Teori Dasar Kependidikan


TEORI DASAR KEPENDIDIKAN
A.    Dasar Teoritis
Kajian dan diskusi mengenal pendidikan secara teoritis tidak terlepas dari filsafat yang menjadi dasar keilmuan pendidikan. Karena itu kajian mengenai teori pendidikan diderivasi atau ditutunkan dari dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis ilmu pendidikan itu sendiri.
Kajian terhadap ilmu pendidikan secara ontologis berkaitan dengan dimensi kuantitatif dan kualitatif. Dimensi kuantitatif esensinya mempertanyakan apakah kenyataan di dalam dunia pendidikan itu bersifat tunggal atau jamak. Dimensi kualitatif esensinya mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, misalnya gradasi materi yang ditransformasikan selama proses pembelajaran.
Dasar epistemologis ilmu pendidikan menjadikan “pengetahuan” di bidang kependidikan sebagai obyek kajian, dengan fokus bahasan secara mendalam atas semua proses yang terlihat dalam usaha manusia memperoleh pengetahuan di bidang ini.
Dasar aksiologis ilmu pendidikan esensinya mempertanyakan kegunaan pengetahuan kependidikan yang berupa ilmu dan kaitannya dengan kaidah-kaidah moral.

B.     Teori Pendidikan
Pendidikan selalu mendapat sorotan tajam dan sekolah menjadi “kambing hitam” utamanya. Ketika menyoal masalah pendidikan, memang banyak orang selalu mengidentikannya dengan persekolahan (education as schooling), meski sesungguhnya pendidikan nonformal (PNF, nonformal education) dan pendidikan di dalam keluarga (informal education) atau pendidikan di masyarakat seumumnya mengambil peran penting di dalamnya.
Teori dan praktik kependidikan saat ini seakan-akan telah kehilangan arah untuk mengatasi kebingungan ini. Hubungan yang efektif dan manusiawi antara guru dan siswa cenderung telah runtuh. Banyak hal telah menyusup ke dalam situasi sekolah, sehingga mengubahnya menjadi tempat yang penuh dengan gangguan. Sosok lembaga pendidikan semacam itu benar-benar telah membuatnya kehilangan jati diri yang sesungguhnya. Apapun kritik atas sekolah, keberadaannya tetap menjadi keniscayaan hingga akhir zaman.
Dengan demikian, diperlukan teori baru di bidang pendidikan. Teori baru dimaksud, disamping berdasarkan temuan-temuan ilmiah, juga harus didasari atas standar keTuhanan yang menciptakan dan menumbuhkembangkan manusia. Penggabungan antara teori ilmiah dan standar ketuhanan dalam praktik kependidikan ini disebut sebagai teori unifikasi pendidikan.
Teori pendidikan berkaitan dengan cita-cita, tujuan, dan metode pendidikan, serta sesuai dengan apa yang disebut filsafat pendidikan. Aplikasi ilmu pendidikan ke dalam kurikulumsekolah berkaitan dengan masalah evaluasi siswa dan pengujian, teknik belajar, konseling siswa, administrasi sekolah, manajemen pendidikan, pelayanan khusus, dan sebagainya.
Pada saat ini, ilmu pendidikan telah telah membuat kemajuan besar di bawah kecenderungan modern untuk berpikir tinggi di bidang ilmu pengetahuan, sedangkan filsafat pendidikan terabaikan dan terus menurun bobotnya. Oleh karena itu, apa yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pembentukan sebuah filosofi baru pendidikan yang disebut dengan teori  unifikasi pendidikan. Dengan cara begitu, diharapkan tidak muncul lagi apa yang dikemukakan oleh Dr. Gunning Langeveld (1955), bahwa: “Praktik tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori dengan praktik hanya untuk orang –orang jenius.”
Teori dan praktik pendidikan memang selalu mengundang perdebatan, termasuk silang pendapat mengenai fungsi sejati pendidikan. Meski demikian, agaknya disepakati empat teori utama mewakili pandangan pada ahli di bidang pendidikan, yaitu: teori fungsionalis, teori konflik, teori interaksionis simbolis, dan teori rekonstruksionis.

