku sangat membenci sekolah, tapi aku harus pergi ke sekolah, karena ayah pernah mengatakan bahwa dunia akan takluk dan selalu terasa luas pada wanita yang cerdas.
Aku tidak tahan lagi, aku sudah terbiasa tidak mempedulikan kata-kata ibu. Bagiku itu hanyalah nyanyian sumbang yang jika aku biarkan masuk akan merusak gendang telingaku, dan merobek ulu hatiku lebih dalam, yang saat ini aku pikirkan adalah Zey, ia sungguh sangat tidak bisa diandalkan. Bagaimana bisa dia menelantarkan separuh nyawaku ini? ayah tidak akan bisa melakukan apapun sendirian dengan kondisinya yang sekarang. “Sebentar ayah, aku akan pergi keluar dahulu” aku bergegas pergi meninggalkan ayah dan berusaha melangkah secepat mungkin. Aku tahu dia berada dimana.
Dari teras aku melihat kedua orangtua itu di muka rumah mereka. Ah, lihatlah.. pasangan yang sudah tidak muda lagi itu terlihat sangat bahagia. Selalu ada senyum dibibir keduanya saat aku berkunjung. Tapi aku tahu, senyum itu adalah bukan perwakilan dari maksud hati mereka yang sebenarnya.
“Nda, ada apa kau kemari? Kau sudah makan nak?” ucap kakek tua itu dengan perangai yang baik namun penuh kepalsuan bagiku. “Dimana zey? Mengapa kalian selalu memaksanya untuk kesini?” bukankah aku sudah melarangnya?! Nada bicaraku sedikit tinggi, aku sudah tidak mampu lagi membendung perasaan yang telah memuncak. Hatiku mendidih dan meluap-luap.
“Tenanglah nak, zey tadi kemari sendiri, bukan kami yang memaksanya. Dia terlihat lapar, oleh karena itu kami memberinya sedikit makanan yang kami punya. Lalu ia tertidur. Dia ada didalam, kami tidak menyembunyikannya” Nenek tua itu menjawab dengan tenang, diikuti oleh anggukan suaminya yang sepaham dengan perkataan istrinya tersebut.
“Lalu, bisakah kalian berhenti mencampuri urusan keluargaku? berhentilah menanti-nantikan kedatangan zey, berhentilah melongok ke arah rumah kami demi mencari sosok zey, berhentilah berpikir jika semuanya bisa seperti dahulu saat Zey dan aku sering bertandang ke gubuk ini, berhentilah tersenyum padaku, berhentilah berharap bahwa zey bisa menjadi anak kalian! Apakah itu sulit? Apakah karena Tuhan tidak meniupkan kehidupan pada rahimmu lalu kau berharap mengambil adikku nek? Berhentilah bersikap seolah keadaan ini sama seperti dahulu! Zey harus menjaga ayahku!!!”
Aku menerobos masuk dan memaksa Zey untuk bangun dan menyeretnya keluar, kakek dan nenek itu hanya terdiam. Zey meronta-ronta berusaha melepaskan tanganku. Aku benci keadaan ini, aku benci kakek zul dan nenek ida, aku yakin mereka ingin mengambil Zey. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, aku tidak bisa berlaku baik lagi pada kakek zul dan nenek ida seperti dahulu, aku harus bertahan dengan keadaan ini walaupun aku sendiri membencinya. Demi ayahku, apapun akan kuterjang, siapapun yang menghambatku akan kujatuhkan.
Zey menangis hingga tersedu-sedu, tapi aku sama sekali tidak berusaha untuk mengasihaninya. Raut wajahnya merah, matanya sembab, dia duduk di sudut ruangan menekuk kaki dan memeluk lututnya sangat erat. Aku tidak berusaha untuk peduli, tapi sikapku ini sangat beralasan, aku tidak ingin Zey tumbuh menjadi lelaki yang lemah dengan kondisi keluarganya yang sekarang, entah apakah penghuni dirumah ini masih layak dikatakan sebuah keluarga, aku tidak mengenali kata itu lagi semenjak kematian separuh jiwa ayahku. Zey tidak kuperbolehkan untuk sekolah, jika Zey sekolah dia akan duduk di bangku sekolah dasar, bagiku ayah lebih penting. Zey harus menjaga ayah selagi aku sekolah. Ini bukan diskriminasi, aku juga tidak ingin pergi ke sekolah, tapi dulu ayah selalu menasihatiku agar rajin pergi ke sekolah. Tentu saja aku tidak ingin mengecewakan ayah. Dan Zey bisa belajar denganku dirumah.
 Lagi, suara hentakan tombol-tombol itu terdengar mengiris-ngiris benda didalam organ tubuhku, sudah sangat lama benda itu bertahan. Meneteskan darah sedikit demi sedikit, tersayat dan terkoyak berkali-kali hingga tidak ada lagi darah yang dapat menetes, hatiku telah kering, tidak lagi berfungsi dan kebas oleh rasa sakit. Tapi malam ini, jiwaku terpelintir oleh sosok yang sangat semu dalam rumah ini, kedua tangannya masih terampil menghentakkan kata-kata dengan jarinya yang lihay didepan layar bercahaya yang membuat keluarga ini terasa hambar. Apakah aku durhaka Tuhan? Aku bahkan tidak pernah bisa memuliakan ibu, saat aku menatap wajahnya justru selalu terbesit rasa sesak yang tidak terkira. Pekerjaan yang selalu diagung-agungkan olehnya telah membuat ayahku hanya bisa terduduk tidak berdaya, tanpa dapat bergerak, tanpa berjalan, bahkan tanpa senyuman. Wajahnya tak lagi simetris, stroke. Penyakit kutukan itu tidak mengutuk ayah, tapi justru mengutuk diriku menjadi seperti ini, menjadi membenci seluruh partikel yang ada didunia yang sempit ini. Aku tidak pernah bisa mengerti bagaimana paradigma ibu mengenai hidup, yang aku tahu hanyalah ibu bukan bekerja untuk hidup seperti yang orang-orang lakukan, tapi hidupnya hanya untuk bekerja, bukan materi dan kekayaan yang ibu cari, tapi karena sudah terlalu cinta atau bahkan gila bekerja, ibu telah terperosok dan melawan arus terlalu jauh pada takdirnya sebagai seorang wanita. Aku tidak pernah bisa mendefinisikan apa arti kata ibu, tidak ada cerita tentangnya di otak kanan maupun di otak kiriku, bahkan jika digeledah sekalipun.
