Sinopsis Novel Jangan Beri Aku Narkoba Karya Alberthiene Endah



Novel Jangan Beri Aku Narkoba karya Alberthiene Endah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2004.

Sinar matahari menyelinap lemah dari jendela tinggi ruang rehabilitasi. Aroma disinfektan dan kesunyian mendominasi ruangan putih itu. Di tengahnya, duduk seorang wanita muda. Wajahnya tirus, kulitnya pucat, namun matanya tajam, penuh luka, dan menyimpan cerita yang tak bisa selesai hanya dengan diam. Namanya Arimbi.

Seorang jurnalis duduk di seberangnya, merekam percakapan mereka. Bukan untuk mengekspos, tetapi untuk mengabadikan perjalanan yang menyakitkan—dan pada akhirnya, menyembuhkan.

Sejak kecil, Arimbi hidup dalam dunia penuh kemilau: rumah megah, sekolah internasional, liburan ke Eropa saat libur semester. Namun di balik segala kemewahan itu, ia merasa seperti boneka di etalase—dipajang, dikagumi, tetapi hampa. Ayahnya tenggelam dalam bisnis. Ibunya sibuk dengan pesta, sosialita, dan penampilan. Rumah adalah tempat paling sepi di dunia bagi seorang anak yang mendambakan pelukan.

Ketika Arimbi remaja, ia mulai mempertanyakan siapa dirinya. Ia tidak merasa cocok dengan dunia perempuan-perempuan centil yang membicarakan laki-laki tampan. Ia tidak tertarik. Yang ia rindukan hanyalah pengakuan bahwa dirinya berharga. Tapi di rumah, yang penting hanyalah nilai rapor dan pencitraan keluarga. Tak ada ruang untuk kesalahan, apalagi untuk kebingungan tentang identitas.

Masa SMA mempertemukannya dengan lingkungan yang lebih bebas, tetapi juga lebih liar. Di sana, ia berkenalan dengan teman-teman yang tak peduli pada norma. Mereka memberinya tempat, tawa, dan yang terpenting: rasa diterima.

Semuanya bermula dari sebuah pesta. Musik berdentum, lampu berkedip, dan di tangan seseorang, sebuah lintingan ganja berpindah dari bibir ke bibir. Arimbi mencobanya. Sensasinya aneh, ringan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bebas dari tekanan, ekspektasi, dan sunyi. Malam itu, ia tertawa tanpa beban.

Tak butuh waktu lama hingga ganja berganti pil. Lalu putaw. Lalu kebohongan demi kebohongan pada orangtuanya. Ia masih sekolah, masih pulang tepat waktu, tapi diam-diam ia mulai menggantungkan hidupnya pada zat-zat yang merusak itu. Ia merasa hidup hanya saat teler.

Di kampus, Arimbi bertemu dengan seseorang yang mengubah hidupnya—seorang perempuan, lebih tua, lebih dewasa. Hubungan mereka tumbuh dalam sembunyi-sembunyi, diliputi euforia sekaligus rasa bersalah. Perempuan itu adalah pelabuhan dalam badai Arimbi. Mereka berbagi tawa, tempat tidur, dan akhirnya, narkoba.

Hubungan mereka penuh drama: pertengkaran, kecemburuan, dan peredamnya selalu sama—zat haram. Tapi Arimbi merasa dicintai. Cinta itu menjadi alasan untuk terus hidup, walau hidup yang dimaksud semakin hari semakin jauh dari makna sejatinya.

Ia mulai mencuri. Uang bulanan yang semula cukup menjadi tidak pernah cukup. Beberapa barang di rumah hilang entah ke mana. Orangtuanya mulai curiga, tetapi tidak benar-benar peduli. Mereka hanya sibuk menyelamatkan reputasi, bukan menyelamatkan anaknya.

Suatu malam, tubuh Arimbi tergeletak di kamar mandi kampus. Dosis berlebih. Ia nyaris mati. Ambulans datang terlambat beberapa menit, tetapi cukup untuk menyelamatkan nyawanya.