1.      Teori Fungsionalis
Teori fungsionalis (functionalist theory) berfokus pada cara-cara pendidikan melayani kebutuhan masyarakat secara universal, khususnya peserta didik atau siswa. Pendiri teori fungsionalis ini, Durkheim, mengidentifikasi peran laten pendidikan sebagai salah satu sosialisasi individu ke dalam pengarusutamaan (mainstreaming) masyarakat. Hal ini olehnya disebut sebagai “pendidikan moral” yang membantu pembentukan struktur sosial yang kohesif dengan cara menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang, seperti suku, ras, kebudayaan, agama, dan status sosial-ekonomi.
Titik tekan lain dari fungsionalis adalah peran laten pendidikan seperti transmisi nilai-nilai inti (core values) dan kontrol sosial. Nilai-nilai inti dalam pendidikan mencerminkan karakteristik yang utamanya mendukung dan mendukung sistem ekonomi dan politik. Pendidikan memiliki nilai yang paling penting untuk menembus kelas masyarakat atas dasar individualisme-ideologi dan menganjurkan hak-hak kebebasan, tindakan independen, dan hak-hak individu (individualism, liberty, and rights).
Manfaat lain dari teori fungsionalis adalah melihat pendidikan memilah siswa berdasarkan kepantasan (sorting). Disamping fungsi penyortiran, fungsi pendidikan adalah pembentukan jaringan (networking) atau membuat koneksi interpersonal, sesuatu hal yang tidak dapat dihindari.

2.      Teori Konflik
Teori konflik (conflict theory) melihat tujuan pendidikan sebagai upaya menjaga kesenjangan sosial dan melestarikan kekuasaan orang-orang yang mendominasi masyarakat. Teori konflik untuk beberapa aspek melihat fungsi pendidikan sama dengan alur dianut oleh fungsionalis. Fungsionalis melihat pendidikan sebagai kontribusi yang menguntungkan masyarakat yang teratur, namun teori konflik melihat sistem pendidikan sebagai mengekalkan status quo dengan cara mengumpulkan kelas bawah menjadi pekerja yang patuh.

3.      Teori Interaksionis Simbolis
Fokus teori interaksionis simbolis (symbolic interactionist) membatasi analisis pendidikan dengan secara langsung mengamati apa yang terjadi di dalam kelas. Mereka berfokus pada bagaimana ekspektasi guru mempengaruhi kinerja, persepsi, dan sikap siswa. Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson melakukan studi penting untuk pendekatan ini pada tahun 1968. Mereka meneliti sekelompok mahasiswa dengan melakukan tes kecerdasan intelektual (IQ, intelligency quotient) standar. Para peneliti kemudian mengidentifikasi sejumlah mahasiswa yang memprediksi diri mereka kemungkinan akan menunjukkan peningkatan tajam dalam kemampuan tahun-tahun yang akan datang.
Mereka memberitahukan hasil tes itu kepada guru dan memintanya mengamati dan mencermati apakah peningkatan ini tidak terjadi. Ketika para peneliti mengulangi tes IQ pada akhir tahun, ternyata para siswa yang diidentifikasi benar-benar menunjukkan nilai IQ yang lebih tinggi. Para peneliti menemukan bahwa ketika para guru mengharapkan kinerja atau pertumbuhan tertentu, hal itu terjadi. Fenomena ini, dimana asumsi palsu benar-benar terjadi karena seseorang diprediksi, yang disebut pemenuhan diri secara nubuat (self-fulfilling prophesy).

4.      Teori Rekonstruksionis
Reformasi terbaik adalah reformasi masyarakat untuk dunia yang lebih baik. Agaknya ini menjadi preposisi dasar penganut teori rekonstruksionis. Teori rekonstruksionis (reconstructionism theory) dikemukakan oleh George Count dan Theodore Brameld. Theodore Brameld (1940-1987) adalah pendiri rekonstruktionisme sosial, sebagai reaksi terhadap realitas Perang dunia II. Dia mengakui ada potensi yang bertentangan. Di satu sisi teknologi digunakan untuk membantai manusia secara kejam. Di sisi lain ada kemampuan menciptakan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat dan kasih sayang umat manusia. George Counts (1889-1974) mengakui bahwa pendidikan adalah cara paling tepat untuk mempersiapkan orang menciptakan tatanan sosial baru ini. Inilah esensi teori rekonstruksionis sosial.
Teori rekonstruksionisme sosial juga disebut teori kritis. Teori ini merupakan pemikiran filosofis yang menekankan pada esensi masalah sosial dan upaya menciptakan masyarakat yang lebih baik dan demokratis diseluruh dunia.
Rekonstruksionisme adalah cabang progresivisme radikal. Rekonstruksionis melihat masyarakat mengalami kerusakan yang serius. Bagaimanapun, para rekonstruksionis melihat pendidikan sebagai sarana dan tatanan sosial baru yang perlu dikembangkan, dengan sekolah-sekolah sebagai agen utamanya untuk membangun generasi ke depan yang lebih baik dan modern.