            Ini bukan salah ayah, tapi mengapa harus ayah yang menanggung semuanya? Bahkan setelah ia mengalah pada ibu dan rela harga dirinya sebagai seorang laki-laki dan kepala keluarga diinjak sangat dalam oleh ibu dengan kegilaannya pada pekerjaannya itu. Sebagai seorang kepala keluarga tentu saja ayah memiliki tanggung jawab yang sangat besar pada hal urusan menafkahi kami, dan ibu bertanggung jawab untuk mengurus aku dan Zey. Kurang lebih seperti itulah garis takdir kehidupannya, tapi ibu berontak akan takdirnya sebagai seorang wanita, ia bersikeras untuk bekerja disuatu perusahaan besar dan menjadi seorang sekretaris yang tentu saja sangat menyita waktunya. Awalnya ayah tidak melarang, ayah sadar betul akan hak emansipasi wanita dan ayah juga bukan penganut diskriminasi. Tetapi karena kecintaannya pada pekerjaan, ibu lupa waktu dan menjadi lupa diri. Bahkan ibu menjadi lupa pada kami, pagi hingga sore hari ibu berada dikantor, petang hari ibu melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai di rumah dan kembali sibuk berkutat dengan tombol-tombol dan layar yang bercahaya itu lagi hingga larut malam. Seperti itu setiap harinya hingga aku dan Zey terbengkalai, ibu berpikir dengan adanya pembantu rumah tangga semuanya akan beres dan selesai, tetapi itulah awal malapetaka bagi keluarga ini.
Saat itu Zey yang masih berusia empat tahun jatuh dari atas balkon setinggi tiga meter ketika sedang bermain, tubuh Zey tergeletak dengan darah bercucuran dari kepala dan terlentang mengenaskan di teras rumah tanpa ada yang mengetahui, selang beberapa jam kemudian ketika ayah pulang bekerja Zey baru ditemukan dan segera dilarikan ke rumah sakit oleh ayah yang berlari pontang-panting menggendong anak bungsunya itu.
            Ayah berdiri terpaku, kakinya seolah tertancap sangat dalam hingga ia tak bergerak, tatapannya kosong, tetapi pikirannya sangat semrawut, tangannya refleks menggurat dinding disampingnya. Ayah mencerna lagi kata-kata ilmiah yang dikatakan lelaki berjas putih itu, ia sama sekali tidak mengerti. Yang ayah tahu hanyalah Zey mengalami gangguan pada otaknya setelah kecelakaan tadi. Aku menggenggam tangan ayah, memahami arti dari tatapan matanya yang kosong. Aku tahu ayah sangat terpukul, dan aku telah berkali-kali menyalahkan diri karena pulang sekolah terlambat hingga Zey terjatuh. Kini aku hanya bisa terdiam menemani diam yang ayah ciptakan, entah apa yang sedang berkecamuk dalam benak ayah, tapi aku tahu ayah tidak akan menyalahkan pembantu yang mungkin lalai atas insiden ini. Ayah selalu bijaksana dalam bertindak dan bicara, lalu siapa yang patut disalahkan? Hatiku berdegup, lalu mulutku berbicara seolah tanpa komando dariku “Ayah, dimana ibu?”, ayah menatapku sejenak tanpa berkata apapun, yang ayah lakukan hanya menggenggam erat genggaman tanganku dan tersenyum padaku, aku tahu arti senyuman ayahku itu, senyuman ayahku selalu memiliki arti tersendiri, dan aku selalu bisa membaca arti dari senyum itu. Bayangkan, disaat seperti ini ayah masih mampu tersenyum walaupun aku tahu itu bukanlah arti dari definisi tersenyum yang sebenarnya.
            Setelah kejadian tersebut ayah memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, hal tersebut sangat menampar jiwa ayah karena ia harus merelakan dan menurunkan mahkota kepala keluarga yang seharusnya mencari nafkah demi anak istrinya. Ayah mengizinkan ibu untuk tetap bekerja, karena ayah tahu ibu tidak akan patuh pada perkataannya jika harus berhenti bekerja, apalagi jika alasannya untuk menjaga dan mengurusi aku dan Zey. Ayah tidaklah bahagia atas keputusannya tersebut yang telah membuat dunia seolah menjadi terbalik, ibu bekerja dan ayah menjaga kami dirumah. Tentu saja jiwa dan naluri ayah sebagai seorang laki-laki sangat berontak karena keputusannya ini sangat berseberangan, tapi disisi lain ayah takut terjadi hal yang lebih buruk lagi pada zey ataupun pada kami, ayah juga tidak ingin kami tumbuh dengan rasa haus akan kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya. Oleh sebab itu ayah mengalah, dan melampiaskan seluruh perasaannya dengan mulai menanam dan merawat taman bunga setiap harinya.
 Aku dan Zey sangat bahagia karena ayah selalu ada di rumah menjaga kami, Zey yang saat ini mengalami sedikit keterbelakangan mental entah mengapa hanya mau bersikap baik pada ayah. Tetapi seiring berjalannya waktu ayah dan aku mulai bisa menghadapi semua tingkah laku Zey yang tidak seperti dulu, sedikit ada rasa sedih terbesit dipikiranku, sungguh malang adikku yang lucu ini. Lambat laun rupanya Zey mulai terbiasa dengan kehadiranku dan tetangga kami yang sering bertandang ke rumah, ataupun sebaliknya. Kakek Zul dan nenek Ida sangat baik, mereka bahkan selalu menyempatkan diri bermain dan membawa Zey kerumah mereka, ayah tidak keberatan akan hal tersebut, ayah bilang kakek Zul dan nenek Ida tidak memiliki anak, aku mengangguk maklum atas penjelasan ayahku. Dan setelah aku amati, ternyata selama ini Zey selalu merasa takut apabila bertemu dengan orang yang jarang bersamanya, hingga akhirnya ia selalu berontak dan berteriak-teriak. Itu terjadi ketika ibu pulang saat malam, Zey tiba-tiba berteriak dan menangis ketika melihat ibu. Dari situ aku menyadari, ibu hanyalah orang asing di rumah ini bagi Zey, juga bagiku.
 Bertahun-tahun ayah menjadi sosok orangtua yang sangat sempurna bagi aku dan Zey, mungkin bagi orang lain ini akan terdengar sederhana, tetapi inilah kenyataan besarnya, ayah telah merangkap tugas seorang ayah dan juga ibu dengan sangat baik. Saat itu, dunia masih terasa sangat luas bagiku, tetapi setelah jiwa ayah hilang separuh, dunia seketika menyusut dan terasa sangat sempit.
