Sinopsis Novel Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa, dan Cerita Karya Ayu Utami



Novel Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa, dan Cerita karya Ayu Utami pertama kali diterbitkan pada tahun 2003 oleh penerbit GagasMedia. 

Jakarta, kota yang ramai dan tak pernah tidur, adalah panggung hidupku. Namaku A. Usia hampir kepala tiga. Rambutku kadang dibiarkan panjang, kadang dicukur pendek. Aku bekerja sebagai penulis lepas, tinggal di apartemen kecil dengan jendela menghadap ke jalan raya yang hiruk-pikuk. Tidak ada pasangan, tidak ada anak. Dan tentu saja, tidak ada cincin di jari manis kiri.

Aku menyebut diriku “Si Parasit Lajang.” Bukan karena aku tak punya penghasilan. Bukan karena aku numpang hidup pada siapa pun. Sebaliknya, aku sepenuhnya mandiri. Julukan itu aku adopsi dari istilah yang populer di Jepang—digunakan untuk menyebut perempuan lajang yang dianggap belum "berguna" bagi masyarakat karena belum menikah dan masih hidup dengan orang tua. Tapi aku memakai istilah itu dengan kebanggaan, sebagai bentuk sindiran balik: parasit bagi siapa? Lajang bukanlah kegagalan. Ini pilihanku. Dan aku akan merayakannya.

Pagi hari aku suka duduk di kafe pojokan, menyesap kopi hitam, membuka buku sketsa, dan mencatat hal-hal remeh. Seorang anak menangis karena balon pecah, seorang perempuan tua menunggu angkot sambil membaca doa pelan, dan sepasang kekasih saling bisik-bisik dengan senyum canggung. Jakarta adalah cermin kerinduan dan keterasingan, di antara beton-beton dan klakson yang meraung sepanjang waktu.

Tubuhku, pikiranku, hidupku—semuanya aku kendalikan sendiri. Tapi itu bukan tanpa perlawanan. Dunia sekitarku masih melihat perempuan lajang seperti aku sebagai teka-teki yang harus dipecahkan. “Kapan kawin?” pertanyaan itu seperti mantra kutukan. Setiap reuni keluarga, setiap lebaran, setiap pertemuan tak disengaja, pasti ada saja yang melontarkannya.

Kadang aku lelah menjelaskan. Kadang aku tertawa. Tapi sering kali aku diam. Diam adalah bentuk perlawanan paling sunyi, paling elegan. 

Aku pernah jatuh cinta. Pernah berhubungan intim. Dan aku tak malu mengakuinya. Seks bukanlah dosa selama dilakukan dengan kesadaran penuh. Tapi masyarakat tidak siap menerima perempuan yang mengakuinya. Perempuan harus suci, lembut, dan menunggu. Laki-laki bebas mengejar, menikmati, lalu pergi. Ketika aku membalik narasi itu, banyak yang terkejut.

Dalam banyak tulisanku, aku membicarakan seksualitas bukan untuk memancing sensasi, tapi sebagai pengakuan bahwa tubuh perempuan bukanlah milik negara, agama, atau keluarga. Tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri.

Aku ingat malam ketika aku kehilangan keperawananku. Tidak romantis. Tidak dramatis. Tapi sangat manusiawi. Setelah itu aku tidak merasa rusak, tidak merasa hina. Justru aku merasa utuh, karena aku memilihnya.

Aku dibesarkan dalam keluarga Katolik. Gereja adalah tempat pertama aku belajar tentang kebaikan dan cinta. Tapi juga tempat pertama aku merasa malu karena menjadi perempuan yang berpikir.

Aku mulai mempertanyakan banyak hal: kenapa Tuhan hanya berbicara melalui laki-laki? Kenapa tubuh perempuan dianggap sumber dosa? Kenapa keperawanan begitu diagung-agungkan?

Dalam malam-malam sepi, aku membaca Kitab Suci, buku filsafat, puisi-puisi sufi. Aku mulai menyadari bahwa Tuhan, dalam bentuk tertingginya, tak bisa dibatasi oleh institusi mana pun. Aku mencintai Tuhan, tapi tidak selalu setuju dengan para pengkhotbah. Aku percaya pada kebaikan, tapi tidak pada moralitas yang kaku.

Ibuku menangis diam-diam saat aku bilang tidak ingin menikah. Ayahku mencoba mengajak bicara, mencari tahu apakah aku punya trauma atau luka tersembunyi. Aku tahu mereka tidak jahat—mereka hanya tak mengerti. Mereka lahir dari zaman yang meyakini bahwa hidup perempuan dimulai dari pernikahan.

Aku mencoba menjelaskan bahwa hidupku baik-baik saja. Bahwa aku tidak kesepian. Bahwa aku mencintai mereka dan tetap ingin menjadi bagian dari keluarga, hanya saja dengan cara yang berbeda.

Tapi luka tetap ada. Ada momen-momen hening di meja makan, ada tatapan kasihan dari bibi dan paman, ada selentingan lirih dari tetangga. Aku belajar berdamai dengan itu semua. Tidak semua orang harus memahami. Cukup aku tahu bahwa aku tidak hidup dengan menipu diriku sendiri.

Aku bertemu banyak perempuan lain seperti aku. Ada yang juga memilih tidak menikah. Ada yang terjebak dalam pernikahan tapi ingin keluar. Kami berbagi cerita, luka, dan tawa. Dalam persahabatan itu, aku merasa dikuatkan.

Kami membuat lingkar diskusi kecil, membicarakan feminisme, seni, seks, dan Tuhan. Kami menulis, membuat pameran sketsa, dan terkadang hanya diam menatap langit Jakarta dari atap kosan.

Dalam komunitas itu, aku menyadari: menjadi perempuan bebas adalah perjuangan. Tapi itu juga kebahagiaan yang tak bisa ditukar oleh apa pun. Tak ada cincin yang menggenggam jari, tapi kami saling menggenggam dalam pikiran dan perjuangan.

Suatu malam, di bawah cahaya neon yang redup, aku duduk sendirian di balkon apartemen. Angin Jakarta kotor, tapi hangat. Aku menulis satu kalimat di buku kecilku: Menjadi lajang bukanlah jeda, bukan ketidaksengajaan, bukan menunggu. Ia adalah bentuk utuh dari keberadaan.

Aku tak tahu masa depan akan seperti apa. Aku tidak menutup kemungkinan untuk jatuh cinta lagi, atau mungkin hidup bersama seseorang. Tapi aku tidak akan pernah hidup karena tekanan sosial. Aku hanya ingin hidup dalam kejujuran, bahkan jika itu berarti berjalan sendiri.

Aku menulis buku ini bukan untuk menggurui. Aku hanya ingin membagikan kisah seorang perempuan biasa yang mencoba hidup dengan caranya sendiri. Aku tahu, pilihan ini tidak populer. Tapi aku juga tahu: dunia butuh lebih banyak suara perempuan yang merdeka.

Jika kamu seorang perempuan yang ragu, yang lelah, yang bertanya-tanya apakah kamu boleh memilih jalan lain, ketahuilah bahwa kamu tidak sendiri. Ada jalan di luar jalan yang ditentukan. Dan setiap langkah kecilmu adalah revolusi.

Si Parasit Lajang adalah cerita perempuan yang menolak dikurung dalam definisi orang lain. Dalam sunyi, dalam ramai, dalam tawa dan luka—ia terus berjalan. Bukan sebagai bayangan, bukan sebagai istri dari siapa pun, tapi sebagai dirinya sendiri. 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sinopsis Novel Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa, dan Cerita Karya Ayu Utami"

Posting Komentar