Di rumah sakit, dokter berkata bahwa Arimbi harus direhabilitasi. Tidak ada jalan lain. Ayahnya marah, ibunya menangis. Tapi tangisan itu bukan karena kehilangan, melainkan karena malu. Bagi mereka, Arimbi telah merusak nama baik keluarga. Arimbi, yang setengah sadar di ranjang rumah sakit, tidak bisa lagi melawan.

Rehabilitasi bukan tempat yang menyenangkan. Hari-harinya diisi dengan muntah, kejang, teriakan tengah malam, dan sesi terapi yang memaksa luka lama terbuka kembali. Arimbi merasa telanjang, lemah, dan sendirian. Tidak ada lagi kekasih, tidak ada lagi pelarian. Yang ada hanya dirinya sendiri dan segala kerusakan yang ia ciptakan.

Tiap pagi, ia menatap cermin dan bertanya: “Siapa aku, jika bukan pecandu?”

Perlahan-lahan, terapis membantunya menjawab. Ia diminta menulis. Menggambar. Menceritakan ulang masa kecilnya. Menyusun kembali serpihan hidupnya. Di situ, ia menyadari bahwa narkoba bukan musuh satu-satunya. Musuh utamanya adalah rasa tidak dicintai. Dan itu dimulai sejak lama.

Bulan demi bulan, Arimbi mulai berubah. Ia belajar menikmati pagi tanpa rasa kantuk karena putaw. Ia mulai tertawa karena lelucon, bukan karena ekstasi. Ia membaca buku, menulis jurnal, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia tidak merasa perlu menjadi orang lain.

Suatu hari, ia berdiri di depan kelompok kecil penghuni panti, membacakan kisahnya. Suaranya gemetar, matanya basah. Tapi di ruangan itu, ia merasa berani. Semua orang yang mendengarkan tidak menghakimi. Mereka paham, karena mereka pun pernah jatuh. Dan di situ, Arimbi menemukan satu hal yang tak pernah ia miliki di dunia luar: solidaritas.

Enam belas bulan kemudian, Arimbi dinyatakan pulih dan keluar dari panti. Dunia luar masih sama: keras, dingin, penuh stigma. Tapi kini ia berbeda. Ia tidak lagi mencari pelarian. Ia mencari makna.

Ia memutuskan menulis buku. Bukan untuk terkenal, tapi untuk bicara. Ia ingin orang tahu bahwa pecandu juga manusia. Bahwa narkoba bukan penyakit, tapi gejala. Gejala dari dunia yang terlalu cepat menghakimi, tapi terlalu lambat memeluk.

Buku itu terbit. Ia diundang ke acara-acara, seminar, bahkan sekolah. Ia tidak bicara sebagai motivator, tetapi sebagai korban yang memilih untuk bangkit.

Dalam wawancara itu, Arimbi menatap lurus ke kamera. “Saya bukan korban narkoba. Saya korban dari sistem keluarga yang tidak pernah memberi ruang untuk luka. Narkoba hanya mengambil kesempatan dari kekosongan itu.”

Wartawan itu berhenti mengetik sejenak, lalu bertanya, “Apa yang ingin kamu katakan pada anak muda di luar sana?”

Arimbi tersenyum tipis. “Kalau kamu merasa hampa, jangan cari narkoba. Cari seseorang yang bisa mendengarkanmu tanpa menghakimi. Atau tulis. Atau menangis. Tapi jangan diam. Jangan rusak dirimu sendiri hanya karena dunia tak tahu caranya mencintaimu.”

“Jangan Beri Aku Narkoba” bukan hanya tentang penyalahgunaan zat terlarang. Ini adalah kisah seorang perempuan yang kehilangan arah, menemukan kembali dirinya, dan akhirnya memilih untuk hidup. Tidak semua pecandu bisa bangkit. Tapi lewat kisah Arimbi, kita tahu bahwa mereka bisa—jika diberi kesempatan.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sinopsis Novel Jangan Beri Aku Narkoba Karya Alberthiene Endah "

Posting Komentar