C.    Teori Pendidikan Perdamaian
Pendidikan untuk perdamaian secara tradisional dikemas ke dalam dua ranah, yaitu negatif dan positif. Perbedaan ini dapat dilihat pada inisiatif perdamaian dengan jalan strategi kekuatan penyelesaian konflik mereka yang bersengketa dan pembangunan perdamaian dengan jalan mencoba memotivasi siswa ingin menjadi damai.  Pendidikan perdamaian itu bersifat negatif atau positif. Pendidikan perdamaian negatif mencoba “memadamkan api” sementara pendidikan perdamaian positif mencoba untuk menghentikan “kebakaran” atau konflik.
Pendidikan perdamaian didasarkan pada filosofi yang mengajarkan anti-kekerasan, cinta, kasih sayang, kepercayaan, keadilan, kerjasama, dan menghormati keluarga manusia dan seluruh kehidupan di planet kita. Keterampilan meliputi komunikasi, mendengarkan, memahami perspektif yang berbeda, kerjasama, pemecahan masalah, berpikir kritis, pengambilan keputusan, resolusi konflik, dan tanggung jawab sosial. Pendidikan perdamaian melahirkan kehidupan yang damai.
Dalam skema Unesco, tahun 2000 diproklamirkan sebagai tahun internasional untuk kebudayaan perdamaian. Skema ini sejalan dengan pemikiran bahwa begawan manajemen, Peter F. Drukker, bahwa abad ke-21 bercirikan kedamaian dan rasa cinta damai dari masyarakat warga yang bermukim di belahan bumi manapun.
Skema diatas diumumkan pada tanggal 27 November 1997, hampir bersamaan dengan pecahnya “krisis politik” dan ekonomi Indonesia. Padahal, pada waktu yang bersamaan di semua kawasan di dunia, jajaran besar organisasi, asosiasi, kelompok dan perorangan bekerja untuk perdamaian, tanpa kekerasan, dan toleransi telah berusaha untuk mengambil bagian aktif dalam kegiatan untuk Tahun Intrnasional untuk kebudayaan , Perdamaian itu. Apa itu kebudayaan perdamaian? Kebudayaan perdamaian adalah semua nilai, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku yang menggambarkan penghormatan pada hidup, penolakan kekerasan dalam semua bentuknya dan komitmen pada prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, solidaritas, toleransi, dan pengertian antarbangsa dan antargolongan serta antarmanusia perorangan.
Nilai-nilai apa yang terkandung dalam kebudayaan perdamaian versi Unesco itu? Pertama, menganjurkan pendidikan untuk perdamaian, hak asasi manusia dan demokrasi, serta toleransi dan pengertian antar bangsa. Kedua, membela dan menghormati semua hak asasi manusia, tiada yang terkecuali, dan melawan semua bentuk diskriminasi. Ketiga, memajukan prinsip-prinsip demokrasi pada semua tingkatan masyarakat. Keempat, melawan kemiskinan dan menjamin pembangunan endogen dan berlanjut untuk kebaikan semua, mampu menyediakan bagi setiap orang kehidupan yang berkualitas yang konsisten dengan martabat manusia. Kelima, melindungi dan menghormati lingkungan kita.
Apa yang harus kita perbuat demi kedamaian. Pertama, pertobatan untuk menjadi individu yang baik, antara lain tercermin dalam perilaku di sekolah. Kedua, membangun kembali nilai-nilai figuritas dimana elit politik dan sosial sebagai tempat bercermin. Ketiga, kalau kita tidak dapat menciptakan sejarah, jadilah pribadi yang unggul untuk meluruskan sejarah. Keempat, mengembalikan orientasi kerja elit politik dan elit penguasa ke misi penunaikan tugas pokok dan fungsinya, bukan menuntuk hak-haknya.

D.    Teori Pendidikan Robert M. Hutchins
1.      Teori Nilai
Salah satu ciri pendidikan ideal adalah mengembangkan daya intelektual siswa. Hal ini bukan salah satu kebutuhan mendesak, bukan sebuah pendidikan khusus, atau pendidikan praprofesional, dan bukan juga pendidikan utilitarian. Ini adalah pendidikan untuk mengembangkan pikiran. Robert M. Hutchins memiliki prasangka kuno mendukung 3R (membaca, menulis, dan berhitung) dan seni budaya (liberal art) yang mencoba mendukung pemahaman atas karya terbesar, bahwa ras manusia telah dihasilkan. Tujuan utama pendidikan adalah untuk menumbuhkan penalaran manusia.

