Novel Cewek Matre karya Alberthiene Endah diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003.
Jakarta selalu bising, tapi Lola belajar untuk mencintai kebisingan itu. Ia tahu, di antara deru mesin dan klakson mobil yang tak sabaran, kota ini menyembunyikan banyak kemungkinan. Kemungkinan untuk naik, kemungkinan untuk jatuh, dan kemungkinan untuk berubah. Setiap pagi, ketika ia berdiri di depan cermin, merias wajah dengan telaten, Lola tahu ia sedang memakai topeng yang harus sempurna.
Dia bekerja sebagai humas di sebuah radio swasta, City Girls FM. Namanya keren, kantornya modern, suasananya dinamis. Tapi gajinya, ya, seperti nasi tanpa lauk: cukup mengenyangkan, tapi tak pernah memuaskan. Sementara teman-teman kantornya—atau setidaknya mereka yang menjadi pusat perhatian—datang dengan mobil mentereng, tas branded, dan kulit wajah yang tampak ditangani dokter mahal.
Lola tidak iri. Setidaknya itu yang ia katakan pada dirinya sendiri. Tapi hatinya selalu bergetar tiap kali ia membuka Instagram dan melihat wanita-wanita yang, entah bagaimana, bisa liburan ke Eropa dua kali setahun dan tetap punya waktu untuk rebonding rambut. Sementara dia? Ia masih harus memilih antara beli pelembap atau isi ulang kartu transportasi.
Namun semua itu berubah pada suatu malam ketika ia dan sahabat-sahabatnya nongkrong di kafe tempat biasa mereka menyusun rencana hidup—Palupi yang sinis, Silvia yang manja, dan Renata yang selalu tampil anggun. Malam itu, mereka bicara jujur. Tentang lelahnya jadi “biasa saja”, tentang ingin rasanya dimanjakan tanpa perlu kerja keras mati-matian. Dan dari percakapan itulah, muncul ide yang semula terdengar seperti lelucon.
“Kalau cowok bisa kaya dan kita bisa bikin mereka jatuh cinta, kenapa nggak sekalian aja cari cowok kaya?” kata Silvia, sambil menyeruput latte.
Lola tertawa kecil. Tapi di dalam dirinya, sesuatu seperti klik terdengar. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya: jika cinta tidak datang, apakah uang bisa menggantikannya?
Bulan-bulan berikutnya, Lola memoles dirinya. Ia belajar berbicara dengan percaya diri, menyesuaikan gaya berpakaian, bahkan mulai rajin datang ke acara-acara sosial yang selama ini hanya ia dengar lewat siaran radio. Di situ, ia bertemu pria-pria dengan jas mahal dan parfum yang menguar tajam.
Salah satu dari mereka adalah Adrian, pengusaha muda dengan BMW dan kartu kredit tak berbatas. Ia memuji kecantikan Lola, mengajaknya makan di restoran Prancis, dan memberinya tas tangan tanpa banyak bicara. Awalnya Lola ragu, tapi kemudian ia menikmati kenyamanan itu. Setiap benda mahal yang diterimanya seperti medali, bukti bahwa ia juga bisa hidup seperti para selebritas yang ia kagumi dari jauh.
Namun di balik segala kilauan itu, ada kekosongan yang perlahan menggeliat. Percakapan dengan Adrian selalu dangkal, penuh basa-basi. Pelukannya hangat, tapi hanya sementara. Begitu hadiah diberikan, perhatian Adrian berkurang. Dan ketika Lola mulai mempertanyakan arah hubungan mereka, Adrian hanya tertawa kecil dan berkata, “Nikmati aja, sayang. Jangan ribet.”
Malam-malam berikutnya, Lola mulai sulit tidur. Ia menggenggam dompet mahal di tangannya, tapi merasa sepi seperti anak kecil yang tersesat di tengah pasar malam.
Lalu datang Dimas. Bukan dari restoran mahal atau pesta berkilauan, tapi dari lift kantor. Seorang pria dengan sepatu polos, rambut sedikit acak, dan senyum yang menghangatkan tanpa harus bersinar terang. Ia bukan tipe pria yang biasa menarik perhatian Lola, tapi ada sesuatu dalam cara Dimas menatapnya—tulus, tidak menghakimi, dan tidak menuntut apa-apa.
Dimas bukan pengusaha. Ia hanya teknisi suara yang kadang diperbantukan untuk program radio. Tapi percakapan dengan Dimas membuat Lola merasa dilihat, bukan dinilai. Saat mereka mulai makan siang bersama, tak ada botol wine, tak ada jazz di latar belakang. Hanya nasi padang dan obrolan ringan yang tiba-tiba berubah menjadi diskusi mendalam soal impian.
Lola, yang selama ini sibuk mengejar tampilan luar, mulai merasa gugup saat Dimas memuji isi kepalanya. Bukan wajahnya. Bukan bajunya.
Dan untuk pertama kalinya, Lola bertanya pada dirinya sendiri: “Apa aku masih butuh semua ini kalau ada seseorang yang membuatku merasa cukup hanya dengan jadi diriku sendiri?”