“Ayah ingin ke taman kak” aku menoleh pada suara yang jarang aku dengar itu, Zey memang jarang berbicara, hanya seperlunya saja. Dia selalu menutup diri pada semua orang, terkecuali ayah, dan semenjak ayah tidak lagi bisa bicara, Zey semakin jarang berbicara, tetapi Zey seolah tahu dengan keinginan ayah yang hanya ayah ucapkan dalam hati. Inikah ikatan batin? Entahlah.. dunia ini terlalu sempit hingga tidak ada celah untukku memikirkan hal tersebut.
“Baiklah, kakak bantu membawa ayah ke taman” aku mengiyakan dan mendorong kursi roda yang ayah naiki ke pelataran rumah. Aku menatap taman yang selalu ayah rawat dengan baik tiga tahun lalu itu dengan nanar, tidak ada yang merawat bunga-bunga ayah. Hal yang selama ini ayah agung-agungkan telah kehilangan pesonanya. Jangankan kelopak bunga yang merekah, yang kini terlihat hanyalah dahan-dahan kering yang telah meranggas. Aku merasa bersalah membiarkan ini terjadi, tapi aku bisa apa? Aku tidak cukup terampil untuk merawat taman ini, walaupun hanya sekedar menumpahkan air pada bunga-bunga itu, aku merasa benci ketika melihat warna-warna indah dari bunga-bunga yang mengembangkan mahkotanya. Sedangkan hidupku tidak seindah bunga-bunga itu. Biarlah mereka mengering dan meranggas. Tetapi darahku berdesir ketika melihat wajah ayah yang tentunya merasa sangat sedih, bukan hal yang mustahil jika hanya taman bunga ini yang dapat membuat ayah bahagia. Lagi-lagi aku mengutuk diriku sendiri.
“Zey, bisakah kau menjaga ayah sebentar, kakak ingin pergi ke suatu tempat. Tunggulah disini bersama ayah” mendengar perkataanku Zey hanya mengangguk. Aku bergegas melangkah keluar rumah, aku seperti baru saja dibangunkan dari mimpi yang membuatku terjebak. Aku sadar sepenuhnya, mungkin hanya ini satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk membuat ayah bahagia, walaupun aku tidak bisa mengajaknya melihat seluruh jenis bunga yang ada didunia, tapi aku yakin aku bisa membuat ayah tersenyum walaupun senyuman itu hanya tersimpan didalam hatinya. Aku kembali ke rumah beberapa saat kemudian sembari membawa sesuatu, tetapi tidak di sangka Zey menghalauku untuk masuk dari gerbang rumah.“Kak syanda jangan masuk!!” melihat tingkahnya aku merasa sangat geram dan memarahinya, dari kejauhan aku bisa melihat ayah tengah duduk tertunduk di taman seorang diri sama seperti posisi semula. “Ada apa? Mengapa pula aku tidak boleh masuk? Mengapa ayah kau tinggalkan sendirian disana?!” nada suaraku semakin tinggi. “Jangan ganggu ayah! Ayah sedang melihat bunga yang ada didunia” Zey meracau tidak karuan, aku semakin merasa marah dan menerobos masuk menemui ayah. Aku mengulurkan sesuatu yang tadi aku beli pada ayah. “Ayah, ini Syanda bawakan bibit bunga dan pupuk, nanti Syanda bantu tanamkan di taman ini, pasti ayah sedih karena taman ini sudah tidak terawat” aku mengguncang lengan ayah sembari tersenyum, ah baru kali ini aku dapat tersenyum lagi.
Ayah tertunduk dan tidak membalas perkataanku, aku merasa ini sangat tidak wajar. Apakah ayah tertidur? Aku mengguncang-guncang lagi lengan dan bahu ayah. Tidak ada respon, aku menyadari tangan ayah terasa sangat dingin. Aku mulai gemetar. “A..a..ayah?”  ayah sama sekali tidak menjawabku. Ia sempurna terdiam. Diam yang membuat detak jantungku berhenti dan kemudian berdegup sangat cepat, bagaimana bisa? Aku mengangkat wajah ayahku, matanya terpejam rapat, rapat sekali seperti orang tidur. Mataku seketika terbelalak, aku melihat ayah tersenyum! Tiba-tiba saja tulang-tulangku seperti dilolos satu persatu. Bibit bunga dan pupuk yang aku pegang jatuh berhamburan. Aku menyadari separuh nyawaku telah pergi. Aku menangis dan berteriak sejadi-jadinya, sementara Zey hanya melihatku dibalik pintu pagar dengan diam.
Setelah kepergian ayah, ibu semakin jarang di rumah, aku tidak tahu apakah ibu merasa sedih atau tidak, aku tidak peduli. Tapi aku tahu ibu sama sekali tidak menitikkan air mata untuk melepas kepergian ayah. Jangan tanyakan bagaimana kelanjutan hidupku, jika mayat hidup itu memang ada, akulah mayat hidup itu. Ragaku hidup tetapi jiwaku sepenuhnya telah mati. Aku merasa gila, hanya ayah satu-satunya alasan bagiku untuk tetap menjejakkan kaki di bumi ini, aku ingin ikut. Mengapa ayah tega meninggalkanku sendirian di dunia yang semakin terasa sangat sempit ini? apakah aku harus mengakhiri hidupku? Itu tidaklah mungkin, karena aku tahu jika hal itu aku lakukan aku akan dilempar ke neraka setelah di akhirat nanti, sementara aku yakin ayah pasti telah berada di surga. Jika itu terjadi aku tidak bisa bersama ayah walaupun didunia yang lain sekalipun. Aku tidak ingin melakukan hal bodoh tersebut. Tetapi sampai kapan aku hidup? Sampai kapan aku berada di dunia yang sempit ini? kali ini, tidak ada lagi sandaran ataupun tumpuan agar aku bisa tetap berdiri, aku tersuruk dan terseok-seok melewati kehidupan.
“Kak Syanda, kakak tidak sekolah?” Zey menghampiriku yang sedang menyiram air dan memberi kehidupan pada bunga-bunga yang bermekaran. Aku tidak menjawabnya, lagi-lagi dunia terasa terbalik. Setelah kepergian ayah, Zey justru semakin sering berbicara, dan aku selalu diam seribu bahasa. Aku memang tidak berniat lagi untuk pergi ke sekolah. Untuk apa? Aku memutuskan untuk menutup diri dari semua orang, dan dari semua partikel didunia ini. biarkan aku sendiri hingga ayah berbaik hati menjemputku suatu saat nanti.