2.      Teori Hakikat Manusia
Fungsi manusia sebagai manusia adalah sama disetiap masyarakat, karena tampilan dan sifatnya sebagai manusia. Tujuan sistem pendidikan esensinya sama dari zaman ke zaman dan disetiap masyarakat dimana sistem tersebut dapat eksis. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan derajat seorang manusia sebagai manusia. Manusia esensinya tetap sama dimana-mana, karena sifat manusia cenderung konstan. Pengakuan atas rasionalitas sebagai atribut manusia tertinggi, ia harus mampu bertindak melebihi insting alam, sesuai dengan tujuan yang dipilihnya.
Sifat manusia juga cenderung tidak berubah, pada dasarnya tetap sama. Demikian juga sifat manusia untuk menjalani kehidupan yang baik, yaitu yang paling cocok  bagi manusia untuk memimpin, mematuhi prinsip-prinsip moral, dan pendidikan yang harus mereka terima. Sifat manusia menunjukkan bahwa dia bisa terus belajar sepanjang hidupnya.

3.      Teori Belajar
Jika memori gagal mengingat suatu fenomena atau peristiwa, ia harus diperkuat melalui latihan dan pengulangan. Pendidikan dan prlatihan laksana “Buku Besar”. Pendidikan harus berusaha menggiring penyesuaian individu, bukan ke dunia seperti apa adanya, melainkan ke dunia yang benar sesuai dengan peruntukannya. Penyesuaian terhadap kebenaran adalah “tujuan akhir” dari belajar. 

4.      Teori Kematangan
Teori kematangan atau teori maturasi beranjak dari asumsi bahwa perkembangan merupakan proses biologis yang terjadi secara otomatis dan berurutan, berkembang mengasumsikan bahwa anak-anak muda akan memperoleh pengetahuan secara alami dan otomatis saat mereka tumbuh secara fisik dan menjadi tua, asalkan sehat.

5.      Teori Lingkungan
Teoretisi seperti John Watson, B.F. Skinner, dan Albert Bandura memberikan kontribusi yang besar terhadap perspektif perkembangan lingkungan. Penganut teori ini percaya bahwa segala bentuk dan pengembangannya dianggap sebagai reaksi pembelajar terhadap lingkungan. Perspektif ini mendorong banyak keluarga, sekolah, dan guru mengasumsikan bahwa anak-anak muda mengembangkan dan memperoleh pengetahuan baru dengan bereaksi terhadap lingkungan mereka.

6.      Teori Interdependensi Sosial
Premis dasar dari teori interdependensi sosial, bahwa bentuk saling ketergantungan terstruktur dalam suatu situasi menentukan bagaimana individu berinteraksi satu sama lain yang, pada gilirannya menentukan hasil yang dicapai. Saling ketergantungan positif cenderung menghasilkan interaksi promotif, saling ketergantungan negatif cenderung menghasilkan interaksi oposisi, dan tidak ada saling ketergantungan menyebabkan tidak adanya saling berinteraksi.
Sudah menjadi tradisi siswa belajar berkelompok. Ketika belajar berkelompok, ada siswa yang serius, moderat, bahkan main-main. Penugasan siswa untuk belajar berkelompok sangat mungkin diinspirasi oleh teori interdependensi atau saling ketergantungan sosial. Ada dua jenis saling ketergantungan sosial, yaitu kerjasama dan kompetisi. Dengan demikian, ketika siswa berinterdependensi dalam kerangka belajar kelompok atau belajar sosial, sifat yang mereka tampilkan ada dua, yaitu: kooperatif dan kompetitif.
Dilihat dari sisi individual, ada tiga kemungkinan sikap dan perilaku yang mereka tampilkan. Pertama, interdependensi sosial untuk mencapai tujuan atau prestasi bersama. Kedua, interdependensi sosial semu, dimana siswa belajar berkelompok, tetapi masing-masing individu bertahan dengan egonya sendiri untuk mencapai prestasi masing-masing. Ketiga, siswa sesungguhnya hanya tergabung dalam satu kelompok, seakan-akan berinterdependensi, namun sesungguhnya mereka belajar untuk dan dengan cara individu masing-masing.
Menurut Deutsch (1949) dan Johnson & Johnson (1989) ketika individu mengambil tindakan di dalam kelompoknya ada tiga cara yang mereka lakukan yang dapat terkait dengan tindakan orang lain. Seseorang mungkin mempromosikan keberhasilan orang lain, menghambat keberhasilan orang lain, atau tidak berpengaruh sama sekali pada keberhasilan atau kegagalan orang lain. Hasil studi ketiga peneliti diatas adalah:
a.      Siswa bekerjasama secarakooperatif untuk mencapai tujuan belajar bersama.
b.     Siswa bekerjasama satu sama lain untuk mencapai tujuan, namun hanya satu atau beberapa orang yang dapat mencapainya.
c.   Siswa bekerja dengan cara dirinya sendiri untuk mencapai tujuan yang tidak terkait dengan tujuan siswa lainnya.

