Sinopsis Novel Tempatku di Sisi-Mu Karya Gol A. Gong

 


Sinopsis Novel Tempatku di Sisi-Mu Karya Gol A. Gong - Selamat siang, selamat berjumpa lagi dengan blog MJ Brigaseli. Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi sinopsis novel Tempatku di Sisi-Mu karya Gol A. Gong yang diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2002.

Novel ini merupakan bagian ketiga dari trilogi karya Gol A. Gong. Buku pertama berjudul  Pada-Mu aku bersimpuh dan buku kedua berjudul Biarkan Aku Jadi Milik-Mu.

Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan dan beranak pinak. Itu sudah dimulai sejak Nabi Adam dan Hawa. Begitu juga dengan Siti Nurkhasanah. Setelah menikah dengan Bashir, mereka melewati bulan madu di hotel Semenanjung, di pesisir Banten. Hasil dari bulan madu tersebut, perut Anah makin hari makin membesar. Allah sudah meniupkan ruh-Nya pada benih yang ditanam Bashir di rahim Anah.

Suatu hari sebuah mobil sedan berhenti di pelataran depan. Anah menunggu di teras. Penumpangnya Pak Hari Natadiningrat dan Natalia. Kedua manusia yang dahulu pernah melakukan dosa besar; melakukan perzinaan dan membuang bayi dari hasil nafsu birahi mereka, kini tampak makin tenang di hari tuanya. Kedua orangtuanya sudah menemukan bahwa inti dari kebahagiaan itu terletak pada semakin dekatnya hati kita dengan Allah. Ada rasa ikhlas dan pasrah bahwa segala sesuatu itu milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Anah menyambut kedatangan orangtuanya di teras dengan kedua tangan terbuka. Pak Hari dan Natalia menginap di rumah Anah. Pagi harinya ketika Pak Hari, Natalia, Bashir, dan Anah sedang membicarakan tentang rencana membeli tanah untuk dibangun sebuah klinik, tiba-tiba air ketuban Anah keluar. Mereka pun panik bercampur senang. Mereka langsung membawa Anah ke klinik.

Ketika waktu melahirkan tiba, Anah mengalami ujian yaitu bayinya susah keluar karena panggul ana sempit. Akhirnya Bu Bidan mengambil langkah agar divakum. Anah mengeden lagi. Bashir menggenggam tangannya. Bu Bidan dengan sigap memasang alat vacum di batok kepala si bayi. Bashir tampak tegang. Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Bu Bidan menarik alat itu dengan sangat hati-hati. Batok kepala itu pelan-pelan mulai menemukan wujudnya; sebuah bayi perempuan dengan wajah yang cantik. Setelah itu Bu Bidan tidak memakai alat vakum lagi. Dia memegangi leher si bayi dan menariknya pelan-pelan. Bayi tersebut diberi nama Siti Nurkhalishah.

Semua impian Anah kini sedang mendekati kenyataan. Di tanah kosong yang dahulu hanya ada plang bertuliskan: DI TANAH INI AKAN DIBANGUN "KLINIK ASY SYIFA” kini sudah mulai menampakkan wujud bangunannya. Pak Soleh tersenyum bangga melihat kenyataan di depannya ini. Semuanya berjalan tanpa bisa diduga. Bermula dari bayi yang dibuang di gerbong kereta, kemudian ke almarhumah Bik Eti yang menemukan bayi malang itu. Bik Eti yang mengasuh, merawat, membesarkan, dan mendidiknya. Terus bergulir ke Pak Haji Budiman yang merawatnya hingga lulus SMU, lalu ke keluarga Hidayat yang berhasil mengantarkannya menjadi seorang dokter, dan kini Pak Hari menghadiahinya sebidang tanah, yang di atasnya akan dibangun sebuah klinik yang diperuntukkan bagi orang-orang tidak mampu seperti dirinya.