“Kalau begitu, apakah aku boleh pergi ke sekolah?” Zey berkata dengan sangat hati-hati, dia tahu betul kondisiku saat ini. “Apa alasanmu? Silahkan saja” aku menjawab dengan datar, tatapanku selalu kosong. “Baiklah, tidak apa-apa kalau kakak tidak pergi ke sekolah, dengan begitu kakak tidak akan menjadi seperti ibu, dan biarkan aku bersekolah kak, agar aku kelak tidak seperti ayah” Mendengar perkataan Zey aku menatapnya sangat lama, aku tidak mengerti maksud perkataannya. “Iya kak, agar kelak saat kakak dewasa dan mempunyai keluarga, kakak tidak akan seperti ibu yang selalu bekerja tanpa kenal waktu dan menelantarkan anak-anak dan suaminya, dan aku ingin bersekolah setinggi mungkin agar aku tidak seperti ayah yang hanya diam dirumah menjaga kita walaupun karena terpaksa karena perilaku ibu, aku tidak ingin kakak dan aku mengikuti jejak ayah dan ibu”
Aku merasa ditampar sangat keras oleh perkataan Zey, dia benar. Aku tidak menyangka walaupun ia sedikit keterbelakangan mental tetapi selama ini ia mampu membaca takdir lebih baik daripada aku. Walaupun aku tetap sekolah sekalipun, tentu saja aku tidak akan mengikuti jejak ibu. Biarlah semua ini berlalu, aku tidak lagi menyalahkan ibu terlebih lagi ayah. Aku tidak berhak membuat sekat dan menghalangi zey untuk menggenggam dunia yang selalu terasa luas bagi orang yang mempunyai harapan. Aku mengangguk pada adikku itu, kabut hitam dikedua mataku telah tersapu oleh harapan yang Zey hembuskan. Aku mengetahui lagi bagaimana cara tersenyum, aku menemukan duniaku kembali. Zey akan membuat dunia ini terasa lebih luas untukku. Seketika itu pula mereka datang lagi, datang dengan diam dan menghujamkan diri pada bumi dan menyentuh kelopak-kelopak bungaku, aku dan Zey mendongak ke arah langit, penguasa siang masih tersenyum memancarkan sinarnya dan aku merasa benar-benar telah menjadi bagian dari partikel di dunia ini.







 Juara 5
Ayu Puspa Dewi (semester 6B)
PERAHU SENJA
Karya : Ayu Puspa Dewi

Ketika senja menghilang ditelan kegelapan, ketika senja tak mengukirkan keindahan, tidak mewarnai dunia dengan merah keemasannya, aku bagaikan seorang perempuan paruh baya yang kehilangan tongkatnya. Aku kehilangan penuntun yang selalu menuntunku melewati pekat malam, seorang nahkoda sekaligus seorang pembimbing. Sungguh senja yang tidak menarik. Perempuan senja, itulah sebutanku dikalangan sejawat. Belum sempat aku memperkenalkan dia, lelaki yang aku cintai kepada seseorang yang telah melahirkanku. Kini, dia telah tebarkan cerita melalui angin yang berbisik lara, menyentuh dan menggetarkan sanubariku. Menajalin cinta bersama orang lain di tanah yang sama-sama aku pijak. Sungguh, rasanya ingin sekali menumpahkan air mata, meluapkan segala rasa emosi yang telah mengendap di jiwa. Namun, hati ini membiarkan dan mengikhlaskan hujan badai dan petir yang mewakili perasaanku. Terkadang aku ingin lari, mengkantupkan mata dan menutup kedua telinga dari suasana yang tak di pinta. Aku tidak percaya ini terjadi dalam garis kehidupanku. Aku tidak terluka, hanya saja sedikit hancur. Aku kira ketika aku berlayar di air yang tenang, tak berombak, jiwa ragaku akan merasa nyaman, tentram, dan akan membawaku bermuara ke samudra menuju laut lepas. Namun ternyata perlahan menghanyutkan, mengantarkan aku ke tepian tak berhuni. Ada banyak hari dimana aku selalu menanti kehadirannya di pelabuhan kecil untuk berlayar bersama, namun itu hanyalah fatamorgana. Dan sekarang disaat aku membutuhkannya, ia kembali berubah menjadi gelembung. Meski tak hancur, tetapi ia terbang jauh dan tak mungkin kembali. Sungguh sekenario Tuhan yang begitu indah. Aku merasa bahwa aku adalah seorang perempuan yang paling beruntung di antara perempuan lainnya. Iya, pada dasarnya di dunia ini ada cinta yang harus di jaga, ada cinta yang harus berpisah, dan ada cinta yang dari awal tidak berarti apa-apa.
“Duhai Tuhanku, ketika aku menghilang bersama badai kegelapan, akankah ada seseorang yang akan mencariku, merindukanku, bahkan menangisiku ?
Duhai Tuhanku, ketika aku menghilang bersama pekat malam, akankah dalam terang ada seseorang yang menanti kehadiranku ? Siapakah itu ?
Sebelum senja menutup diri, aku akui dalam dinginnya tersimpan sejuta kehangatan, dan aku menemukan sebuah ketenangan di balik hutan aokigahara. Kini, senja telah sempurna menutup diri, suasa adzan maghrib mengantar perahu kecilku ketepian. Aku mengikatnya, tatapan mata tertuju pada langit yang hitam sembari menghela nafas panjang seraya berkata “Seharusnya aku tidak perlu bersedih, seharusnya dialah yang bersedih karena baru saja ia telah kehilangan seseorang yang mencintainya.”. Aku menuju ke tepian pantai mencuci kedua tanganku dan sesekali aku melihat kearah perahu seraya berkata “Baiklah, dimanapun aku berada walau dalam kegelapan sekalipun, aku tidak perlu takut, karena dimana ada bayangan disitu ada cahaya. Meski tak ada mentari menyinari, tetapi ia selalu ada membayangi”. Sembari kembali ke perahu, aku memasukan berkas-berkas yang begitu berarti di kehidupanku ke dalam tas hitam. Memisahkan berkas-berkas lembut yang menggores di setiap sentuhan untukku bakar, membiarkannya menjadi duli yang terbang bersama pawana. Aku memeriksa kembali ikatannya, memastikan perahu itu tidak hanyut terbawa arus air yang tenang. Dan mulai beranjak meninggalkan perahu tua, melangkahkan kaki meninggalkan bayang-bayang berkas yang lembut di lahap terik mentari esok nanti. Dan meninggalkan sepucuk surat untuk angin yang berlalu lalang.