Lola hidup dalam dua dimensi yang bertolak belakang—siang hari ia bersama Dimas, membicarakan mimpi kecil tentang hidup sederhana di rumah dengan taman mungil; malamnya ia duduk di mobil Adrian, melintasi jalan-jalan ibu kota yang dipenuhi lampu dan kemewahan. Di satu sisi, ia tertawa lepas tanpa riasan di hadapan Dimas. Di sisi lain, ia berdandan sempurna agar terlihat sepadan dengan kekasih kaya yang lebih sibuk mengecek saham daripada bertanya bagaimana harinya.
Semakin sering ia bersama Dimas, semakin nyata keretakan yang muncul dalam dirinya. Dimas tidak pernah membelikan tas atau membayar makan malam mahal. Tapi ketika ia sakit, Dimas mengantarnya ke dokter, menunggunya dengan sabar, dan menyiapkan bubur hangat di rumahnya yang kecil. Ia tidak kaya, tapi ada sesuatu dalam tindakannya yang membuat hati Lola merasa utuh.
Sementara itu, Adrian mulai menunjukkan tanda-tanda kejenuhan. Hubungan mereka, yang semula terasa seperti naik jet pribadi ke negeri impian, kini berubah menjadi penerbangan kosong. Hadiah masih datang, tapi percakapan makin langka. Dan pada suatu malam, saat Lola ingin menceritakan tentang ayahnya yang sedang sakit, Adrian hanya menjawab singkat, “Jangan drama, ya. Aku capek.”
Jawaban itu menghantam seperti tamparan. Di detik itu juga, Lola tahu, meski ia dikelilingi barang mahal, ia sendirian.
Sore itu, Lola berdiri di depan cermin, lagi. Tapi bukan untuk merias wajah. Ia hanya memandang pantulan dirinya—mata yang letih, senyum yang dipaksakan, dan hati yang terlalu sering mengabaikan nurani.
Dimas, yang sejak awal tidak pernah bertanya tentang hidupnya di luar kantor, akhirnya tahu. Dari mulut orang lain, tentu saja. Dan saat ia menatap Lola dengan mata kecewa, bukan marah, Lola merasa seluruh lapisan palsu yang ia bangun runtuh dalam sekejap.
“Jadi aku ini... pelarian?” tanya Dimas, pelan.
Lola tidak bisa menjawab. Tangisnya pecah sebelum sempat ia mencari alasan. Ia tahu, tak ada penjelasan yang bisa membuat Dimas mengerti. Karena sesungguhnya, ia pun tak lagi mengerti siapa dirinya sekarang.
Beberapa hari setelahnya, Dimas menjauh. Ia tidak marah, tapi jelas kecewa. Dan itulah yang paling menyakitkan: bukan ditinggalkan, tapi ditatap seperti seseorang yang telah mengkhianati sesuatu yang murni.
Lola berhenti menjalin hubungan dengan Adrian. Bukan karena Dimas, tapi karena dirinya sendiri. Ia akhirnya mengerti bahwa hidup dengan menggantungkan diri pada kekayaan orang lain adalah hidup yang selalu bisa dihentikan orang lain kapan saja. Ia lelah menjadi penumpang di mobil mewah orang lain. Ia ingin berjalan dengan kakinya sendiri, meski perlahan.
Ia mulai mengurangi nongkrong di tempat elite, membatasi pertemanan yang hanya hadir saat pesta, dan mulai menyisihkan uang untuk kursus yang sejak dulu ia tunda: public speaking profesional. Ia tahu, untuk benar-benar bangkit, ia harus punya sesuatu yang dibangun dari dirinya sendiri.
Waktu berlalu. Beberapa bulan setelah itu, di sebuah acara kecil peluncuran program radio baru, ia dan Dimas bertemu lagi. Tidak ada pelukan, tidak ada air mata. Hanya sepasang mata yang saling mengenal luka masing-masing, dan senyuman tipis yang berbicara lebih jujur dari kata-kata.
Dimas menatapnya lama. “Kamu kelihatan... beda.”
“Semoga lebih baik,” jawab Lola.
Mereka duduk di bangku pojok, berbicara seperti teman lama. Tentang hidup, tentang lelahnya berpura-pura, dan tentang betapa sulitnya menjadi jujur pada diri sendiri. Di akhir malam, Dimas tidak menawarkan cinta kembali. Tapi ia menawarkan kopi. Dan Lola tahu, itu awal yang baik.
Lola kini hidup tanpa tas mahal, tapi dengan kepala tegak. Ia masih tinggal di kontrakan kecil, tapi setiap pagi bangun dengan perasaan tenang. Ia tidak lagi menunggu pujian pria berjas, karena ia sudah bisa memuji dirinya sendiri.
Menjadi “cewek matre” bukan kesalahan terbesarnya. Yang salah adalah ketika ia menyangka bahwa itu satu-satunya cara untuk merasa berharga.
Kini, ia tahu: harga dirinya tak bisa dibeli siapa pun. Dan cinta sejati—jika datang lagi suatu saat nanti—tak akan peduli berapa saldo di rekening, selama hatinya bersih dan terbuka.
0 Response to "Sinopsis Novel Cewek Matre karya Alberthiene Endah "
Posting Komentar