Ketika Anah mengemukakan keinginannya membangun klinik "Asy Syifa", yang diperuntukkan bagi orang tidak mampu, Pak Hari sangat mendukung. Bahkan, seolah ingin menebus dosa lamanya, Pak Hari membantu seluruh biaya pembuatan klinik "Asy Syifa". Mulai dari pembelian sebidang tanah di dekat perkampungan di belakang stasiun, serta pengadaan material dan tukangnya. Pak Hidayat pun tidak ketinggalan. Dia menjanjikan akan membelikan peralatan medis untuk persalinan. Komplit sudah kebahagiaan Anah karena Allah telah mempermudah impiannya.

Suatu hari Pak Hari meninggal dunia. Natalia memeluk tubuh suaminya dengan perasaan kehilangan yang amat sangat. Dia mencoba untuk melepaskan kepergian suaminya dengan rasa ikhlas. Dari asal kembali ke asal. Tiba-tiba, sayup-sayup dari pengeras suara masjid, suara azan isya menggema. seolah mengantarkan ruh Pak Hari yang sedang menuju tempat di sisi-Nya.

Esoknya para pelayat yang berjubel mengantar Pak Hari Natadiningrat ke liang kubur satu per satu sudah pulang. Tinggal Bashir, Pak Hidayat, dan istrinya yang masih setia menemani Natalia. Bashir izin pulang karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan.

Pak Hidayat dan istrinya mengajak Natalia pulang, tetapi Natalia terhenti di pintu pemakaman. Saat itu sebuah taksi berhenti. Diana keluar dan berlari ke arahnya. Diana yang memilih berdomisili di Singapura sambil kuliah, tiba-tiba ada di depannya. Diana memeluknya dengan mata berkaca-kaca. Saat pemakaman itu, Diana datang baru tiba dari Singapura.

Anah masih berbaring di tempat tidur ketika Natalia memberikan map berwarna hijau padanya, berisi surat wasiat dari Pak Hari yang mewariskan sebagian besar hartanya ke  Anah, sisanya untuk Natalia dan Diana. Muhammad Al Faqih, bayi yang baru dilahirkannya tertidur di sebelahnya. Anah sendiri tidak bisa menghadiri pemakaman ayahnya, karena kondisinya belum pulih benar setelah melahirkan bayi keduanya. Setelah Pak Hari meninggal, Natalia ikut bersama Diana ke Singapura. Tinggal beberapa lama di sana. Menemaninya sampai lulus kuliah.

Suatu hari sebuah mobil sedan berhenti di pintu lobi hotel Semenanjung. Seorang wanita cantik dengan pakaian casual; berkacamata hitam, celana warna cokelat kaki, dan kemeja putih bermerek, turun dari mobil. Namanya Mutiara Harum Mewangi. Dia mengitari pandang ke sekeliling hotel sambil menebar senyum pada siapa saja. Dia melemparkan senyum manisnya pada semua orang sambil melangkahkan kaki menuju meja resepsionis. Dua orang karyawan hotel menyambutnya. Dia sudah hampir seminggu menginap di hotel Semenanjung. Ada sesuatu yang sedang dicari-carinya. Dia mencari Bashir. Akhirnya pada suatu kesempatan, Tiara bisa bertemu dengan Bashir dan istri serta kedua anaknya.

Bayang-bayang kematian itu terlihat juga oleh Bashir pada Tuan Marabunta. Pengusaha kaya raya yang flamboyan sekaligus rakus, serta selalu menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya, kini tergolek tak berdaya. Segala macam kekuasaannya, harta yang melimpah, tukang pukulnya yang menyeramkan, pengaruhnya yang luar biasa, menjadi tak berarti lagi di depan Allah. Dengan kuasa-Nya, dia kini hanya seonggok daging tak berdaya.