“Duhai orang yang akan aku lupakan. Tinta hitam mengajak jemari menari kala gerimis menghampiri. Aku cinta siapa ? aku rindu siapa ? Dan kau tahu ? banyak sekali kata yang takku sampaikan saat bersamamu. Aku selalu melihatmu dari persembunyianku hanya untuk melihatmu baik-baik saja. Sebenarnya, ini bukanlah hobiku.  Saat senang, kau adalah seorang yang terlintas dalam benak setelah keluargaku. Aku selalu berjalan di belakangmu. Tak ada yang lebih indah selain menikmati mentari pagi dan menghabiskan waktu hanya untuk menanti senja menyapu dunia. Pohon yang ku sandarkan selalu menemaniku, melindungiku, namun ia tak pernah menoleh ke arahku untuk bertanya, sedang apa ? apakah baik-baik saja ?. Entahlah...”
            Jauh sudah aku melangkah meninggalkan tepian sampai di ujungnya malam. Aku terjatuh, tertunduk dan terpaku menatap pasir putih yang mulai basah karena tetesan air mata. Sedang mentari, kini mulai membelai dunia jauh di atas sana di balik awan hitam, lalu mencipta air langit basahi bumi wiralodra ini. Dengan suara lirih aku berkata “Duhai Tuhanku, aku ingin belajar kehidupan lewat hujan. Iya, hujan yang tak pernah mengeluh kepada Tuhannya ketika ia dijatuhkan dari langit”. Tak lama kemudian pandangan mataku mulai kabur, tubuhku terasa lemas dan mulai tak sadarkan diri.
***
Langit menciptakan warna kelabu, kegelapan merangkul kota Indramayu, menjadikan kampus tempatku belajar menjadi gelap tanpa cahaya. Dan ada satu nama yang menjadi luka saat aku memanggilnya, sedang hati masih terus saja merindukannya. Ada satu rupa yang menjadi air mata saat aku teringat akan tentangnya, sedang hati masih ingin melihatnya lebih lama. Di taman yang sepi itu tertinggal setangkai bunga, tiada harum hilang warna. Pernah tercipta cinta membara namun kini padam tak bernyawa. Secangkir kopi yang hangat menjadi dingin seketika. Lalu turun hujan basahi tanah kelahiranku, mungkin ini adalah salah satu jawaban atas mentari yang tak kunjung menampakkan. Ku cari-cari warna pelangi, namun yang ku temukan hanyalah gelap yang berteman dengan sepi. Dalam perjalanan mengantar senja yang pudar pada gelapnya malam. Aku ayunkan langkah kata dalam sebuah tulisan. Tertorehkan seribu lelah dijiwa, tertatih dalam kesendirian mencari adakah tempat untuk ku sandarkan.
Kala itu kegelapan masih merangkul erat kota Indramayu. Bersinar, hangat, nyaman, dan sebuah ketenangan, seperti sosok terang dalam kegelapan. Itulah saat pertama kali aku melihat sosok laki-laki itu. Tak pernah aku sadari setiap kali aku memandangnya, hati dan jiwa terasa begitu damai, bagiku dia adalah seseorang yang tak pernah terlupakan, karena aku tersenyum dan tertawa juga karenanya. Hadirnya, aku merasa hidup di duniaku yang baru. Berkat dirinya, aku belajar akan arti sebuah kehidupan. Bersamanya, aku bangkit dari kegelapan, selangkah demi selangkah aku melangkah dengan hati-hati, bukanlah sebuah ketakutan, tetapi kekhawatiranlah yang memenuhi hati ini. Aku selalu mengatakan maaf kepadanya, itu bukan berarti aku tak pernah mengerti akan dirinya, tetapi aku takut akan kehilangan sosok terang sepertinya. Entah hal bodoh apa yang telah aku lakukan. Dan hal bodoh apa lagi yang akan aku lakukan di esok nanti.
Lama sudah aku mengenalnya, namun semakin dalam rasa itu semakin pula aku merasakan kepedihan yang mendalam. “Mencoba mendamaikan air yang beriak, namun tetap saja aku cemburu.” Gerutuku menatap lelaki itu dari kejauhan. Iya, hatiku merasakan begitu panas oleh sengatan sinar mentari, bukan rasa iri hati, tetapi cemburu, sekali lagi aku katakan kepadanya bahwasannya aku cemburu. Dan di saat itu aku benar- benar yakin bahwa rasa itu adalah cinta, mungkin ini adalah jawaban atas segala kegundahanku. Bukanlah diriku yang mengatakan, tetapi hati inilah yang mengatakannya. Entah apa yang terjadi, pikiran dan hati merasa begitu kelabu, rasanya ingin marah dan menangis, namun untuk apa menangisi semua itu, dia bukanlah siapa-siapa. Karena, aku hanyalah orang asing yang menikmati jatuh cinta sendiri dan merasakan apa itu cemburu yang sesungguhnya.
“Sebab aku pinta engkau menjadi cahaya, untuk menyinari langkah kakiku tuk telusuri jalan gelap menuju-Nya, bukan api, atau aku pinta engkau mengepakan sayap, mengantarku ke surga, kala ruhku merindukan Sang Pencipta”.
   Iya, lelaki itu selaksa sang mentari yang telah terbit dari ufuk timur hatiku untuk menyinari dunia, mengukirkan jejak keindahan di setiap mata memandang dan mulai menggantikan sang mentari yang hampir terbenam itu. Kehangatannya diciptakan tidaklah dikhususkan untuk menghangatkan perasaanku yang sesungguhnya, akan tetapi ke semua makhluk yang hidup. Mereka mengagumi apa yang aku kagumi, meraka menyukai, mencintai, dan merindukan apa yang aku rindukan pula tentang dirinya. Bersama senja, aku memejamkan mata untuk kesekian kalinya, menimkati hangat sinarnya yang hampir terbenam itu seraya berkata “Apakah esok aku masih dapat merasakannya ?”. Awan itu sungguh sangatlah beruntung, iya selalu ada dan menemaninya, bahkan angin berlalu berkata iya sangat serasi, lebih tepatnya aku cemburu, aku sangat cemburu, aku benar-benar merasakan cemburu yang sesungguhnya. Setiap kali aku melihatnya bersama sang awan, aku merasa ada sesuatu yang mencoba hilang melalui telapak tanganku, entah aku tidak tahu. Yang pasti aku tidak mengizinkan sesuatu itu pergi meninggalkanku sendiri bersama bayanganku. Akankah pada akhirnya awanlah yang akan menari bersamanya ? Entahlah. Sikapnya terhadapku, mungkin membuatku salah dalam menafsirkannya, sebuah komponen itu kini terbelah menjadi dua, entah jalur mana yang Tuhan tentukan untuk aku langkahkan kakiku menujunya, untuk menuju ke arahnya. Sebuah cinta ataukah persaudaraan. Yakinkanlah hati ini jikalau ia bukanlah cinta terakhirku, tetapi tegarkanlah hati ini tatkala aku adalah tulang rusuknya.