7.      Teori Pola Interaksi
Lebih dari satu abad terakhir sangat banyak studi korelasi dilakukan oleh berbagai peneliti yang berbeda dengan subjek, usia, mata pelajaran, dan pengaturan yang berbeda pula. Jenis pola interaksi yang ditemukan dapat dipetakan ke dalam tiga kategori, yaitu kerjasama, kompetitif, dan situasi individualistis.
Tentu saja, saling ketergantungan positif menciptakan interaksi-interaksi promotif. Promotif bermakna individu mendorong dan memfasilitasi setiap upaya lain untuk mencapai tujuan kelompok, seperti memaksimalkan aktivitas belajar masing-masing anggota. Anggota kelompok mempromosikan keberhasilan bagi masing-masing anggota lainnya. Bentuk-bentuk interaksi promotif tersebut oleh Johnson dan Johnson (1989) disajikan seperti berikut:
a.       Saling memberi dan menerima bantuan, baik tugas-tugas yang terkait maupun pribadi.
b.      Bertukar sumber daya dan informasi.
c.       Memberikan dan menerima umpan balik pada tugas-kerja (taskwork) dan perilaku kerjasama tim.
d.      Menantang alasan masing-masing.
e.       Advokasi meningkatkan upaya untuk mencapai prestasi.
f.       Saling mempengaruhi satu sama lain penalaran dan perilaku secara aktif.
g.  Melakukan kerja tim yang efektif untuk mengembangkan keterampilan dan hubungan interpersonal dibutuhkan.
h.    Mengelola anggota kelompok bekerja sama secara efektif dan meningkatkan efektivitas kelompok secara terus-menerus.

Ada dua paradigma mayor dalam belajar, yaitu paradigma perilaku dan paradigma kognitif. Kedua paradigma ini cukup menonjol dalam praktik pembelajaran. Perbandingan kedua paradigma tersebut disajikan sebagai berikut:

Paradigma perilaku:
·         Belajar adalah pasif.
·         Siswa harus mempelajari respon yang benar.
·         Belajar membutuhkan stimulus eksternal.
·         Pengetahuan berkaitan dengan masalah mengingat informasi.
·         Memahami berkaitan dengan masalah melihat pola yang ada.
·         Memerlukan aplikasi “transfer pelatihan”.
·         Guru dominan mengarahkan proses belajar.

Paradigma kognitif:
·         Belajar aktif.
·         Siswa mengeksplorasi berbagai kemungkinan pola respon dan memilih diantaranya.
·         Faktor intrinsik dominan mewarnai proses belajar.
·         Pengetahuan berkaitan dengan masalah memperoleh informasi.
·         Memahami berkaitan dengan masalah menciptakan pola-pola baru.
·         Aplikasi memerlukan aktivitas siswa untuk melihat hubungan antara masalah.
·         Siswa harus mengarahkan pembelajaran mereka sendiri.

8.      Teori Transmisi
Dalam makna sempit, pendidikan bisa berarti mengajar. Mengajar berarti mentransmisikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran dan yang benar adalah sama dimana-mana sama. Oleh karena itu, esensi pendidikan harus sama dan sama dimana-mana. Pelatihan kerja yang terbaik diserahkan kepada praktisi dari pekerjaan itu alias menyerahkan pekerjaan kepada ahlinya. Pendidikan mereka menumbuhkan kurikulum umum, seni budaya, dan menawarkan sedikit atau tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menentukan pilihan yang berkaitan dengan  kepentingan atau tujuan mereka.

9.      Teori Masyarakat
Keluarga, lingkungan, masyarakat, negara, media komunikasi, dan kelompok relawan sukarela ambil bagian dalam pendidikan. Tindakan itu bisa kebetulandan bisa juga didesain. Kegiatan kependidikan yang dilakukan seringkali tidak tampak disekolah melainkan muncul sebagai “kehidupan nyata” atau berupa animasi masyarakat. Sistem pendidikan dan praktik persekolahan tidak memiliki cukup pengaruh pada pembentukan karakter umum seharusnya. Keluarga menerapkan pendidikan moral yang diberikan secara nyata, wahana pembentukan sebuah masyarakat yang demokratis.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Teori Dasar Kependidikan"

Posting Komentar