Bashir berdiri mematung melihatnya. Lututnya gemetar. Hatinya seperti diiris-iris. Begitu juga Anah, merasakan hal yang sama. Betapa trenyuh hatinya melihat orang yang dahulu sangat berkuasa, kini ibarat kayu tua yang rapuh dimakan rayap. Bagi Anah dan Bashir, peristiwa ini bisa menjadi cermin agar tidak takabur pada sesama hamba-Nya. Tidak sombong. Tidak menghamba pada status dan kekayaan. Tidak menganggap orang lain itu lebih rendah daripada kita. Dalam keseharian pun banyak peristiwa seperti ini terjadi. Pada orang-orang yang di zaman Orde Baru begitu sangat berkuasa, kini menukik menjadi orang paling hina. Diseret-seret dari satu persidangan ke persidangan yang lain dan berakhir di penjara.

Setelah berbicara dan meminta maaf kepada Bashir dan Anah, Tuan Marabunta hanya tersenyum, karena mereka sudah memaafkannya. Wajahnya kini tampak bergairah sekali. Warna pucat berganti menjadi memerah, pertanda kehidupan mulai muncul. Tetapi, itu hanya sekejap saja. Karena setelah itu, tak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Wajahnya terbujur kaku. Tinggal senyumnya saja yang masih membekas. Dicky panik. Dicky mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya. Tuan Marabunta akhirnya meninggal dunia.

Suatu hari dokter memvonis Anah positif terkena kanker hati. Umurnya diperkirakan tidak akan lama lagi. Bashir tidak bisa menerima kenyataan ini. Berbeda dengan Anah, yang justru lebih sabar dan pasrah. Bagi sebagian dokter, kanker hati adalah takdir dari Allah. Kabar mengerikan ini persis tiga minggu menjelang keberangkatannya ke tanah suci. Bashir berlari ke pantai dan berteriak-teriak sendirian sambil menatap langit. Dia seperti memprotes keputusan Allah bahwa dirinya tidak pernah diberi kesempatan untuk merasakan kebahagiaan. Semua orang yang dia cintai begitu cepat dipanggil ke sisi-Nya. Mulai dari ibunya, ayahnya, kakaknya, sampai istrinya yang sudah masuk dalam daftar antrean.

Dengan mengendarai sebuah mobil, Anah menemui Tiara sebelum menunaikan ibadah haji. Dia bertanya kepada Tiara apakah Tiara masih mencintai Bashir. Namun Tiara tidak bisa menjawabnya. Akhirnya Anah pulang. Anah berharap Tiara bisa menggantikan kedudukannya nanti setelah dia tidak bisa menjalani kehidupan lagi.

Anah terus berjalan dalam lindungan tubuh Bashir. Tubuhnya dipeluk oleh Bashir dari belakang supaya tidak tersenggol atau terdorong oleh jamaah yang lain. Jalan Anah sudah sempoyongan. Bashir tampak merasa cemas. Sebetulnya Bashir tidak setuju istrinya menunaikan ibadah haji dalam kondisi sakit seperti ini. Tetapi, istrinya bersikeras. Bagi istrinya, niat itu sudah bulat. Tak ada alasan lain yang bisa menghalanginya untuk tidak datang ke rumah Allah tersebut. Bahkan kanker hati yang kini dideritanya sekalipun. Tak kan ada.

Akhirnya Anah meninggal di Makkah setelah selesai menunaikan ibadah haji. Betapa sangat sedihnya perasaan Bashir. Anah meninggalkannya dan kedua anaknya yang masih kecil. Sebelum meninggal, Anah sempat mengtakan kepada Bashir bahwa jika dia tiada, demi anak-anak, temuilah Tiara. Menjadikan Tiara pengganti Anah, karena Tiara masih mencintai Bashir.

Itulah tadi sinopsis novel Tempatku di Sisi-Mu karya Gol A. Gong. Semoga bisa bermanfaat dan menghibur pembaca semuanya.

 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sinopsis Novel Tempatku di Sisi-Mu Karya Gol A. Gong"

Posting Komentar