Terlintas aku ingin sekali menjadi setitik awan kecil di langit bersama mentari, tetapi aku diam, ia semakin menjauh. Aku terjatuh, aku berdiri kembali melihatnya dari hari ke hari. Seperti burung, ia hanya melintas terbang dalam pandanganku. Sebenarnya ada banyak hari dimana aku sangat merindukannya, ada banyak hari dimana aku mengharapkan sentuhan hangat sikapnya. Sekali lagi aku menangis untuknya, aku menangis karenanya, ada sesuatu yang mulai terlepas melalui telapak tanganku. Sekali lagi aku katakan bahwasannya aku takut sinar itu memudar secara perlahan dan pergi meninggalkan aku bersama bayanganku. Tak bisakah ia turun sejenak menemani air mataku ? Entahlah. Aku terlalu nyaman dengan semua rahasia ini, menyelipkan perasaanku di antara keseharianku, memilih untuk sendiri, menyepi dalam sudut kegelapan dan kini aku mulai bosan dengan gelap, jenuh dengan segala rahasia. Entah sampai kapan aku membohongi diri sendiri ? Aku bertanya kepadanya. Masih tetap sama, hanya diam. Kamis pagi, di dalam rerumpunan orang, hati ini selalu menuju kearahnya, dan saat ku mulai berhitung dengan mengkantupkan kedua mata, dalam bilangan ke sekian ia datang mendekat kepadaku di dalam dinginnya angin pagi. Ia menghangatkanku dengan sikapnya, pandangannya meyakinkanku bahwa ia bukanlah orangnya, orang yang di gariskan untukku. Akan tetapi aku merasa tenang berada di sampingnya.
 Kembali tersenyum menatap langit senja. Dan mulai mengakhiri sebuah cerita yang meliuk sangat indah. Aku menulis atas nama malam. Dimana aku masih ingin melihat 20 % dari rembulan yang terlukis di wajahnya, rasanya tidak hanya samalam bahkan selamanya. Namun, kelak masihkah ku berjumpa dengan malam ? Tatkala esok masih ku berjumpa dengan nafas, akan ku gapai semua kata yang masih tergenggam dalam awan mimpi di temani mentari yang menyapaku seperti memang seharusnya menyapa semua makhluk hidup.
***
Hatiku adalah perahu yang tak pernah berhenti mengembara. Berlayar-layar mengarungi samudra bersama angin timur. Angin yang terkadang berbisik mersa namun terkadang pula berbisik lara. Itulah kehidupan, putih tak selamanya putih dan hitam tak selamanya hitam. Tiga tahun sudah aku melangkah jauh. Mengejar mimpi yang belum tercapai, menjalani hidup yang belum terlalui. Namun, seperti lagunya Bang Haji Roma. Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga. Mimpi, impian, dan harapan telah aku raih dan ku genggam dengan kedua tanganku. Di usia yang ke 20, aku telah berhasil menjadi seorang guru bahasa, penulis, penerjemah dan ahli dalam bidang sastra. Namun hanya ada satu yang tak pernah aku rasakan yaitu sebuah cinta sejati. Ada banyak cara untuk menghibur hati seseorang, namun tidak dengan hatiku. Ketika mentari menempati ujung pagi, aku kayuh sepeda menuju ke pantai, aku tanggalkan sepeda tak jauh dari tempatku beranjak mendekati gelombang yang malu-malu mencium tepian. Aku duduk menikmati deburan ombak dengan desauan angin yang merdu entah datang dari mana yang seakan-akan bersenada dengan suasana kalbuku. Mengayak-ayak pasir putih dengan kedua tanganku, lalu mengambilnya dengan tangan kanan, belum sempat ku genggam, pasir itu terjatuh, bertebaran kembali terhembus angin. Terkadang angin tak selamanya merdu, tak selamanya mesra ataupun senada, namun angin juga terkadang menciptakan luka. “Hai, apa kabar hati yang telah lama menyepi”. Aku kembali berdiri dan menyapa diriku dalam kesepian.  Dan beranjak pergi karena langit telah berubah menjadi gelap.
“Bruukk”. Suara sepeda terjatuh. Sebuah batu kecil membuatku mencium aspal yang masih terasa hangat karena terik mentari. Tiba-tiba seorang pemuda membangunkanku, mengajakku ketepi jalan dan mengobati lukaku tanpa kata. Dengan penuh rasa keheranan aku memberanikan diri untuk berbicara. “Terimakasih telah menolongku, kakak ini siapa ?” tanyaku. “Panggil saja Ahmad”. Lelaki itu hanya membalas pertanyaanku dengan singkat, lalu membangunkanku dan menemaniku menuntun sepeda menuju rumah. “Bukankah kau ini cucunya eyang mashita ?” Pertanyaannya memecahkan keheningan diantara kami berdua. Aku mengerutkan kening kepadanya. “Darimana kakak bisa tahu ? apakah sebelumnya kita pernah bertemu ?”. “Aku mengetahuimu sejak kecil, rumahku tak jauh dari rumah eyangmu. Bukankah dulu kau pernah bersepedahan bersama ibumu kerumah eyang mashita ?”. Sekarang ia mulai tersenyum padaku, bukan sekedar sebuah senyuman biasa yang aku rasa, akan tetapi sebuah ketulusan dan kasih sayang. Aku menundukkan kepala, “ah entahlah, bahkan aku lupa bagaimana waktu aku kecil dulu”. Tanpa permisi dia menarik tanganku, mengajakku berteduh karena langit tidak menyukai kedekatan kami berdua. Suasana kembali hening namun lagi-lagi ia memecahkan kehiningan itu sedang aku tak pandai dalam memulai suatu pembicaraan. “Fathma, diminggu pagi esok maukah kau bersepedahan bersamaku ?”. Ajakan itu benar-benar membuatku terkejut. Entah mengapa kepala ini menganggukkan dan bibir ini mengiyakan menerima ajakannya.
***
Ku sandarkan tubuhku pada kursi tua, melayangkan otak  teringat akan seorang kakak senja dengan senyumannya. Hatiku seolah tertusuk panah asmara. Selaksa guyuran hujan tatkala pertama jumpa, basahi kebun jiwa yang mengering perlahan. Angin malam yang berhembus mersa memelukku dengan erat. Butir-butir cinta memenuhi ruang hampa. Hingga tercium aroma bunga jiwa yang tak terlupa. Bahkan aku merasakan kehangatannya melebihi sinar mentari, tutur kata yang keluar dari bibirnya mampu menciptakan sabit sekalipun langit malam ini gelap tanpa hiasan. Aku pernah melihat kak Ahmad sebelumnya, dia membawa tumpukan kertas dan buku bersama seorang kakek, tetapi entah dimana.
Minggu pagi, ku lihat mentari enggan untuk menyapa lebih awal hariku. Hari dimana aku memiliki sebuah janji dengan kak Ahmad. Seorang kakak yang mampu menjungkirbalikkan logikaku. “Krriiiiinnnngggg” sebuah pesan mendarat diponselku. Ku baca pesan dari kak Ahmad yang menandakan bahwa dirinya telah berada dipersimpangan jalan kemarin. Sebelumnya kita sempat bertukar nomor telepon untuk mempermudah berkomunikasi. Sedang langit masih menangis, namun aku tidak perduli dengan kemanjaannya. Ku kayuh sepeda dengan cepat, aku tidak ingin seseorang menungguku dengan lama. Namun, jalan yang kutempuh penuh dengan tanah liat yang basah karena ulah hujan. Sepeda terasa berat dan memilih untuk berhenti. “Fuiihh... “ Aku mengembuskan nafas panjang. Aku memilih menepi di pinggir jalan. “Untuk bertemu dengannya saja sangat memerlukan pengorbanan yang kuat, apakah dia adalah jodohku Tuhan” Aku menggerutu sembari membuang tanah liat yang menempel pada roda sepedaku. Sebuah getar disaku mengagetkanku. Iya, sebuah telepon dari seseorang diseberang sana. Tak lama kemudian seseorang itu menghampiriku, dan membantuku membuang tanah liat yang masih melekat pada roda sepedaku. Hati ini benar-benar merasakan nyaman berada disampingnya, detak jantungku mulai tak menentu, tak ada keberanian untuk menatap wajahnya. Aku hanya menunduk dan menunduk. Namun aku lupa akan satu hal, kedatangannya yang menghampiriku juga mengakibatkan roda sepeda biru itu terpenuhi dengan tanah liat. Kami sama-sama tertawa, sebuah tawa yang berbeda, yang baru aku rasakan sebelumnya.
“Ini pertama kalinya kakak menyuci sepeda bersama dengan seorang perempuan. Dan rasanya ini pernah kakak rasakan dalam mimpi”. Dia kembali menciptakan sabit dibibirnya, dengan sesekali menyemprotkan air kearahku. “mimpi” batinku. Saat itu juga aku teringat tentangnya. Iya, aku pernah bertemu dengannya disebuah mimpi tiga tahun yang lalu. Ketika aku dijatuhkan dari langit, sedikitpun aku tak merasakan sakit. Karena aku melihat senyumannya yang memancarkan sebuah cahaya berjalan dengan seorang kakek menelusuri sebuah lorong gelap. Ada rasa ketertarikan untuk mengikuti mereka berdua. Dari kejauhan aku mendengar kakek itu berbicara dengannya. “Dia kekasihmu, kau akan menemukan sebuah kebahagiaan bersamanya. Kau tidak tahu bagaimana cara menjaga perasaanya. Namun kelak nanti, kau akan mengetahuinya.” Ucapan kakek tersebut menggetarkan hatiku, tatapannya mengarah kepadaku yang seolah kata-kata tersebut tertuju padaku, sedang saat itu aku tidak mengenal laki-laki muda yang bersamanya. Aku berlari hingga kesebuah pelabuhan. Terdapat sebuah perahu yang masih menepi. Bukanlah air langit, tapi sebuah air mata yang berkejar-kejaran dipipi. “Bahkan perahu itu masih menepi” Batinku. Perlahan aku mendekat dan masuk kedalamnya, namun nafasku seakan berhenti sejenak kala aku melihat laki-laki muda itu berada di dalam perahu itu. “Kemana saja ? aku sudah lama menunggumu disini, maukah kau berlayar bersamaku?” Ku coba tanyakan pada kegelapan yang senantiasa membawa kegelisahan, kegundahan, dan ketakutan akan pudarnya sosok terang dalam kegelapan. Coba tanyakan pada sebuah mimpi yang senantiasa membawa berjuta misteri dan dirinya yang menuju kembali, sosok mentari.
“Aduh..” Siraman air itu mengagetkanku. “Jangan melamun saja, nanti tidak kelar-kelar nyuci sepedanya”. Sesekali kami bermain air, hingga pakaian kami setengah basah. Tiba-tiba, dia menggenggam tanganku, tatapannya begitu dalam. “Aku mencintaimu, aku merasa nyaman bersamamu. Kau berbeda dengan perempuan yang lainnya. Sudah lama aku menunggu saat-saat seperti ini, merasakan sebuah cinta yang sesungguhnya. Karena aku mencintaimu, akan aku jadikan cinta ini sebagai kendaraan untuk menuju ketempatNya. Maukah kau menungguku lulus S2 ? Jangan pernah pergi kemana-kemana, aku akan segera kembali menjemputmu, aku janji”. Kata-kata yang meluncur dari bibirnya, membuatku jatuh terperosok kedalam jurang hatinya. “Apakah mau kau ku tinggalkan sendirian disini ?” Sahutnya, dan kudapati dia sudah berada diseberang jalan. Kami melanjutkan perjalanan, mengayuh sepeda dibawah hujan tanpa pelindung. Menikmati disetiap sentuhannya, mendengar disetiap canda tawanya. Ia membasuh mukaku, juga meruntuhkan rasa sesalku. Hujan menyimpan sejuta cerita. Terkadang, hujan tak selamanya membawa gemuru, namun hujan juga membawa kebahagiaan. Dan hujan pula lah yang pernah menahan dua insan kala itu.
***
Denting-denting waktu bergerak lama. Tak ada manusia yang berlalu lalang. Hanya embun pagi yang menatap lekat dari balik jendela, katak-katak bernyanyi, berlari-lari di rerumputan. Aku tahu, bahwasannya hujan akan singgah ditanah kelahiranku dengan waktu yang panjang. Ketika hati mulai terpaut pada satu nama, teringat akan satu wajah yang penuh kehangatan dan kelembutan. Kulukiskan segala rasa dalam bentuk kata-kata, hingga gemercik air langit menemani kerinduan ini. Hatiku mulai melantunkan nada-nada syahdu, denyutan nadi terdengar sangat merdu. Beberapa fonem menari-nari indah di bawah langit hitam yang melepas perhiasannya, berlari-lari membentuk morfem. Hingga ia menjadi sebuah wacana yang ingin kupertunjukan hanya dikhususkan untuknya. Tentang dosa kecil yang hanya terampuni dengan sebuah pertemuan. Dia menjagaku dengan cinta yang tak berujung. Karena semua hal yang tak bisa aku lihat, sekarang begitu jelas bagiku. Satu-satunya cinta yang pernah ku kenal. Semua harapan dan impianku menjadi nyata. Dia telah membuka hatiku untuk merasakan cinta yang benar-benar nyata, membuat jiwaku lengkap sepanjang waktu. Dan aku tidak peduli atas mentari yang berada dibalik awan. Yang pasti cahaya penuntunku terus bersinar dan tidak akan pernah pudar selamanya.
Bukanlah suatu kebetulan kami berada di tempat yang sama, tapi ini adalah takdir Tuhan yang menjadikan kami raja dan ratu seharian. Iya, dia kembali menepati janjinya. Dia mendatangi kedua orang tuaku dan meminangku. Sekarang aku tidaklah sendiri dalam menatap senja, aku mengayuh sepeda bersama orang yang aku cintai. Dia yang berasal dari tutur kata yang tak pernah aku sadari, memasuki lewat mimpi, menjelma dalam imajinasi, menjadi bagian dari karya tulis yang kini menjadi nyata untukku.
            Mengapa kita berhenti di sini ?” Ujarku.
Aku ingin melihat senja menyapu dunia. Maukah menikmati deburan ombak bersamaku ? “ Ajak Ahmad.
            Baiklah dengan senang hati.” Balasnya
Kami meninggalkan sepeda disebuah gubuk kecil, saling bergandengan tangan, saling tatap dan tersenyum, saling berbicara dengan bahasa yang hanya aku dan dia yang mengerti. Kami berjalan menelusuri bibir pantai. Sebuah pantai yang selalu rapih menyimpan berjuta rahasia.
Pantai itu selalu nyaman, dihantam gelombang sekalipun tetap saja menciptakan suasana nyaman. Apalagi ia selalu setia hingga senja. Dan bahkan dulu aku selalu bermimpi kelak aku ingin photo pernikahanku dengan nuansa senja.” Gerutuku.
Yasudah, dicatat baik-baik yah de.” Balasnya sembari memegang hidungku.
Bisakah kakak membantu mencatat di buku takdirku ?
Memang bisa de ?” Jawabnya sembari mengerutkan dahi kearahku.
Bisa jika dibarengi dengan berdoa kepada Tuhan, ada takdir yang bisa kita rubah, dan adapula takdir yang tidak bisa kita rubah, bukankah seperti itu kak ? Tapi bukankah kita sudah menikah, jadi lupakan saja, aku bersyukur dengan semua ini.” Jawabku sembari melemparkan batu kepantai yang menciptakan beberapa gelombang.
Iya, nanti kita rapatkan apa-apa saja yang perlu kita rubah yah de. De, jika suatu saat kakak nakal gimana ? kakak cuma pengen tanya saja.
Hancur berkeping-keping, sakitnya tuh di sini. Meski dibetulkan kembali tetap saja akan terlihat retaknya, jangan pernah mencoba dan jangan bermain api jika tidak bisa memadamkannya. Tapi jika kakak ingin melakukannya jangan salahkan aku jika aku menghilang seperti buih di lautan.” Aku menghela nafas panjang, lalu berjalan cepat  didepannya. Kemudian dia berlari menyusulku, berjalan di sampingku, menggenggam erat tanganku.
Haduh, kakak nakalnya cuma sama kamu saja de, tenang saja kok, tapi kamu juga jangan nakal lagi de.
Aku tidak nakal kok kak, tapi kenapa aku yang jadi korban kenakalan kakak ? seperti apa kenakalan kakak ? apakah penuh dengan deraian air mata ? apakah penuh dengan kekerasan ? seram sekali. Ini, lihatlah aku sudah lari-lari di tempat,  pemanasan buat lari dari kenakalan kakak.
Tiba-tiba Kak Ahmad membawa tubuhku kedalam pelukannya, dan membelai jilbab merah marun dengan lembut. Aku diam sejenak, sedang hati tak berhenti berdegup kencang. “Bukankah aku sudah halal bagimu, kak ?”. Ucapku dengan perlahan untuk menenangkan hati. Dan lagi-lagi dia hanya menciptakan sabit dibibirnya.
“Maukah menaiki perahu bersamaku ? hayolah sebentar saja de.”
“Terimakasih kak, kakak telah menjadikan semuanya nyata untukku, aku tahu kakak sudah merencanakannya dengan susah payah.”
Pantai yang damai, sedamai hati kami berdua. Indah, seindah lembayung senja. Sebuah perjalanan yang penuh liku telah aku lalui. Perahu yang telah lama menepi tidaklah terbuang sia-sia. Karena kini aku telah menemukan seorang nahkoda yang akan mengantarku ke syurgaNya kala ruhku merindukan Sang Pencipta. Seorang nahkoda yang hebat tidaklah tercipta dari ombak yang tenang. Kini aku hanya tinggal menikmati hasil panen dari kesabaranku, ketegaranku dan keyakinanku. Dan setiap hari aku selalu jatuh cinta pada orang yang sama, yaitu kak Ahmad.
“Bukan karena kau cantik yang menjadikan aku cinta. Tapi karena aku cinta kau begitu cantik.” Seru kak Ahmad yang lalu mencium keningku.
Kami saling tersenyum dan tertawa di bawah naungan lembayung senja, menyaksikan sang mentari menyibak tirai malam. “Entah mengapa aku sangat menyukai senjaMu, ketika mentari kembali keperaduannya, ia mencipta keindahan di langit sore, sungguh sempurna di mata samudra. Tetapi Tuhan, ada yang lebih indah lagi selain senja yaitu seseorang yang aku cinta menoleh kearahku, mendekatiku dan berbagi kasih denganku yang kini berada di dalam pusat mata ini.” Batinku. Ahmad mendekatkan diri, menatap mataku penuh kasih, lalu tanpa kata ia menyentuh lembut bibirku dalam kalutan senja, menjadikan suasana tersebut begitu hangat yang tak terlupakan.
“Jika di pertengahan jalan kita dipisahkan oleh tadir bagaimana de ?” Ujar Ahmad
“Semua sudah di ataur oleh Tuhan, kita manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin, bahkan kematian saja datang tanpa permisi. Aku akan menikmati disetiap perjalanan bersamamu, hingga tangan Tuhan menyatukan kita kembali diakhir nanti.
“Kakak sangat beruntung memilikimu de, kakak mencintaimu”. Tanpa menunggu jawaban, ia kembali menyentuh manis senja dalam waktu yang lama.
*Selesai*


Gimana? Bagus-bagus kan puisi buatan anak Unwir Indramayu? Hehehe. Semoga bisa terhibur.
Sekian dulu postingan hari ini, wassalamu’alaikum….

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "5 Besar Lomba Menulis Cerpen PENTRA 2015"

Posting Komentar